"Mbah, saya datang kemari," ujar Asep dengan suara bergetar. "Sesuai janji, saya dan Ki Geni. Kami mepersembahkan tiga orang yang lahir di hari Jum'at Kliwon."
"Hah? Maksud lo apa?" pekik Uyo dengan napas memburu cepat. Kakinya gemetaran, peluh keringat memenuhi dahinya. Tak tak hanya Uyo, Ucok dan Damar pun sudah hampir mati ketakutan.
"Mohon terima, Mbah," lanjut Asep tidak mempedulikan ucapan Uyo.
Deru petir menggelegar. Kilatnya saling bersautan, membentuk cahaya terang menerangi kegelapan. Sosok tinggi besar datang dari balik pohon randu besar itu. HAHAHAHA... suara tawanya hampir membuat gendang telinga pecah. Uyo, Ucok dan Damar sudah tergeletak lemas diselimuti ketakutan. Pohon jati yang jadi sandaran pun tiba-tiba hancur bagai debu berterbangan hanya dengan jentikan jari sosok tinggi besar itu.
"L---lo siapa?!" Uyo memberanikan diri bertanya di sisa kewarasannya. Peduli setan, jika memang ini takdirnya, tak lama lagi ia juga akan mati.
"Greweno, penguasa hutan ini." Lagi-lagi suara itu seperti ingin merobek gendang telinga manusia. Semakin bicara, semakin berdarahlah telinga mereka.
"Jangan bicara lagi, Bajingan! Bisa-bisa kuping gua congek!" Asep berkata kasar. Ia pun sama sakitnya.
"Brengsek! Masih berani lo maki-maki gua?" Uyo tak kalah kesal. "Lo udah jebak kita ke sini. Sebenernya rencana lo apa, sih?"
"Kemiskinan buat gua menderita dan gila. Cara satu-satunya yang paling mudah adalah bersekutu dengan Jin. Dan syarat utama dari perjanjian ini, gue perlu lo semua untuk dijadikan tumbal."
"Bajingan! Biadab! Lo udah nipu kita semua!" teriak Ucok sambil menangis.
"Itu salah kalian sendiri. Hari gini mana ada kaya cuma-cuma? Apalagi percaya harta karun?! Andai saja ada di nusantara ini, pemerintah mungkin udah gali buat bayar utang negara. Berpikirlah rasional dikit. Kalau mau kaya, ya lo usaha!"