Ratri menatap tajam Gunawan, rekan kerjanya yang berkumis tebal macam Mas Adam. Kata-kata Gunawan barusan, mengiris hatinya, melukai perasaannya. Gunawan secara terbuka menuduhnya tidak melibatkan tim dalam bekerja, dan ingin menonjol sendiri.
"Saya tidak terima Anda mengatakan seperti itu. Bagaimana bisa Anda menuduh saya tidak melibatkan tim, sedangkan Anda bukan anggota tim saya!" tukas Ratri berapi-api.
Pak Lukas di tempat duduknya hanya menaikkan sebelah alis. Menunggu jawaban Gunawan.
"Lalu bagaimana mungkin Anda menuduh saya ingin menonjol sendiri. Saya itu ketua tim. Saya bertanggung jawab pada keberhasilan tugas yang diamanatkan pada saya. Kalau ada anggota yang tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, tentu saja saya akan maju ke depan. Memastikan semua beres. Bukan karena ingin menonjol sendiri! Saya tidak terima kalau Anda memfitnah saya seperti itu!" imbuh Ratri sebelum Gunawan sempat membuka mulut.
"Nah. Itu barusan Anda mengakui, maju ke depan memastikan semua beres. Termasuk menggantikan tugas anggota tim Anda. Menafikan apa yang sudah ia kerjakan dan mengganti semua sehingga pekerjaannya sia-sia. Dan siapa yang mendapat pujian? Tentu saja Anda," balas Gunawan, sambil makan kacang atom yang terhidang di piring tepat di hadapannya.
"Oooh...saya tahu siapa yang Anda maksud. Jadi atas nama perempuan itu Anda berbicara? Bilang sama dia, jangan beraninya bicara di belakang saya! Kalau keberatan, ajukan keberatan! Â Kalau mau namanya menonjol, kerjakan tugasnya sesuai tenggat!"
"Dia kan hanya terlambat satu hari. Lagipula itu karena anaknya sakit. Anda tidak punya hati nurani?" balas Gunawan tanpa ampun.
Dalam ruangan itu ada Lukas, bos mereka, mereka berdua, serta Boni dan Virgo. Boni adalah sekretaris Lukas, sedangkan Virgo adalah ketua tim juga seperti mereka. Boni dan Virgo hanya diam dan merasa tak enak mendengar perseteruan kedua rekan mereka. Lukas masih belum menggunakan kewenangannya untuk menghentikan kericuhan itu. Dia justru seperti terhibur.
"Kita semua pasti ingin hasil terbaik. Mungkin bu Ratri hanya ingin mencapai target," gumam Virgo berusaha menengahi. Tentu ia membela Ratri sebagai sesama perempuan.
"Terlalu ambisius hingga mengorbankan kinerja teman," balas Gunawan.
"Sebenarnya apa mau Anda? Anda tidak terima pekerjaan saya dipuji pak Lukas?" Ratri meradang.
"Mana ada saya tidak terima. Terserah pak Lukas mau memuji siapa. Saya tadi kan hanya mengingatkan kalau itu kerja tim. Dan ada anggota tim yang diabaikan kinerjanya."
Ratri melotot. Kekesalannya sudah sampai puncak ubun-ubun.
"Tidak usah diperpanjang lagi, Pak Gunawan," ucap Lukas. "Saya sudah tahu situasinya. Tentu saja kita tidak boleh terlalu keras pada bu Sartika yang anaknya sedang sakit. Tapi di sisi lain, saya puas dengan kinerja bu Ratri yang sigap mengatasi kendala."
"Terima kasih, Pak," angguk Ratri.
Boni dan Virgo menarik napas lega ketika tak ada tanda-tanda Gunawan akan menjawab lagi. Lelaki itu hanya menuntaskan makan kacang sambil senyum-senyum. Rapat pun segera usai dan pesertanya bubar.
Gunawan berhenti di pintu ruang kerja Ratri. Mengamati Ratri yang baru duduk di kursinya.
"Rat, yang nggak terima itu bukan aku. Terserah pak Lukas mau muji siapa saja. Yang sering nggak terima tu ya kamu sesuai namamu. Ratri = Ra-Trimo, hahahahahahhh!"
Ratri melempar benda yang paling dekat dengan jemarinya: bolpoin. Namun Gunawan sudah sigap berkelit dan lari meninggalkan ruang kerja Ratri.
Ratri berteriak kesal, "aaaarrrrghhhh!"
"Sabar, Mbak Rat," ucap Virgo yang baru datang. Ia duduk di ruang yang sama dengan Ratri. Tapi ia hanya mengatakan sambil lalu, terus menuju kubikelnya sendiri. Ia pun tak dekat dengan Ratri dan tidak ingin dekat. Ratri punya tabiat yang buruk, sering berkata tajam. Sebenarnya Virgo  juga cukup senang dengan tingkah Gunawan tadi. Ia hanya tidak nyaman rapat berlarut-larut hanya karena perang kata unfaedah antara Ratri dan Gunawan. Mending dia menyelesaikan serial dracin di laptopnya di sisa waktu kantor sebagai reward karena proyeknya lancar dan selesai tepat waktu. Virgo hendak melanjutkan serial dracinnya ketika chat dari Boni masuk di ponselnya.
Arrrgh bos Lukas mau ketemu. Virgo bergegas keluar ruangan setelah pamit sambil lalu ke Ratri.
"Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Virgo setelah duduk di depan meja kerja bosnya.
"Ini ada voucher menginap semalam di hotel berbintang. Buat kamu dan Ratri. Reward karena kalian berdua mencapai target dengan baik."
Sekilas Virgo melihat bahwa voucher itu harus digunakan week end ini.
"Wah, menginap di hotel ini impian saya. Sayang sekali akhir pekan ini saya ada acara keluarga ke luar kota, Pak."
"Wah...bagaimana ya?"
"Voucher saya biar untuk pak Gunawan saja, Pak. Saya ikhlas. Pak Gunawan kan juga sudah menyelesaikan target walau terlambat sehari? Dan beliau terlambat karena membantu bu Sartika. Kepeduliannya patut dapat reward juga," ucap Virgo.
Lukas mengangguk-angguk.
"Kamu nggak papa nggak dapat reward?" tanya Lukas.
"Mmm...bagaimana kalau libur sehari, Pak?" ucap Virgo nyengir.
Lukas terbahak. Lalu mengangguk.
"Boleh. Besok, ya?"
"Wah, terima kasih, Pak."
"Tolong berikan voucher buat Ratri dan Gunawan."
Virgo menerima dua voucher dari pak Lukas, lalu menyerahkan kembali yang satu.
"Saya bantu serahkan ke bu Ratri, Pak. Sepertinya untuk pak Gunawan lebih baik mbak Boni yang memberikan. Kalau saya semua, dan bu Ratri tahu pak Gunawan juga bakal menginap di hotel yang sama, saya takut vouchernya mubazir, Pak."
Lukas terbahak lagi.
"Baik. Biar Boni nanti yang ngasih Gun. Terima kasih ya, Virgo."
"Sama-sama, Pak."
Virgo pun pamit sambil berteriak cihuy dalam hati. Esok dia bisa seharian nonton dracin kegemarannya. Bonus libur sehari ini jauh lebih berarti dari pada nginep di hotel. Apalagi sama Ratri. Fiuh. Nggak deh. Biar pak Gunawan saja. Biar mereka berdua menghabiskan week end dengan melanjutkan debat kusir nggak jelas lagi.
***
Ratri merasa sangat bersemangat. Semua perasaan kesalnya lenyap ketika Virgo menyerahkan voucher hotel bintang lima untuk menginap semalam. Ratri akan benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk bersantai. Hotel bintang lima itu tak sembarang orang bisa memasukinya. Kalau harus merogoh kocek sendiri, Ratri jelas-jelas ogah.
Ratri sudah mencari info fasilitas apa saja yang disediakan hotel. Dia juga menghubungi pihak hotel untuk memastikan mana fasilitas yang bisa ia manfaatkan gratis. Siapa tahu voucher itu hanya untuk kamar saja. Tapi ternyata tidak. Kamar gratis dan seluruh fasilitas juga. Itu termasuk sarapan menu lengkap yang bisa dipilih sepuasnya, kolam renang, spa, salon, massage, ruang gym, bioskop mini, dan masih banyak lagi.
Sabtu jam 12 ia bisa mulai cek-in, dan Minggu jam 12 ia cek out. Ia memutuskan untuk cek in lalu berenang, setelah itu pijat. Untuk makan malam, mungkin ia akan pesan online saja. Malamnya ia akan mencoba ke gym atau bioskop. Pagi ia akan berenang dulu lalu sarapan, setelah itu ke salon dan spa, kemudian cek out. Dan sisa hari akan dilaluinya dengan tidur di kamar kosnya. What a beautiful plan!
Ratri mengawali semua rencananya dengan melompat-lompat di kasur empuk yang luas. Kamarnya luas dan terang benderang. Sebuah bed single ukuran besar menempati tengah ruangan. Ada satu set meja kursi sofa, lemari, Â meja kerja, dan tentu kamar mandi nyaman lengkap dengan bath-up. Sepertinya memang bukan kamar termahal di hotel itu, tapi sudah lebih dari cukup buat Ratri yang cenderung menyimpan rupiah terakhir yang bisa disimpan. Setelah puas melompat, Ratri mulai meneliti fasilitas di atas meja. Ceret listrik, gelas, teh, kopi, sebotol air mineral, sebotol air teh, setrika, handuk, perlengkapan mandi, sajadah, Al-qur'an.
Ratri memutuskan untuk membuat secangkir kopi dulu karena ia agak mengantuk. Setelah ngopi ia akan segera berenang sesuai rencana.
Kolam renang sepi. Hanya ada seorang perempuan muda yang sepertinya punya target sekian putaran. Ia berenang dengan sangat fokus sepanjang kolam, lalu kembali. Ratri agak minder melihat cara perempuan itu berenang. Di sudut terjauh, Ratri melihat seorang bapak-bapak muda sedang merendam tubuhnya. Hanya diam tak bergerak, kepalanya nongol dan ia seperti mengamati perempuan muda perenang itu.
"Dasar cabul," gumam Ratri, lalu mulai mencari tempat untuk berenang. Yang penting jauh dari si bapak ganjen. Bapak-bapak yang dimaksud Ratri justru terlihat tertegun menatap sosok yang baru datang untuk berenang. Ia memandangi Ratri dari kejauhan seolah mengenalnya. Ratri sendiri paham bapak-bapak itu sedang mengalihkan fokus kepadanya, tapi Ratri memilih abai. Ia mau bersenang-senang dan tak usah peduli pada orang lain.
Ratri tak ingin lama-lama berenang. Hanya dua kali panjang kolam, lalu ia segera mengambil handuk menutupi sebagian badannya yang terbalut baju renang yang basah kuyup. Ia berjalan menuju kamarnya.
"Setelah ini rencananya kau mau coba fasilitas yang mana dulu?"
Tiba-tiba Ratri mendengar suara yang tak asing di telinga. Langkah basah menjejerinya. Ratri menoleh dan melihat si bapak-bapak ganjen ada di sampingnya. Tapi ternyata bapak-bapak itu orang yang dikenalnya, Gunawan!
"Kau?" Ratri seolah tak mempercayai penglihatannya.
"Hei...iyaa, ini aku. Bagaimana menurutmu penampilanku?" Gunawan bergaya memegangi dagunya.
"Kau ... kau betul-betul aneh!" pungkas Ratri sambil mempercepat langkahnya.
Ia baru sadar kenapa ia tak langsung mengenali Gunawan. Rupanya lelaki itu membabat seluruh kumis Mas Adam-nya. Dia sekarang kelimis dan terlihat lebih muda.
"Rat? Habis ini mau kemana?" tanya Gunawan.
"Terserah aku! Kau jauh-jauh saja sana!"
Ratri ngibrit menjauh. Ia tak mau week end impiannya kacau gara-gara makhluk satu itu. Kenapa juga bisa-bisanya Lukas memberi Gunawan voucher. Lelaki itu kan tidak mencapai tenggat tepat waktu! Kalau seperti ini apa bedanya berprestasi dengan yang tidak? Ratri berpikir riuh di dalam otaknya. Sempat ia berdoa semoga tak usah berpapasan dengan Gunawan lagi hingga cek out besok.
Tentu saja doanya tak terkabul. Usai berenang, seperti rencananya, Ratri pijat. Saat pijat itu ia baru tahu setiap malam minggu ada acara live music di ruang makan. Semua pengunjung hotel boleh menonton secara gratis sambil makan malam. Makan malamnya tentu tidak gratis. Tinggal pesan pada pelayan di ruang makan.
Ratri paham harga makanan di hotel pasti mahal. Tapi ia penasaran ingin tahu live musicnya. Jadi ia memutuskan datang dan nanti memesan menu termurah.
Malam ketika ia duduk di meja makan, ternyata pelayan langsung menyodorkan menu. Dalam hati Ratri menggerutu. Masak baru taruh pantat sedetik sudah harus bayar. Ia membuka daftar menu dan merasa mulas. Menu termurah adalah roti bakar dan itu 70K. Padahal di gambarnya roti itu tidak besar.
"Tolong roti bakar dan air putih," angguknya penuh percaya diri memesan menu pada pelayan. Si pelayan mengangguk sopan dan segera  meninggalkan Ratri.
"Boleh saya duduk di sebelah Anda?" suara seseorang mengagetkan Ratri. Aih...bule ganteng. Belum sempat Ratri menyilakan, terdengar suara lain menyela.
"I am sorry, this is my seat. Please find another seat for you," ucap Gunawan pada si bule sambil tersenyum lebar. Ia langsung duduk di sebelah Ratri.
"Kamuu...," Ratri sedikit menggeram.
"Tenang. Sudah biasa. Kamu nggak usah mengucapkan terima kasih sama aku," jawab Gunawan kepedean.
"Terima kasih gundulmu! Kau sudah menggagalkan kans dapat suami bule dengan tingkahmu tadi," bisik Ratri tajam.
"Kau mau punya suami bule?"
"Ya siapa tahu cocok. Siapa tahu jodohku orang bule," cebik Ratri, "lagi pula ngapain kamu ke sini. Tuh puluhan kursi masih kosong," tunjuk Ratri ke sekelilingnya.
"Ah. Malas aku memulai perbincangan dengan orang yang tak kukenal. Makanya aku tadi langsung cari kamu. Ternyata memang di sini."
Pesanan roti bakar Ratri datang. Gunawan meminta daftar menu ke pelayan.
"Kau tidak mau pesan apa-apa lagi?" tanya Gunawan menunjuk roti Ratri.
Ratri menggeleng, "aku kenyang."
"Ayolah pesan lagi. Nanti aku yang bayar."
Ratri kaget. Masak iya si menjengkelkan ini mau nraktir dirinya?
"Serius. Kupesenin nasi goreng, mau? Aku juga pesan nasi goreng. Kamu doyan nasi goreng pete, kan?"
"Kalau memang kamu memaksa, aku pesan sup kacang merah saja. Tadi kulihat menu itu."
Gunawan membuka-buka lagi buku menu, mencari sup kacang merah yang hendak dipesan Ratri. Setelah nemu, ia segera memesan ke pelayan.
Ratri mengunyah rotinya sambil tersenyum dalam hati. Alhamdulillah Gunawan malam ini mungkin kesambet sehingga rela berbaik hati padanya.
Ratri fokus menonton pengisi acara live music, seorang penyanyi perempuan muda yang memiliki suara berat. Perempuan itu menyanyikan lagu-lagu tahun 1990-an.
"Kenapa bisa kau menginap di sini juga? Pak Lukas ngasih voucher?" tanya Ratri.
"Iyalah. Boni yang ngasih vouchernya."
"Seharusnya kan Virgo lebih berhak dapat voucher itu. Kenapa dia nggak kelihatan, ya?"
"Kau belum tahu, Virgo minta reward libur sehari. Dia menolak voucher ini."
"Hah? Libur sehari? Makanya Jumat kemarin dia nggak masuk. Kukira dia sakit."
"Minta libur sehari di hari Jumat. Pinter memang Virgo. Dapatnya tiga hari dengan Sabtu dan Minggu," puji Gunawan.
"Ah, apanya yang hebat? Dia pasti memanfaatkan kelemahan Lukas untuk minta libur. Herannya Lukas juga mudah diperalat anak kecil!"
"Hush, pelan-pelan kalau ngomong. Tamu di hotel ini kebanyakan kolega Lukas."
"Bodo amat," sergah  Ratri.
Pesanan mereka datang, dan mereka pun diam menikmati menu masing-masing. Ratri sangat menikmati sup kacang merah yang kebetulan cita rasanya sama dengan yang biasa dibuat mamanya saat masih hidup dulu.
Ratri mengusap air mata yang tiba-tiba meloncat keluar dari matanya.
"Kenapa? Matamu merah. Kelilipan? Sini tak sebul," ucap Gunawan.
Ratri menggeleng. Dasar lelaki tak peka. Siapa juga yang sudi disebul matanya.
"Habis makan mau kemana? Kau nggak berencana menonton live music ini sampai selesai, kan?"
"Nggak. Suara penyanyinya sering fals. Aku mau kembali ke kamar saja. Makasih traktirannya, Gun."
"Masak mau ke kamar. Yuk ikut aku dulu kita ke rooftop."
"Rooftop?"
"Iya. Di lantai paling atas hotel ini, ternyata ada semacam taman yang cantik. Kamu belum lihat, kan?"
"Memangnya kamu sudah?"
"Sudah, dong. Setelah berenang tadi, aku naik ke atas. Mau?"
Tanpa pikir panjang, Ratri mengangguk. Mumpung sudah di sini, kenapa tidak mengeksplor lebih jauh? Mumpung ada yang menemani. Betul juga kata Gunawan. Walau sering musuhan dengan Gunawan, tapi kalau disuruh  bercakap-cakap dengan tamu hotel lain secara acak, pilihannya pasti mending ngobrol sama Gunawan.
Setelah Gunawan membayar makanan, mereka segera menaiki lift menuju rooftop.
Udara segar langsung terasa menerpa wajah Ratri ketika lift terbuka di lantai teratas. Rooftop dipenuhi kursi-kursi yang diatur seperti di taman-taman. Banyak pot bunga di sana-sini. Lampu-lampu berkelap-kelip.
Ratri menengadah dan bisa melihat langit luas yang kebetulan sedang cerah.
"Kenapa aku baru tahu kalau hotel ini punya rooftop secantik ini ya?" gumamnya.
"Rooftop ini baru. Makanya nggak banyak orang tahu. Nanti ke depan akan difungsikan sebagai kafe," jelas Gunawan.
"Yuk, kita duduk di pinggir sambil melihat kota dari atas," Gunawan mengajak Ratri duduk di bagian pinggir rooftop. Kelap-kelip kota di malam hari terlihat. Beberapa gedung besar dan masjid terlihat menonjol.
"Mau berfoto di sini? Aku fotokan," ucap Gunawan.
Ratri mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang dibawanya. Ia serahkan pada Gunawan. Suasana di rooftop itu terlalu indah untuk dilewatkan sebagai ajang foto-foto. Banyak spot cantiknya.
Ratri sebenarnya agak gengsi mau bergaya di depan Gunawan. Tapi biar saja deh, cukup malam ini. Hari Senin di kantor, semua akan kembali seperti semula.
Walau awalnya gengsi dan segan, tapi lama-lama Ratri bergaya dengan santai. Apalagi Gunawan pandai mengarahkan gaya sehingga posenya selalu bagus.
"Coba pandang di kejauhan, seperti merenung. Nanti latarnya sebagian malam yang gelap, dan sebagian lagi lampu-lampu kota. Aku fotonya agak dari atas."
Gunawan naik ke kursi dan berusaha mengambil gambar Ratri dari sudut terbaik.
Entah sudah berapa kali Gunawan menjeprat-jepret.
"Eeh...kamu, mau juga kufotokan?" tanya Ratri ragu-ragu.
"Nggak usah, aku sudah punya banyak foto di sini. Klienku dulu suka ngajak ke sini."
Ratri mengangguk.
"Kita selfie berdua saja, wefie," tanpa babibu Gunawan sudah menjejerinya dan mengarahkan kamera ponsel di depan mereka. Ratri tidak sempat merespons. Mungkin wajahnya juga akan terlihat kaget di foto nanti.
"Ayo, kita di sini lagi foto," ajak Gunawan. Tangannya menarik lengan Ratri pelan, mengarahkan untuk bergerak ke latar foto yang dimaksud Gunawan.
Setelah berfoto, Gunawan mengajaknya berbincang santai, hingga Ratri tak lagi merasa canggung. Ketika kantuk mulai menyerangnya, baru Ratri mengajak Gunawan untuk balik ke kamar saja.
"Terima kasih ya untuk malam ini. Traktirannya dan juga sudah diajak ke rooftop," ucap Ratri sebelum mereka berpisah menuju kamar masing-masing.
"Oke, nggak masalah. Besok pagi sarapan kujemput jam 7 ya atau jam 8?"
"Jam 8 saja," jawab Ratri pendek.
Mereka pun berpisah. Ratri tak habis pikir kenapa ia malah janjian sarapan segala dengan Gun? Di kamarnya, sambil membersihkan wajah dengan kapas dan micellar water, Ratri mengingat-ingat kembali pengalamannya mulai dari makan malam hingga ke rooftop.
Ternyata perbincangan mereka masih berlanjut di ruang makan saat sarapan. Gunawan mengajak Ratri mencoba setiap menu yang disediakan hotel. Masing-masing sedikit, yang penting ngerasain. Ratri mau tak mau merasa girang. Ia sebenarnya sudah berniat begitu, tapi rasanya masih malu-malu. Kalau ada temannya nggak terlalu malu lagi. Apalagi Gunawan mengajaknya untuk pakai trik share makanan. Jadi Gunawan akan berjalan di bagian depan mengambil menu di sebelah sana dalam dua piring. Nanti Ratri melakukan hal yang sama di bagian belakang. Mereka bertemu di meja makan membawa aneka menu dan saling berbagi.
"Aku sudah nggak kuat lagi," ucap Ratri sambil mengunyah nasi urap.
"Kamu belum nyoba lapis dagingnya...ini enak banget. Dagingnya empuk dan juicy tidak keras sama sekali."
Mereka makan sampai kekenyangan. Selama makan, dari malam hingga pagi, mereka sudah berbagi cerita tentang keluarga masing-masing, masa kecil yang indah, masa remaja yang canggung, masa kuliah yang keras, dan masa-masa sulit mencari pekerjaan. Mereka berdua juga sudah saling sharing informasi hobi, makanan favorit, tokoh panutan, buku yang sedang dibaca, bahkan mereka sudah berbincang tentang politik negeri dan tentang pelatih Timnas yang baru-baru diganti. Entah mengapa Ratri merasa nyaman berbincang dengan Gunawan, padahal selama ini dia memandang sebelah mata pada rekan kerjanya itu. Gunawan juga merasa ternyata Ratri tidak semenjengkelkan yang selama ini ia rasakan. Ternyata perempuan ini smart dan berwawasan luas. Semua topik yang dilontarkan Gunawan ditanggapi dengan baik. Yang paling penting, Ratri juga hobi membaca. Ratri adalah calon yang paling tepat untuk dikenalkan kepada kedua orang tuanya yang beberapa hari ini sudah gusar karena ia terus membujang. Eh? Gunawan terdiam. Berpikir ulang dengan keras sambil menatap mata Ratri. Matanya ternyata seindah itu.
"Hai. Gun. Bengong?" ucap Ratri mengagetkan lamunan Gunawan.
"Aku sedang berpikir. Dan ingin bertanya."
"Bertanya apa?"
"Apakah setelah hari ini, kita masih boleh berbincang seperti ini lagi?"
"Eeh ... tentu saja boleh."
"Boleh sesekali kita makan di luar, hunting buku di Gramedia, atau nonton film?"
"Hmm ... boleh. Why not?"
"Boleh juga ... main di tempat kosmu? Pas ... malam Minggu?"
Ratri terdiam. Pipinya terasa panas. Usianya sudah bukan remaja lagi. Ia dan Gunawan sama-sama sudah kepala tiga. Tapi kali ini Ratri merasa jadi anak SMA lagi yang bingung harus menjawab apa ketika ditembak cowok.
"Kalau tidak boleh malam Minggu, aku mainnya malam Rabu saja atau malam Senin," ucap Gunawan akhirnya sambil tersenyum mencoba mencairkan suasana.
"Boleh malam apapun. Malam Minggu juga boleh," balas Ratri cepat-cepat.
Gunawan tersenyum senang. Ratri tersenyum malu-malu. Ya ampun vibesnya anak SMA sekali. Mana Ratri yang garang kalau di kantor? Hilang lenyap.
"Pulang ke kosan naik apa rencana?" tanya Gunawan.
"Taksi online."
"Kuantar saja ya. Aku bawa mobil."
Ratri mengangguk. "Aku masih mau nyalon. Perawatan rambut. Kamu rencana ngapain sebelum cek-out?"
"Aku nggak punya rencana. Kutemani saja nyalonnya ya?"
"Eeeh ... nggak usah! Malu!"
"Ya sudah. Nanti kita ketemu di lobby saat cek out, ya? Terus pulang sama-sama.
Ratri mengangguk malu-malu.
Hari Senin kantor Ratri dan Gunawan heboh. Dua pegawai yang dulu selalu cosplay sebagai Tom and Jerry, sekarang jadi ngalah-ngalahin Dilan dan Milea. Virgo sudah merasa bosan melihat muka Gunawan nongol di pintu ruangan, lalu disambut Ratri dengan wajah berseri-seri macam gadis tujuhbelasan.
Aaarrrggh...andai kuterima saja voucher itu, tak akan sepat mata melihat adegan unfaedah sepanjang hari, pikir Virgo menyesal.
Begitulah ending kisah Tom and Jerry. Dua bulan kemudian undangan merah jambu beredar dan mereka berdua resmi menjadi suami istri dan happily ever after seperti kisah Cinderella walau tanpa sepatu kaca.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H