Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang

Jurnalis, Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan sekarang mengelola Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Rahmat Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sedang Tuhan Pun Harus Dirayu

11 Mei 2022   07:54 Diperbarui: 11 Mei 2022   07:56 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu sekitar pukul 20.30 WIB kami makan malam. Tepatnya di Lapangan Parkir GOR Sriwijaya Jalan POM IX (sekarang Palembang Icon).

Saya, Herdi Gunawan, (Owner Tabloid Visi Indonesia di Palembang), Hamzah Ruslin, Pemimpin Redaksi Harian Umum Sriwijaya Post (kedua senior Aliansj Jurnalis Independen-AJI Palembang ini sudah almarhum), dan Taufik Wijaya (Wartawan Detik.Com di Palembang, juga hadir Mas Item (Eko Maryadi), senior AJI Indonesia yang kali itu sengaja hadir di Palembang untuk mendinamisasikan AJI Palembang, yang kala itu sempat "sepi" kegiatan.

Tak lama kemudian menu yang dipesan siap disantap. Sembari bercengkrama seadanya, kami nikmati saja ketika dua pengamen datang dan seketika mohon izin menyanyikan lagu.

Kedua pengamen itu diperkirakan  masih berumur belasan tahun. Mereka memainkan senar gitarnya bagus diiringi dengan alat perkusi sederhana layaknya pengamen jalanan pada umumnya.

Meski saya bukan musisi, tapi ritme, nada dan denting gitarnya mampu menembus rasa bilik jamtung saya. Mungkin juga bagi kawan saya yang lain.

Terbukti, kedua senior saya, Herdi Gunawan dan Taufik Wijaya reques lagu tambahan kepada kedua pengamen itu. Lagu Wakil Rakyat, Bongkar, dan Kemesraan Iwan Fals mengiringi kami makan dan ngopi malam itu. Setelah reques, kedua pengamen kami silakan menambah 1 lagu bebas sesuka mereka.

"Sudah, Om," ujar salah satu pengamen ingin beranjak pergi usai menyelesaikan lagu terakhirnya. 

Herdi Gunawan, ketika itu memberi lembaran merah Rp. 100 ribu kepada kedua pengamen.

Setelah mereka menerima, sesaat kedua pengamen itu bengong. Keduanya saling pandang. Mereka terlihat heran dengan lembaran Rp 100 ribu itu.

"Trima kasih, Om. Ini kebanyakan , Om," ujarnya lagi.

"Ambeklah dik, itu untuk kamu nian," ujar Herdi sambil senyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun