Mohon tunggu...
Irenna M
Irenna M Mohon Tunggu... Penulis - human

master none

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kaya Dadakan

6 September 2022   18:51 Diperbarui: 6 September 2022   18:53 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pria bermuka masam itu bernama Waluyo. Orang desa biasa memanggilnya Uyo. Baru saja istrinya marah-marah, bahkan mengancam ingin cerai. Hal itu terjadi sebab sudah sebulan ini Uyo tidak bekerja. Pekerjaannya sebagai kuli bangunan membuat pendapatan 30 tahun itu tak menetentu.

Uang tabungan di celengan ayam jago warna merah pun habis untuk bermain judi. Belum lagi angsuran kredit panci yang sudah jatuh tempo hari ini. Petugas bank keliling datang menagih ke rumah, makin pucat saja muka Uyo. Aduh ... mana duit di kantong celana tinggal lima puluh ribu lagi, gumamnya. Tak ingin istrinya makin marah, dengan berat hati, pria itu membayar kredit bulan itu dengan tangan gemetar. Hilang sudah selembar harapannya.

"Nih, masih ada kembali lima ribu," ujar petugas bank keliling itu menjulurkan tangan memberikan kembalian. Ia pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa.

Melihat uang lima ribu yang masih Uyo pegang, istrinya marah-marah lagi. "Lima ribu cukup apaan hari gini?"
Uyo tak bisa jawab apa-apa. Kalau dipikir-pikir wajar istrinya marah. Berak aja sekarang bayar dua ribu.

"Lu kerja dong! Jangan males jadi suami!" hardik istri Uyo dengan nada yang meninggi. Matanya melotot sambil berkacak pinggang, sudah dongkol setengah mati.

Uyo reflek menggeleng kepalanya tak tahu diri. Dia menentang keras perkataan sang istri. Kalau malas itu artinya hanya tidur-tiduran saja di rumah sepanjang waktu. Ia berkeyakinan bahwa bermain judi juga sebuah usaha. Ya, meski caranya salah. Di dalam hati, ia terus membela diri. Tapi hanya sebatas dalam hati saja, dia masih waras untuk tidak cari perkara dengan perempuan yang sedang marah. Salah kata, balok kayu samping rumah bisa mendarat empuk di kepala.

"Selain kagak punya otak, lu juga kagak punya mulut?" Suara istri Uyo makin menjadi. Bisik-bisik tetangga mulai terdengar. Ibu-ibu yang sedang ngerumpi di warung depan rumah cekikikan layaknya mendengar komedi.

"Iya, iya," jawab Uyo dengan wajah kecut, persis seperti nasibnya hari ini.

Bosan di rumah dan merasa harus mencari sesuatu untuk santapan makan malam, Uyo bergegas pergi menuju sungai bawah jembatan di perbatasan desa. Namun, sebelum pergi ke tempat tujuan, ia mampir terlebih dulu ke rumah Asep, temannya.

Asep meminjam pancingan dua bulan lalu. Tetapi dasar manusia tak punya etika meminjam, sampai detik ini pun pancingan itu masih belum dikembalikan. Untung saja jarak rumah Uyo dan Asep tidak bergitu jauh. Ya, hanya beda beberapa gang saja. Namun, baru saja menginjakan kaki di pelataran rumah, istri Asep langsung bicara ketus. '"Asep kagak ada di rumah!"

Alis Uyo berkerut bingung. Sialan nih bini Asep. Belum aja gua ngomong apa-apa! Kadang Uyo heran mengapa istri Asep itu bersikap dingin padanya.

Pernah ketika malam jadwal mereka ngeronda, Uyo iseng bertanya, mengapa istrinya berlaku demikian? Kemudian Asep menjawab,"Kata bini gua, aura lo itu gelap. Apes terus auranya. Dia juga bilang, gua harus jaga jarak supaya nggak ketularan apes kayak lo."

Mendapati jawaban itu membuat kesal bukan main. Mentang-mentang Istri Asep itu anak dukun, ia tidak berhak berkata seenak jidat. Musyrik itu! Percuma hidup, ibadah apa pun yang dilakukan tak akan diterima.  "Gua ke sini cuma mau ambil pancingan punya gua yang dipinjem laki lo!" Uyo terbawa emosi, ia tak kalah ketus bicara. Ia berjalan mendekat, lalu mengambil pancingan yang diletakan di bawah kursi bambu itu tanpa basa-basi. "Kalau pinjem, kembaliin dong!"

Tidak mau ambil pusing perihal keluarga Asep, Uyo pun melanjutkan perjalanan ke sungai. Ia membayangkan senar kail itu bergerak runtun, ditarik moncong seekor ikan di kedalaman kedung, lalu ia mengangkat kailnya dan seekor ikan besar pun menggelepar di udara. Uyo jadi tidak sabar dan bersemangat sekali.

Setelah sampai di sungai, Uyo langsung melempar kail lalu duduk di tepian. Sambil menunggu umpannya dimakan ikan, ia menyalakan rokok yang tinggal sisa dua batang. Hingga rokoknya habis, tidak ada tanda-tanda kailnya bergerak. Nihil, tak seekor ikan pun mendekat apalagi menjamah umpannya.

Satu jam ... dua jam ..., Uyo hampir putus asa. Namun, ketika ia ingin beranjak pulang, gagang pancing miliknya bergerak. Uyo yang senang bukan kepalang langsung menarik gagang pancing itu dengan berapi-api, begitu kailnya naik ke permukaan ia malah mendapati bekas popok bayi sekali pakai. "Jancok!" umpatnya kasar.

Kejadian itu terulang lagi, ia mengangkat gaggang pancing dan malah mendapati plastik berlendir sisa cinta satu malam, besek bekas, sandal buluk, ranting pohon, dan kemasaran sabun cuci baju beraneka merek. "Setan...tolol! Masih ada aja orang yang buang sampah sembarangan." Uyo memaki. Ia hampir saja membuang pancingnya ke tengah sungai, sebelum suara Asep menahannya.

"Yo ... tadi lu mampir ke rumah?" Asep menuruni tangga batu ke tempat Uyo berada. "Sori, tadi gua belum pulang dari warung." Enam bulan lalu setelah dapat modal dari mertuanya, Asep membuka warung mie ayam dekat pasar. Hanya ramai beberapa hari saja, setelahnya sepi pengunjung.

Uyo melirik sekilas, lalu acuh tak mempedulikan kedatangan Asep. Ah, saat ini yang ia butuhkan hanya uang dan ikan. Tak ada guna Asep kemari, toh dia tak akan membantu apa-apa. Kami ini sama-sama kere!

"Diem aje lo, kesambet apa gimana? Buset, dah."

"Ngapain ke sini? Jangan sampe lo anyut ke sungai, gua yang dituduh jadi bala sial sama bini lo."

Asep berdecak lidah sembari menepuk pundak Uyo pelan. "Mulut perempuan aja lo tanggepin. Janganlah masukin hati. Bini gua emang suka asal kalau ngomong."

"Ck! Ada urusan apa lo kemari?"

"Daripada mancing, kagak dapet apa-apa mending ikut gua aja, gimana?"

Uyo menaikan alisnya sebelah. "Ke mana?"

"Ke hutan Jiban."

Uyo sedikit berpikir. "Hutan Jiban sebelah desa?"

Asep mengangguk semangat.

Wajah Uyo berubah terkejut. "Nggak ah, ngapain? Itu kan hutan angker." Setiap wilayah pasti menyimpan misteri. Apalagi warga kampung yang masih mempercayai mitos dan tradisi. Hutan Jiban terkenal angker. Tidak sedikit masyarakat yang masih percaya bahwa hutan itu merupakan gerbang menuju dimensi lain, tepatnya dunia jin. Ada pula yang bilang, banyak orang yang bermalam di sana, hanya untuk mendapat ilmu hitam sakti atau pun pesugihan. Tidak ada yang tahu tetang kebenarannya. Sejak dulu memang tak ada warga yang berani masuk ke sana.
Asep berdecak lagi. Tanpa aba-aba dia membisikan sesuatu pada Uyo.

Uyo awalnya ogah-ogahan, ia pikir Asep hanya ingin bicara omong kosong. Tetapi setelah Asep selesai membisikan rencananya, ia berubah pikiran. Matanya pun berbinar seperti menang judi.

"Gimana, mau gak? Rugi kalau lo kagak ikut." Asep berusaha meyakinkan Uyo. Uyo yang langsung terbayang berendam emas berlian pun tak ragu mengiyakan ajakan Asep.

***

Jam setengah lima sore Uyo sudah mandi. Ia menyisir rambutnya setengah basah sambil berkaca. Ia cengegesan sediri ketika mengingat perkataan Asep minggu lalu. Asep bilang, mertuanya itu punya informasi berharga tentang letak harta karun. Tak ada warga desa yang meragukan kemampuan Ki Geni. Jadi, tanpa pikir panjang, Uyo mau bergabung dengan misi ini.

Uyo dan Asep tidak berangkat berdua, ada Ucok dan Darma, teman seprofesi---kuli bangunan---yang juga butuh uang. Sedangkan Ki Geni bertapa di gubuk agar misi kami berhasil dan pulang dengan selamat.

Menuju tengah malam, ketika gelap, dingin dan suara jangkrik beradu, sesuai kesepakatan, mereka berempat pergi menuju Hutan Jiban. Hutan Jiban dipenuhi oleh jejeran pohon jati tinggi besar. Suasana mencekam pun sangat terasa. Tak ada satu pun dari mereka berempat yang bicara. Hanya suara jangkrik bersautan dan langkah kaki yang menginjak ranting pohon. Mereka berjalan jejer memanjang seperti bermain kereta api di jalan setapak. Asep paling depan, barisan kedua ada Uyo, barisan ketiga ada Darma, dan barisan paling akhir ada Ucok. Masing-masing membawa senter dan senjata tajam, takut-takut bertemu binatang buas.

Jalanan begitu berliku dan terjal. Mereka harus berjalan hati-hati dan penuh perhitungan. Di barisan paling depan, Asep sedang membaca peta, hanya dia seorang yang tak buta arah. Dengan cermat Asep menelusuri jalan sesuai arah dengan langkah yakin.

"Masih jauh kagak sih?" Darma bicara dengan suara bergetar. Entah karena kedinginan atau ketakutan.

"Sebentar lagi." Asep menjawab dengan suara terengah. Setelah kurang lebih berjalan dua puluh menit, akhirnya mereka sampai di sebuah gubuk reyot yang membelakangi pohon randu rindang. Mungkin saja, usia pohon itu lebih tua dibanding usia mereka.

"Harta karunnya dimana, Sep?" Mata Ucok sudah berbinar. Ia berniat untuk mempersunting kekasihnya, Eli dan membuka usaha jika benar mendapat emas.

"Iya, di mana, Sep? Buruan, serem nih!" Darma mengusap tengkuk leher, matanya melirik kanan dan kiri.

Ah, dia ketakutan rupanya!

"Sabar. Kata Ki Geni, kita harus nunggu dulu sebelum ada yang menyambut kedatangan kita."

Jawaban Asep membuat kening Uyo mengeryit. Apa maksudnya ucapan Asep itu? Hendak menanyakan, tapi ucapannya tertahan. Mungkin hanya dia saja yang curiga, bahkan Ucok dan Darma pun tak berkomentar apa pun.

Alarm ponsel Asep berbunyi. Tepat setelah itu, ia mulai bertingkah aneh. Asep menelungkupkan tubuhnya ke arah gubuk reyot itu. Kemudian gubuk reyot itu terbelah menjadi dua, memperlihatkan pohon randu yang berubah membesar sampai menyentuh langit. Melihat keanehan Asep, membuat ketiga temannya menjauh dan saling memeluk satu sama lain di pojok pohon jati.

"Mbah, saya datang kemari," ujar Asep dengan suara bergetar. "Sesuai janji, saya dan Ki Geni. Kami mepersembahkan tiga orang yang lahir di hari Jum'at Kliwon."

"Hah? Maksud lo apa?" pekik Uyo dengan napas memburu cepat. Kakinya gemetaran, peluh keringat memenuhi dahinya. Tak tak hanya Uyo, Ucok dan Damar pun sudah hampir mati ketakutan.

"Mohon terima, Mbah," lanjut Asep tidak mempedulikan ucapan Uyo.

Deru petir menggelegar. Kilatnya saling bersautan, membentuk cahaya terang menerangi kegelapan. Sosok tinggi besar datang dari balik pohon randu besar itu. HAHAHAHA... suara tawanya hampir membuat gendang telinga pecah. Uyo, Ucok dan Damar sudah tergeletak lemas diselimuti ketakutan. Pohon jati yang jadi sandaran pun tiba-tiba hancur bagai debu berterbangan hanya dengan jentikan jari sosok tinggi besar itu.

"L---lo siapa?!" Uyo memberanikan diri bertanya di sisa kewarasannya. Peduli setan, jika memang ini takdirnya, tak lama lagi ia juga akan mati.

"Greweno, penguasa hutan ini." Lagi-lagi suara itu seperti ingin merobek gendang telinga manusia. Semakin bicara, semakin berdarahlah telinga mereka.

"Jangan bicara lagi, Bajingan! Bisa-bisa kuping gua congek!" Asep berkata kasar. Ia pun sama sakitnya.

"Brengsek! Masih berani lo maki-maki gua?" Uyo tak kalah kesal. "Lo udah jebak kita ke sini. Sebenernya rencana lo apa, sih?"

"Kemiskinan buat gua menderita dan gila. Cara satu-satunya yang paling mudah adalah bersekutu dengan Jin. Dan syarat utama dari perjanjian ini, gue perlu lo semua untuk dijadikan tumbal."

"Bajingan! Biadab! Lo udah nipu kita semua!" teriak Ucok sambil menangis.

"Itu salah kalian sendiri. Hari gini mana ada kaya cuma-cuma? Apalagi percaya harta karun?! Andai saja ada di nusantara ini, pemerintah mungkin udah gali buat bayar utang negara. Berpikirlah rasional dikit. Kalau mau kaya, ya lo usaha!"

Belum sempat membalas ucapan Asep, ketiga temannya itu langsung dilahap habis oleh Greweno. Kejadiannya begitu cepat. Mungkin sepadan dengan kecepatan cahaya. Meski di lubuk hati paling dalam ia merasa bersalah, tetapi Asep tak bisa berbuat apa-apa.

Kemiskinan sudah melahap iman, kewarasan dan jiwanya.

Asep pulang dengan membawa kris dibalut kain merah pemberian Greweno. Esok hari, ia akan tanam di depan warung mie ayam miliknya. Laris manis, tanjung kimpul, dagangan laris uang kumpul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun