"Merokok buat perempuan tak baik loh, Mba," basa-basiku semakin menjadi.
"Buat sampeyan pun podo wae, Mas," ujarnya santai.
Satu jam lebih kami mengobrol saling membelakangi, dimulai dari perkenalan biasa, bahasan soal kampung halaman, sampai curhat soal masalah pekerjaan masing-masing.
Hujan sudah berhenti, namun kemacetan sepertinya akan terus berlanjut hingga gelap dan akupun memandu Bimbi, menuju tukang tambal ban yang tak jauh dari halte.
Bimbi, nama yang unik untuk seorang perempuan di masa kini, parasnya adem seperti gadis keraton solo, dengan bola mata yang bening berwarna cokelat.
Logat bahasa yang tak asing, seperti berada dikampung sendiri saja, daerah Sidomulyo-Lampung, yang ternyata satu arah dengan kampungnya di pelosok desa Teladas.
"Mas Alfian, Aku duluan yo," ucap Bimbi, yang sudah berada di atas motornya.
Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan, saat melihatnya selap-selip di antara kemacetan, lalu meluncur naik ke atas Flyover Pramuka, menuju arah Tugu Proklamasi.
Dalam hatiku berkata, " Tuhan, jika aku punya uang, tentu akan ku ajak perempuan cantik itu ke seberang sana dan makan di restoran khas Palembang."
Satu-satunya hal yang aku syukuri di bulan Desember adalah, Jakarta yang tak terlalu panas dimalam hari, terlebih selepas hujan deras.
Meski harus waspada resiko banjir, namun bagiku tak masalah, karena minimnya barang elektronik yang ku miliki di dalam kamar kost yang sempit ini.