Di kamar pengantin, saat aku masih bersimbah tangis Mas Bara masih sempat meletakkan tangannya di puncak kepalaku. Mendoakan dengan khidmat, memelukku. Dia katakan tugasku telah selesai. Sekarang terserah akan bagaimana langkah yang akan kupilih, jalan mana yang harus kutempuh, rencana apa yang harus kubenahi.
Aku masih terisak.
Aku mencintai Mas Bara.
-
Tiga hari setelah itu, aku pamit undur diri.
Kembali pada rutinitas kehidupan di kota. Sejak lamaranku diterima, aku izin pada Mas Bara untuk bekerja di salah satu perusahaan multinasional. Anggota keluarga lain tak berkomentar banyak, memandangku sebagai perempuan cerdas yang ambisius, tak bisa ditahan di kampung. Mereka cukup berbangga telah memiliki aku sebagai anggota dari keluarga yang baru. Dianggap tanpa cacat, cantik, pintar, revolusioner, santun, penurut dan sederet alasan lain yang terkadang kusanggah sendiri.
      "Terimakasih Mas Bara, jaga diri baik baik. Sawah, ladang, ternak dan segala yang kini kau atur butuh managemen yang baik. Maaf, aku tak bisa mendampingimu" kataku saat Mas Bara dengan susah payah mengantarku ke bandara. Dia mengangguk, tersenyum. Mendamaikan hatiku seperti biasanya.
      "Tak perlu kau risaukan, Tia. Kamu juga harus menjaga dirimu baik baik. Semoga senantiasa sukses di perantauan".
Aku mengangguk.
Mau tak mau, aku tak menolak ketika ia merengkuhku. Merasakan tetes air di bahu kiriku kemudian.
Mas Bara menangis.