Pria bermuka masam itu bernama Waluyo. Orang desa biasa memanggilnya Uyo. Baru saja istrinya marah-marah, bahkan mengancam ingin cerai. Hal itu terjadi sebab sudah sebulan ini Uyo tidak bekerja. Pekerjaannya sebagai kuli bangunan membuat pendapatan 30 tahun itu tak menetentu.
Uang tabungan di celengan ayam jago warna merah pun habis untuk bermain judi. Belum lagi angsuran kredit panci yang sudah jatuh tempo hari ini. Petugas bank keliling datang menagih ke rumah, makin pucat saja muka Uyo. Aduh ... mana duit di kantong celana tinggal lima puluh ribu lagi, gumamnya. Tak ingin istrinya makin marah, dengan berat hati, pria itu membayar kredit bulan itu dengan tangan gemetar. Hilang sudah selembar harapannya.
"Nih, masih ada kembali lima ribu," ujar petugas bank keliling itu menjulurkan tangan memberikan kembalian. Ia pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa.
Melihat uang lima ribu yang masih Uyo pegang, istrinya marah-marah lagi. "Lima ribu cukup apaan hari gini?"
Uyo tak bisa jawab apa-apa. Kalau dipikir-pikir wajar istrinya marah. Berak aja sekarang bayar dua ribu.
"Lu kerja dong! Jangan males jadi suami!" hardik istri Uyo dengan nada yang meninggi. Matanya melotot sambil berkacak pinggang, sudah dongkol setengah mati.
Uyo reflek menggeleng kepalanya tak tahu diri. Dia menentang keras perkataan sang istri. Kalau malas itu artinya hanya tidur-tiduran saja di rumah sepanjang waktu. Ia berkeyakinan bahwa bermain judi juga sebuah usaha. Ya, meski caranya salah. Di dalam hati, ia terus membela diri. Tapi hanya sebatas dalam hati saja, dia masih waras untuk tidak cari perkara dengan perempuan yang sedang marah. Salah kata, balok kayu samping rumah bisa mendarat empuk di kepala.
"Selain kagak punya otak, lu juga kagak punya mulut?" Suara istri Uyo makin menjadi. Bisik-bisik tetangga mulai terdengar. Ibu-ibu yang sedang ngerumpi di warung depan rumah cekikikan layaknya mendengar komedi.
"Iya, iya," jawab Uyo dengan wajah kecut, persis seperti nasibnya hari ini.
Bosan di rumah dan merasa harus mencari sesuatu untuk santapan makan malam, Uyo bergegas pergi menuju sungai bawah jembatan di perbatasan desa. Namun, sebelum pergi ke tempat tujuan, ia mampir terlebih dulu ke rumah Asep, temannya.
Asep meminjam pancingan dua bulan lalu. Tetapi dasar manusia tak punya etika meminjam, sampai detik ini pun pancingan itu masih belum dikembalikan. Untung saja jarak rumah Uyo dan Asep tidak bergitu jauh. Ya, hanya beda beberapa gang saja. Namun, baru saja menginjakan kaki di pelataran rumah, istri Asep langsung bicara ketus. '"Asep kagak ada di rumah!"
Alis Uyo berkerut bingung. Sialan nih bini Asep. Belum aja gua ngomong apa-apa! Kadang Uyo heran mengapa istri Asep itu bersikap dingin padanya.