Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang

Jurnalis, Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan sekarang mengelola Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Rahmat Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sedang Tuhan Pun Harus Dirayu

11 Mei 2022   07:54 Diperbarui: 11 Mei 2022   07:56 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santri-Santri di Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang sedang "merayu" Tuhan (Foto. Dok. Rumah Tahfidz Rahmat)

Oleh Imron Supriyadi

Pekan ini, 6 Mei 2022, pukul 20.30 WIB, saya membuka WA dari salah satu teman saya berinisial Jh yang kini tinggal di Lubuklinggau, sebuah Kota di Sumatera Selatan. Berikut teks WA-nya :

Cakmano mas menyikapi rezeki uang yg belum maksimal singgah di kito  

Sangat mungkin pertanyaan Jh, teman saya ini bisa mewakili puluhan, ratusan bahkan puluhan ribu manusia, termasuk juga, saya. Siapapun : saya, Anda dan kita Insya Allah dengan kesadaran kehambaan dan ke-khalifahan sangat sadar, putaran waktu dan apapun yang terjadi di bumi dan langit seisinya tak lepas dari rencana (skenario) Allah, Swt.

Sebab hakikat kita dasarnya tidak ada, (mati), kemudian di-adakan (dihidupkan), lalu kita akan kembali pada ketiadaan, dan ketiadaan itulah hakikat (keabadian) kemanusiaan kita.

Karena kita bermuasal dari ketiadaan, lalu diadakan (dihidupkan) maka, tidak ada satu detak napas pun dibumi Allah Swt ini yang lepas dari qodho dan qodar-Nya si Empunya Langit dan Bumi.

Jangankan tertundannya rejeki, daun jatuh dari atas pohon pun semua sudah takdir. Termasuk waktu dan komposisi tinja, air kecil yang selalu keluar dari dubur kita. Semua diatur dengan sistem yang rapi, jauh sebelum atau bahkan tak pernah kita minta sebelumnya.

Kisah Dua Pengamen

Membaca WA Jh, teman saya itu, saya kemudian teringat dengan kisah saya dan kawan-kawan wartawan di Palembang.

Saya lupa hari dan tanggalnya. Tapi ini terjadi tahun 2011.

Malam itu sekitar pukul 20.30 WIB kami makan malam. Tepatnya di Lapangan Parkir GOR Sriwijaya Jalan POM IX (sekarang Palembang Icon).

Saya, Herdi Gunawan, (Owner Tabloid Visi Indonesia di Palembang), Hamzah Ruslin, Pemimpin Redaksi Harian Umum Sriwijaya Post (kedua senior Aliansj Jurnalis Independen-AJI Palembang ini sudah almarhum), dan Taufik Wijaya (Wartawan Detik.Com di Palembang, juga hadir Mas Item (Eko Maryadi), senior AJI Indonesia yang kali itu sengaja hadir di Palembang untuk mendinamisasikan AJI Palembang, yang kala itu sempat "sepi" kegiatan.

Tak lama kemudian menu yang dipesan siap disantap. Sembari bercengkrama seadanya, kami nikmati saja ketika dua pengamen datang dan seketika mohon izin menyanyikan lagu.

Kedua pengamen itu diperkirakan  masih berumur belasan tahun. Mereka memainkan senar gitarnya bagus diiringi dengan alat perkusi sederhana layaknya pengamen jalanan pada umumnya.

Meski saya bukan musisi, tapi ritme, nada dan denting gitarnya mampu menembus rasa bilik jamtung saya. Mungkin juga bagi kawan saya yang lain.

Terbukti, kedua senior saya, Herdi Gunawan dan Taufik Wijaya reques lagu tambahan kepada kedua pengamen itu. Lagu Wakil Rakyat, Bongkar, dan Kemesraan Iwan Fals mengiringi kami makan dan ngopi malam itu. Setelah reques, kedua pengamen kami silakan menambah 1 lagu bebas sesuka mereka.

"Sudah, Om," ujar salah satu pengamen ingin beranjak pergi usai menyelesaikan lagu terakhirnya. 

Herdi Gunawan, ketika itu memberi lembaran merah Rp. 100 ribu kepada kedua pengamen.

Setelah mereka menerima, sesaat kedua pengamen itu bengong. Keduanya saling pandang. Mereka terlihat heran dengan lembaran Rp 100 ribu itu.

"Trima kasih, Om. Ini kebanyakan , Om," ujarnya lagi.

"Ambeklah dik, itu untuk kamu nian," ujar Herdi sambil senyum.

"Terima kasih, Om," ujarnya ketiga kalinya. Lalu beranjak pergi.

Pengamen Waria

Pada kisah berbeda, ada seorang Waria datang ke sebuah kedai kopi. Kali itu di Kawasan Ilir Barat Permai Palembang. Peristiwanya di tahun 95-an.

Dengan gaya yang khas.dengan ronce-ronce gelang, tangannya memainkan tamborin sekenanya.

"Aku tak mau kalau aku dimadu. Pulangkan saja pada orang tuaku..."

Begitulah sebait lagu yang saya ingat dinyanyikan si pengamen Waria.

Mungkin hanya 30 detik, satu diantara pengunjung kedai kopi  kemudian memberi selembar uang 2 rb an.

"Wow.. dua rebes...mokasih om...tapi dak cukup untuk beli bedak...

Untung Si Waria langsung pergi. Kalau tidak, entah apa yang bakal dilakukan pengunjung kedai kepada Waria itu.

"Awak suaro buruk, nak minta mahal... ringam...aku. Banyak rasan pulok..nak beli bedak. Dasar ndak tahu trimo kaseh, la dienjuk jadilah  pulok...

(Suara sudah buruk, mau minta bayar mahal. Saya terganggu. Banyak bacot segala. Mau beli bedaklah! Tidak tahu terima kasih. Kalau sudah diberi itu ya sudah...)

Si Pengunjung tadi menggerutu akibat perilaku Waria yang baru saja berlalu dengan sedikit menyindir si pemberi uang.

Lain kisah dua pengamen lain pula si Pengamen Waria. Kedua pengamen kecil yang dihadapan kami, meski harus tertahan agak lama dengan  risiko menyanyikan 4 lagu, tapi hasilnya RP. 100 ribu.

Sementara, si Waria -- terlepas lagu dan suaranya dinilai pengunjung kedai tidak bagus, tapi dengan cepat langsung dapat uang Rp. 2 ribu.

Cepat. Singkat. Hanya dalam waktu 30 detik, si Waria dapat bonus Rp 2 ribu plus sedikit makian dari pengunjung kedai.

Sementara kedua pengamen di Lapangan Parkir GOR Sriwijaya dengan sabar melayani reques lagu darI kami yang memakan waktu lebih dari 30 menit lebih. Jauhkan? Satu 30 menit, satu lagi 30 detik.

Sabar Bernyanyi

Berkat sabar dengan terus bernanyi sesuai pesanan kami,.kedua pengamen kecil itu mendapat uang Rp 100 ribu.

Kedua pengamen kecil itu sanggup menunda keinginannya berpindah ke kedai lain, karena mash ingin "merayu" melayani kami dengan 4 lagu Iwan Fals yang kami reques.

Karena kami suka dengan suara dan lagunya, sehingga kami juga menahan waktunya kedua  pengamen kecil itu agar terus mengamen di hadapan kami.

Tentu, ketika itu terutama Herdi Gunawan sudah lebih dulu menyiapkan uang lebih dari biasanya untuk kedua pengamen kecil itu. Sementara si Waria hanya dengan waktu 30 detik langsung dapat Rp..2 ribu, itupun diujungi dengan kekesalan dari si pemberi.

Tradisi Berdoa

Pun dengan tradisi dalam berdoa kita kepada Allah Swt. Secara umum, nyaris sebagian menempatkan doa untuk memaksa Allah Swt agar mempercepat pengabulan permintaan kita.

Kesannya doa sebagai "alat penodong" agar Allah Swt, segera menjawab bahkan segera menurunkan permintaan seorang hamba sesuai yang dibutuhkan atau yang diinginkan.

"Allah, saya sudah berdoa banyak lho, saya sudah sholat sunah siang dan malam...saya sudah puasa 40 hari, saya sudah minta rezeki kepadaMu. Katanya akan selalu dijawab. Awas kalau tidak dikabulkan...

Kesan doa yang selama ini, ya seperti itu.

Sebab itulah kemampuan daya tangkap sebagian kita terhadap fungsi doa. Sehingga doa bukan sebagai bahasa kecintaan kepada Sang Pecinta, melainkan sebagai alat penekan terhadap pengabulan doa yang sangat stuktural.

Posisinya menjadi terbalik. Allah Swt seolah menjadi "bawahan" dan kita menjadi "atasan" yang setiap keinginannya harus dipenuhi. Berdoa tugas dan kewajiban hamba, sementara tentang pengabulan doa itu otoritas mutlak milik Allah Swt.

Berdoa sebagai bentuk ketidakberdayaan kita sebagai hamba, sekaligus wujud kecintaan kita kepada Allah Swt yang telah memberi jasad sempurna (fii ahsani taqwiim) tanpa kita minta lebih dulu.

Logikanya dalam asmara, selagi kita jatuh cinta, kita akan selalu menyebut nama kekasih kita di sepanjang siang dan malam. Ingat syair sebuah lagu di era 80-an, yang dinyanyikan Dina Mariana, dalam acara SAFARI TVRI Pusat Jakarta;   

...aku mau makan ingat kamu, aku mau tidur ingat kamu, aku sedang sendiri ingat kamu..

atau dalam bahasa kelakar anak muda : seolah dunia milik kita berdua, yang lain ngontrak..

Pun demikian halnya dalam tradisi berdoa. Dengan terus mengingat,  menyebut nama-Nya, mengalunkan sifat-sifatNya dalam Asmaul Husna, kita sejatinya sedang membangun cinta kepada  Sang Pecinta.

Kedua Pengamen yang bersama kami di Lapangan Parkir GOR Sriwijaya, dalam proses mengamennya, telah berhasil "membangun cinta" yang kemudian lantunan lagunya merasuk ke lubuk jantung kami diantara hidangan makan, sehingga  di akhir mengamen, kedua pengamen itu mendapat "nilai plus" dari kami dalam wujud Rp.100 ribu.

Maka, ketika kita terus berdoa, bertafakur dan tak henti menyebut namaNya sejatinya kita sedang mengamen kepada dan merayu Allah Swt agar kecintaan kita menembus cahaya Sang Pecinta.

Bila kemudian lantunan kita dalam "mengamen" belum juga terwujud atau belum dikabulkan, yakinlah, kali itu Allah Swt sedang merencakan skenario (takdir) yang lebih indah untuk kita.

Memikirkan dan memanfaatkan yang sudah diberikan Allah Swt dalam diri kita, akan lebih mendinginkan "syahwat duniawi" kita, dari pada harus memaksa-maksa Allah Swt dengan doa yang mengancam.

Pada posisi seperti itu, (sebagaimana isi WA Jh, teman saya) maka bersyukur dan bersabar adalah senjata paling ampuh ketika kita menghadapi "tertundanya pengabulan doa"

Kita punya keinginan atau kita anggap kebutuhan. Tapi sesuatu yang  mungkin kita anggap sebagai kebutuhan terbaik, ternyata di mata Allah Swt sebagai keinginan semata, belum menjadi kebutuhan. Baik menurut kita, tapi belum tentu baik di mata Allah Swt. Demikian juga sebaliknya.

Manusia pasti punya keinginan, Tapi Allah punya kehendak. Kita sering mengatakan "Manusia bisa berencana, dan Tuhan yang menentukan"  Tapi faktanya, ketika kegagalan menimpa, tak jarang sebagian kita tidak menerima, bahkan menyalahkan takdir.

Masalahnya kemudian kapankah antara kehendak Allah Swt dan keinginan kita bisa beriring sehingga doa yang kita gaungkan kemudian terkabul, seperti halnya ketika kita minta rezeki?  Jawabnya: Wallahu a'lam bishowab hanya Allah yang Maha Tahu, kapan permintaan hamba-Nya pantas dikabulkan, juga dalam bentuk apa yang tepat diberikan kepada si hamba yang erus meminta dalam doa.

Meminjam analogi KH Imron Jamil dalam Syarah Al-Hikam-nya, mungkin yang kita minta ke Allah Swt Es Dawet, tapi yang dikabulkan sirup atau jamu. Sebab Allah Swt mengetahui, kita sedang sakit pilek. Kebutuhan kita saat sakit pilek bukan Es Dawet tapi sirup atau jamu supaya sembuh dari pilek.

Apapun kondisnya, kita wajib terus "mengamen dan merayu Tuhan" sampai Malaikat Izroil diizinkan Allah Swt menghentikan detak napas kita**

Palembang, 7 Mei 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun