Aku menemuinya setelah menikmati riuh pesta pora di kepala. Menghapus titik titik yang merembes dari sudut mata, tak urung kutarik juga sebuah kursi di depannya duduk. Menjemput resah yang aku khawatirkan jauh jauh hari, aku menatap matanya dengan kembali berkaca kaca.
Dua hari yang lalu, aku memulai untuk terus bersedih setelah mengintainya diam diam. Dipeluk seorang gadis bergaun selutut warna merah. Meski tak hanya sekali ini kuperhatikan ia sering berlama lama menemui perempuan lain, namun kurasa ini adalah bagian terpedih yang pernah ada.
      "Tia, aku mau bicara" katanya.
Aku mengangguk, namun menolak saat ia meraih jemariku untuk ia genggam.
      "Orang tua kita" katanya kemudian.
Aku kembali tersedu.
Kutatap langit langit, seolah ingin kembali menuang air mata yag telah riuh kutumpahkan.
      "Kita harus segera pulang, menyelesaikan semuanya".
Aku juga ingin begitu, batinku.
      "Kamu bersedia kan? Tia"
Kukatakan aku mau pergi setelah tuntas mengurus segala berkas untuk upacara kelulusan minggu depan.
Aku membuang jauh jauh pikiran tentang segala yang orang tuaku paksakan padaku. Kejatuhan bisnis, sakit abangku yang hampir tak bisa ditolong, aku yang tak bisa apa apa adalah sederet alasan sederhana mengapa aku tak bisa protes dengan keputusan mereka menjodohkanku dengan lelaki ini. Aku sendiri yakin bahwa  cinta bisa tumbuh seiring seringnya bertemu, cinta bisa berkecambah dengan setiap saat berjumpa, namun di saat aku mulai merangkak jatuh cinta, lelaki ini menghempaskanku dengan sia sia.
      "Tia, aku harap kamu baik baik saja"
Iya, aku lebih dari baik. Namun tidak saat ini, tidak dalam detik detik ini.
      "Kabari aku kalau kau sudah siap, ya Tia. Aku tak ingin semua orang menunggu. Kurasa ini adalah cara terbaik untuk membalas perjuangan ayah dan ibumu, Tia".
Aku mengangguk, pasrah dengan kata katanya yang berangsur menyakitkan.
      "Selepas acara kau oleh terbang sebebasnya, aku takkan tahan kau Tia. Aku tahu mimpimu begitu panjang. Tak apa tak kau libatkan aku, aku cukup tahu diri. Tugasku hanya menunggumu, menggenapi janji kemudian akan kucoba menjaga baik baik dirimu saat kau telah sah menjadi istriku. Aku sudah cukup bahagia Tia, maaf telah membuatmu menunda hal hal yang ingin kau capai".
Kurasa, aku menangis lebih keras mendengar kata katanya yang berubah melembut.
Bagaimana bisa aku akan membencimu, Mas Bara. Kau mencintai yang selain aku namun masih mau menerimaku dengan sangat baik.
Dia genggam jemariku.
      "Semuanya akan baik baik saja. Kita hanya perlu terlihat bahagia di hadapan keluarga. Tugas kita akan segera berakhir, Tia. Kau akan menciptakan dirimu sendiri setelah ini" Mas Bara meyakinkanku, lebih dalam.
Aku masih tersedu, seduhan kopi seakan melewati beku. Dalam hatiku aku yakin semua akan segera selesai, perasaanku juga akan usai. Semua hanya perkara waktu. Juga tentang aku yang tak ingin terus terusan mengharapkan Mas Bara akan berubah mencintaiku dengan penuh, tanpa basa basi, tanpa dalih tanggung jawab kepada orang tua. Semua akan menjadi sudah yang benar benar sudah, jika aku mau sedikit lebih sabar dalam mengalah.
      "Tia, semoga aku tidak melukaimu"
Tidak Mas Bara, tidak sama sekali.
Setidaknya, jika tak kulewati tempatmu makan siang tadi. Gadis bergaun merah itu, kurasa cantik sekali.
Lebih dari aku.
Seseorang yang diatur untuk menjadi jodohmu bulan depan.
-
Dua puluh lima hektar tanah bapak tak sedikitpun tersisa. Di saat itu aku butuh banyak biaya demi menyelesaikan tugas akhir. Ikatan perjanjian antara orang tuaku dengan orang tua Mas Bara tak terelakkan seiring abangku yang tak kunjung diberi sembuh. Janji harus ditunaikan, aku harus dibayarkan untuk menutup segala kebaikan.
Hari ini aku mengenakan riasan lengkap dengan melati imitasi yang menghiasi rambutku. Tak habis air mataku merembes, terkadang aku khilaf dengan mengutuki takdir. Kupeluk lengan ibu, kutumpahkan air mataku pada brokat kuningnya. Kubilang aku menangis bahagia karena pada akhirnya Mas Bara lah yang menikahiku, bukan orang lain.
Perlengkapan akad dipersiapkan. Aku maju, melepas tangan ibu. Masih menggenggam tissue yang lumat. Kulihat wajah Mas Bara, Mas Bara tersenyum seolah berusaha membuatku kembali yakin dengan semuanya.
Akad terlafadzkan, aku sah menjadi istri Mas Bara. Lelaki yang lututnya sering kuberi plester ketika ia lecet dan berdarah. Lelaki yang semenjak aku kecil selalu ikut kemanapun aku mencari kepik emas. Lelaki pelindung masa kecilku ini, telah menjadi suamiku.
Aku masih tersedu, berubah dipeluk berbagai varian haru yang entah darimana asalnya. Aku merasa seperti Siti Nurbaya, reinkarnasi. Seperti melekat pada sosok cantik itu. Namun, aku merasa bahwa aku lebih tersiksa karena aku benar benar mencintai Mas Bara.
Di kamar pengantin, saat aku masih bersimbah tangis Mas Bara masih sempat meletakkan tangannya di puncak kepalaku. Mendoakan dengan khidmat, memelukku. Dia katakan tugasku telah selesai. Sekarang terserah akan bagaimana langkah yang akan kupilih, jalan mana yang harus kutempuh, rencana apa yang harus kubenahi.
Aku masih terisak.
Aku mencintai Mas Bara.
-
Tiga hari setelah itu, aku pamit undur diri.
Kembali pada rutinitas kehidupan di kota. Sejak lamaranku diterima, aku izin pada Mas Bara untuk bekerja di salah satu perusahaan multinasional. Anggota keluarga lain tak berkomentar banyak, memandangku sebagai perempuan cerdas yang ambisius, tak bisa ditahan di kampung. Mereka cukup berbangga telah memiliki aku sebagai anggota dari keluarga yang baru. Dianggap tanpa cacat, cantik, pintar, revolusioner, santun, penurut dan sederet alasan lain yang terkadang kusanggah sendiri.
      "Terimakasih Mas Bara, jaga diri baik baik. Sawah, ladang, ternak dan segala yang kini kau atur butuh managemen yang baik. Maaf, aku tak bisa mendampingimu" kataku saat Mas Bara dengan susah payah mengantarku ke bandara. Dia mengangguk, tersenyum. Mendamaikan hatiku seperti biasanya.
      "Tak perlu kau risaukan, Tia. Kamu juga harus menjaga dirimu baik baik. Semoga senantiasa sukses di perantauan".
Aku mengangguk.
Mau tak mau, aku tak menolak ketika ia merengkuhku. Merasakan tetes air di bahu kiriku kemudian.
Mas Bara menangis.
Dia melepasku, melambaikan tangan saat aku mulai berjalan menyeret koper sendirian.
Maafkan aku Mas Bara.
Dan setelahnya, aku menangis lebih banyak.
-
      "Namanya Fara, pegawai toko emas. Penampilannya memang seperti itu. Tuntutan pekerjaan, harus menarik" kata perempuan ini. Aku mengangguk. Sekaligus memuji hasil kerjanya yang lumayan bagus.
      "Jadi tugas saya apalagi?" tanyanya sejurus kemudian. Aku terpekur, rasanya sudah cukup. Lima hasil yang didapat sudah dapat kutangkap dengan baik kesimpulannya.
Aku termenung, mengira ira apalagi yang harus kulakukan. Kubisikkan beberapa kalimat padanya. Ia mengangguk.
      "Nanti kalau sudah dapat saya langsung kirim ke kantor Mbak" janjinya.
Aku giliran mengangguk. Dia berlalu setelah transaksi terjadi. Aku puas dengan kinerjanya yang tak mengecewakan.
Aku memutuskan untuk menemui perempuan bernama Fara itu ketika kupastikan dia telah tak sibuk bekerja. Menghalau sore yang sedikit dingin sisa hujan, kami bertemu di sebuah meja dengan dua cangkir kopi pelengkap basa basi. Ternyata dia lebih cantik ketika lebih dekat aku melihat wajahnya. Pantas saja Mas Bara mendekatinya.
      "Perkenalkan, saya Tia. Pasti kamu belum pernah melihat saya atau betemu dengan saya. Kamu Fara, kan?" tanyaku. Tanpa menunggu ia menyahut karena masih tertegun dan sedikit melongo, kuteguk kopiku terlebih dulu.
      "Mbak..."
      "Saya istri sah Mas Bara"
Perempuan di depanku semakin terlihat bingung. Lebih tepatnya bercampur takut, sungkan, ingin segera pergi dan sangat tidak nyaman. Namun begitu kemudian kupegang jemarinya.
      "Fara, terimakasih telah mencintai Mas Bara" kataku.
Kuserahkan sebuah kado untuknya. Kubilang ini sebagai rasa terimakasihku untuk empat tahun terakhir ini. Aku lebih dari tau bahwa dialah yang banyak meredakan Mas Bara. Pertemuan pertemuan mereka yang dianggap tersembunyi telah kuketahui. Empat tahun yang membuatku semakin yakin bahwa tidak sebaiknya aku mengharapkan Mas Bara dapat jatuh cinta kepadaku.
Lewat perempuan ini, aku mengatakan bahwa aku telah ikhlas jika mereka berdua memang ingin hidup bersama.
      "Mbak Tia, saya yang sepantasnya meminta maaf" katanya. Pipinya basah dengan air mata. Kuelus pundaknya, kukatakan ia tak perlu meminta maaf.
      "Mbak, Mas Bara sangat mencintai Mbak Tia" lagi, dia mencoba merangkai kalimat diantara sedu sedan.
Aku tercekat.
Dia, diantara himpitan tangis mengatakan semuanya. Tentang Mas Bara yang begitu merasa beruntung dapat menikahiku. Namun, ia sebagai lelaki merasa tak sebanding dengan istrinya. Dia hanya pewaris kekayaan orang tua, pengelola, tak berbuat banyak untuk kehidupannya selama ini. Sedangkan aku, istrinya adalah perempuan mandiri yang mau melakukan apa saja demi keutuhan keluarga. Mas Bara mencintaiku, bahkan sebelum memang ditakdirkan kami akan menikah atas nama menutup hutang keluarga.
      "Bahkan sejak Mbak Tia senang merawat luka Mas Bara sewaktu kecil. Semuanya bermula sejak lama. Mas Bara, cita citanya sederhana Mbak. Ia ingin melihat Mbak Tia mengejar apa yang Mbak mau. Mas Bara telah mencintai Mbak Tia lebih dulu, sejak kalian masih bermain bersama".
Aku merasa dadaku amat sesak.
      "Mas Bara hanya merasa tak sepadan dengan Mbak Tia yang berpendidikan tinggi, modern. Mas Bara paham bahwa Mbak Tia takkan mungkin mau diajak tinggal di desa, Mas Bara paham takdir Mbak Tia lain. Mas Bara hanya tak pernah bilang bahwa dia merasa begitu kesepian tanpa Mbak"
Kali ini pertahanan mataku jebol.
Kupeluk perempuan di depanku.
      "Mbak Tia, pulanglah Mbak. Mas Bara pasti kangen. Empat tahun adalah waktu yang tak mudah bagi Mas Bara untuk hidup sendirian, Mbak".
Maafkan aku Mas, maafkan aku yang tak pernah menanyakan apakah kau mencintaiku atau tidak. Maafkan kesimpulan kesimpulan yang kubuat sendiri.
      "Aku yakin Mas Bara akan tetap menerima Mbak Tia".
Aku mengangguk, menyemogakan banyak hal.
      "Gaun merah ini, Mbak saja yang simpan. Mas Bara suka warna merah Mbak, Mas Bara pasti suka kalau Mbak yang memakainya" katanya. Aku menggeleng, sudah kuniatkan jika hadiah ini untuknya.
      "Maaf Mbak, maaf sekali. Saya sudah terlalu banyak merepotkan Mas Bara selama ini. Rasanya tidak adil jika saya menerima hadiah ini"
Kami saling memeluk.
      "Maaf ya Mbak, sebagai sahabat Mas Bara yang tau apa apa tentang beliau saya sebenarnya juga ingin mencari Mbak Tia. Tetapi selalu tak sempat, eh malah Mbak Tia yang mencari saya".
      "Sekali lagi terimakasih ya, Fara"
Perempuan itu mengangguk.
Kami berpisah.
Gerimis menyambut manis, kulirik arloji di pergelangan tangan. Sebentar lagi waktu magrib. Mengelus cincin emas di jariku, kuciumi berulang kali. Mas Bara, aku akan pulang. Menjemput banyak sholat berjamaah yang telah kulewatkan. Aku akan pulang, menjemput banyak kesempatan yang mungkin masih tersisa.
-
      "Terimakasih sudah mau kembali, Tia"
Lelaki ini memelukku erat. Sesuatu yang amat kurindukan.
      "Terimakasih sudah mau menghapus rinduku".
Pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa begitu lega. Menyadari jika selama ini cintaku tak pernah bertepuk sebelah tangan.
      "Aku menyayangimu, Tia. Maaf aku tak pernah berani mengatakan hal itu. Aku menyayangimu, Tia. Semenjak kukaitkan kelopak bunga seruni di rambutmu kala itu. Aku mencintaimu".
Iya Mas Bara.
Iya Mas.
Tidak apa apa.
Aku juga mencintaimu.
-
Baturetno
Tuesday 11.36
16 January 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H