Pun dengan tradisi dalam berdoa kita kepada Allah Swt. Secara umum, nyaris sebagian menempatkan doa untuk memaksa Allah Swt agar mempercepat pengabulan permintaan kita.
Kesannya doa sebagai "alat penodong" agar Allah Swt, segera menjawab bahkan segera menurunkan permintaan seorang hamba sesuai yang dibutuhkan atau yang diinginkan.
"Allah, saya sudah berdoa banyak lho, saya sudah sholat sunah siang dan malam...saya sudah puasa 40 hari, saya sudah minta rezeki kepadaMu. Katanya akan selalu dijawab. Awas kalau tidak dikabulkan...
Kesan doa yang selama ini, ya seperti itu.
Sebab itulah kemampuan daya tangkap sebagian kita terhadap fungsi doa. Sehingga doa bukan sebagai bahasa kecintaan kepada Sang Pecinta, melainkan sebagai alat penekan terhadap pengabulan doa yang sangat stuktural.
Posisinya menjadi terbalik. Allah Swt seolah menjadi "bawahan" dan kita menjadi "atasan" yang setiap keinginannya harus dipenuhi. Berdoa tugas dan kewajiban hamba, sementara tentang pengabulan doa itu otoritas mutlak milik Allah Swt.
Berdoa sebagai bentuk ketidakberdayaan kita sebagai hamba, sekaligus wujud kecintaan kita kepada Allah Swt yang telah memberi jasad sempurna (fii ahsani taqwiim) tanpa kita minta lebih dulu.
Logikanya dalam asmara, selagi kita jatuh cinta, kita akan selalu menyebut nama kekasih kita di sepanjang siang dan malam. Ingat syair sebuah lagu di era 80-an, yang dinyanyikan Dina Mariana, dalam acara SAFARI TVRI Pusat Jakarta; Â Â
...aku mau makan ingat kamu, aku mau tidur ingat kamu, aku sedang sendiri ingat kamu..
atau dalam bahasa kelakar anak muda : seolah dunia milik kita berdua, yang lain ngontrak..
Pun demikian halnya dalam tradisi berdoa. Dengan terus mengingat,  menyebut nama-Nya, mengalunkan sifat-sifatNya dalam Asmaul Husna, kita sejatinya sedang membangun cinta kepada  Sang Pecinta.