Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sang Pengepul Mimpi

24 Oktober 2020   12:51 Diperbarui: 24 Oktober 2020   19:11 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sang pengepul mimpi (dok. Pribadi)

Konon katanya, saat kita semua terlelap di malam hari dan bermimpi indah, malaikat akan datang mengambil mimpi-mimpi itu menjelang subuh dan saat kita terbangun, mimpi-mimpi itu akan sulit kita ingat kembali.

Subuh yang hening di selatan Jakarta, Abdul yang terlelap dikejutkan dengan bunyi dering alarm yang berteriak-teriak pada telinga, memaksanya terbangun dengan mata yang masih belum sepenuhnya terbuka.

Dengan gontai menuju kamar mandi, tangan kanannya seperti otomatis mengambil gayung berisi odol, sabun dan sikat gigi, sementara tangan kirinya tetiba sudah menggenggam handuk lusuh berwarna putih kusam.

Embun pagi masih menempel didedaunan, terlihat Abdul sedang mengunci pintu kamar kostnya yang terbuat dari papan triplek berwarna biru muda, dengan cat yang sudah banyak terkelupas sana sini.

"Rajin ye Abdul, pagi buta udah berangkat kerja" sapa hangat Mpok Minah, tetangga sebelah kost yang masih satu deret dengan kamar Abdul.

"Alhamdulillah, baru dapet panggilan kerja, lah kemana dagangan Mpok? Tumben belum gelar nasi uduk" jawab Abdul sambil merapikan rambut, berkaca pada spion motor vespa tua.

"Pere dulu, bapaknya anak-anak belom kirim duit" ucap Mpok Minah seraya meletakan cucian baju ditiang jemuran.

"Ya mudah-mudahan pak sanin cepet dapet kerjaan dimari ya Mpok" ujar Abdul sambil menyelah vespa tuanya.

Krek..krekkk...tretekkk...tekk..tekkk..tekkk dan Abdul secepat kilat meluncur meninggalkan deretan kamar kost dalam gang sempit, dimana aktivitas penghuninya belum begitu ramai.

Abdul sudah berada di belakang lampu merah, suasana jalan masih belum terlalu ramai, bahkan anak-anak kecil pengamen dan penjaja asongan pun belum terkeliaran dijalanan.

Saat lampu hijau menyala, vespa Abdul yang melaju pelan dikejutkan dengan bunyi motor lain yang melaju terburu-buru, menyalip dari samping kiri langsung berada didepan Abdul.

Nasib baik vespa tua tak dapat ngebut, jika tidak, mungkin saja Abdul celaka.

"Valentino rossi kali nih orang! Syukurlah saya masih selamat" gumam Abdul yang masih kesal karena kaget disalip tiba-tiba.

****

Kerumunan beberapa orang terlihat didepan Abdul, sementara ada juga orang-orang yang berlarian dari jauh mendekat pada kerumunan tersebut. Abdul yang akan melintas, mau tak mau harus ikut menghentikan laju vespa tua dan melihat apa yang terjadi.

Bunyi klakson bersahut-sahutan kebelakang vespa tua semakin tak sabaran, Abdul pun penasaran ingin melihat kejadian yang tengah disaksikan oleh orang-orang ditengah jalan tersebut, hingga kerumunan berangsur menepi dan semua kendaraan dapat kembali lewat.

"Ada apa, Bang?". Tanya abdul pada seseorang, sembari meminggirkan kendaraannya.

"Ini nenek-nenek nyebrang keserempet motor, pingsan!." Ujar orang tersebut sambil menunjuk seorang nenek yang terkulai pingsan dibangku halte.

Tampak seorang remaja putri berseragam putih abu-abu dan beberapa orang yang kebetulan lewat, tengah berusaha membuat nenek tersebut siuman.

"Astaga.. ayo lekas bawa ke klinik itu ada darah ngalir Neng!" Teriak Abdul yang melihat darah dari tangan dan kaki nenek mengalir pada seragam putih remaja putri tersebut.

"Abang naek dulu kemotor, kita kita bantu angkat ya Bang, kesian nih orang tua" ucap seseorang disamping remaja putri itu.

"Yang nabrak mana?!" Tanya Abdul.

"Kabur Bang" jawab orang-orang dihalte itu.

Tanpa berpikir panjang, Abdul yang merasa kasihan pada nenek tersebut, membawa sang nenek ke klinik, jaket yang dipakai Abdul diikatkan pada sang nenek agar aman saat membonceng, dengan hati-hati Abdul melaju diikuti remaja putri yang tengah dibonceng oleh ayahnya.

Sepanjang perjalanan, Abdul tiba-tiba teringat akan neneknya yang telah lama berpulang, hatinya resah dan takut jika kejadian buruk menimpa pada nenek yang tengah dibonceng olehnya.

"Semoga lekas mendapatkan pertolongan medis" dalam hati Abdul berkata.

****

"Abang baik banget, nenek didalam sudah siuman pengen bilang terima kasih sama Abang, ini ambil Bang, minum dulu" sapa remaja putri, sambil memberikan sebotol air mineral pada Abdul.

"Terimakasih Neng" jawab Abdul yang memang membutuhkan air minum tersebut.

Kring..kring..Kringg.. bunyi handphone jadul Abdul berbunyi dari dalam tas, Abdul menerima telepon tersebut dengan cepat.

"Halo, iya ..iya .. saya sedang antar nenek-nenek ke klinik mbak, minta waktu sebentar lagi saya hadir mbak" ucap abdul menjawab orang yang berbicara melalui handphone.

"Bang saya duluan ya, Bapak menunggu diparkiran, maaf sudah terlambat masuk sekolah" ucap remaja putri tersebut seraya pergi meninggalkan Abdul dilorong klinik.

Abdul hanya mengangguk kemudian diapun termenung, sesekali menghela nafas dan pikirannya melayang pada suasana kerja yang menjadi harapannya selama ini, duduk diatas bangku empuk dan mendapat meja kantor yang bagus, dengan seperangkat komputer serta deretan file-file yang akan dia rapihkan setiap pagi.

"Maaf Pak, neneknya sudah tak apa-apa dan tak perlu dirawat, silahkan dibawa pulang". Suara lembut suster klinik membuyarkan lamunan Abdul.

Abdul bangkit dari duduknya, tak lama berselang seseorang datang dengan tergesa-gesa masuk kedalam kamar perawatan klinik, tempat sang nenek mendapatkan pertolongan medis.

Abdul yang akan melangkah masuk menemui sang nenek, akhirnya bertemu dengan orang tersebut.

"Terimakasih banyak Mas, sudah menolong Ibu saya, kalau tak ada Mas amit-amit mungkin Ibu saya terlantar dijalan" ucap sesosok pria dengan mata berkaca-kaca, tangannya menggenggam tangan Abdul dengan erat.

Dengan sedikit lemas Abdul menjawab.
"Sama sama Pak, saya hanya kebetulan lewat saja".

"Nama mas siapa? Perkenalkan saya Bambang" pria tersebut memperkenalkan diri kepada Abdul.

"Abdul Pak" jawab Abdul singkat.

"Mas lemas betul, maafkan Ibu saya sudah merepotkan Mas ya, tolong dimaklumi beliau sudah pikun" ucap Pak Bambang sambil berusaha menaruh sebuah amplop ditangan Abdul.

"Jangan Pak, menolong orang itu ibadah buat saya Pak" ucap Abdul yang dengan halus menepis tangan Pak Bambang.

"Mas ini baik sekali, tapi tolong terima pemberian saya ini ikhlas Mas, lagipula kejadian ini mengganggu aktifitas kerja Masnya" Pak Bambang masih berusaha memberikan amplop tersebut pada Abdul.

"Tak perlu Pak, lagian saya belum bekerja Pak" ucap Abdul.

Pak Bambang menaruh amplop itu kembali kedalam saku celananya, sambil mengajak Abdul duduk, pak bambang bertanya lagi," Mas berminat kerja apa? Siapa tahu saya bisa bantu".

"Tak perlu pak, saya baru saja dapat panggilan kerja hari ini, tapi belum rejeki saya Pak" ucap Abdul seraya memasukan jaketnya yang bersimbah darah kedalam tas.

"Maaf kalau boleh tahu dimana panggilan kerjanya?" Pak bambang menatap Abdul dengan serius.

"Di CV Trisakti Pak" jawab Abdul singkat.

"Yang dijalan R.E Martadinata Mas?" Tanya pak bambang.

"Betul pak" jawab abdul yang kembali duduk di bangku kayu, dilorong klinik.

Sang nenek pun terlihat sudah berada pada kursi roda, dengan didorong oleh suster lain yang dibawa Pak Bambang, beliau mengucapkan terima kasih kepada Abdul.

Pak Bambang dan sang nenek pun berlalu pergi meninggalkan klinik tersebut, dan kini Abdul berjalan sendiri dengan gontai kearah parkiran.

Vespa tua ditatapnya dalam-dalam, membayangkan memarkirkannya pada sebuah halaman rumah megah berlantai dua, berpagar putih dengan tanaman anggur yang merambat, dihiasi taman bunga warna-warni.

Dalam pikiran Abdul, harusnya diambil saja amplop dari Pak Bambang, paling tidak untuk membantu mpok minah bisa berjualan nasi uduk lagi, memastikan Abdul dapat sarapan setiap pagi. Abdul tahu pekerjaan Pak Sanin suami Mpok Minah, yang bekerja sebagai buruh tambat kapal di belawan tak begitu menghasilkan banyak uang.

Kring..kring..Kringg.. bunyi handphone jadul Abdul kembali berbunyi dari dalam tas, Abdul menerima telepon tersebut dengan cepat.

"Halo Pak Abdul, besok bapak sudah bisa mulai bekerja ya, tadi bos saya bilang bapak sudah diwawancara langsung oleh beliau" ucap suara yang terdengar dari dalam handphone.

Abdul pelan berkata, "Pak Bambang".

"Benar Pak Bambang pemilik perusahaan ini," suara dari dalam handphone itu pun mengakhiri ucapannya.

Antara senang dan heran, Abdul terduduk pada vespa tua sambil tersenyum-senyum.

"Ya Tuhan, mimpi apa saya semalem" ucap Abdul, seraya mengucap syukur atas peristiwa yang sudah dialaminya hari ini.

Malaikat yang datang mengambil mimpi, akan menaruh mimpi-mimpi kita pada gugusan bintang di langit malam, dalam sebuah keranjang yang terbuat dari doa-doa kita sebelum tidur.

Jika suatu ketika kita lupa berdoa sebelum tidur, maka mimpi yang ditaruh malaikat, tidak akan tersimpan dan hilang selamanya.

Dia akan menaburkan mimpi kita dihari depan, diangin-angin pada kenyataan diantara langkah-langkah menjalani kehidupan, usaha kitalah yang membuatnya nyata dan terlaksana.

Sepertinya Abdul tak pernah lupa berdoa, doa sebelum tidur selalu otomatis terucap, sebagaimana dia setiap pagi melangkah ke kamar mandi tak lama terbangun dari tidurnya.

****

(Indra Rahadian, 10/24/20)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun