"Mbak..."
      "Saya istri sah Mas Bara"
Perempuan di depanku semakin terlihat bingung. Lebih tepatnya bercampur takut, sungkan, ingin segera pergi dan sangat tidak nyaman. Namun begitu kemudian kupegang jemarinya.
      "Fara, terimakasih telah mencintai Mas Bara" kataku.
Kuserahkan sebuah kado untuknya. Kubilang ini sebagai rasa terimakasihku untuk empat tahun terakhir ini. Aku lebih dari tau bahwa dialah yang banyak meredakan Mas Bara. Pertemuan pertemuan mereka yang dianggap tersembunyi telah kuketahui. Empat tahun yang membuatku semakin yakin bahwa tidak sebaiknya aku mengharapkan Mas Bara dapat jatuh cinta kepadaku.
Lewat perempuan ini, aku mengatakan bahwa aku telah ikhlas jika mereka berdua memang ingin hidup bersama.
      "Mbak Tia, saya yang sepantasnya meminta maaf" katanya. Pipinya basah dengan air mata. Kuelus pundaknya, kukatakan ia tak perlu meminta maaf.
      "Mbak, Mas Bara sangat mencintai Mbak Tia" lagi, dia mencoba merangkai kalimat diantara sedu sedan.
Aku tercekat.
Dia, diantara himpitan tangis mengatakan semuanya. Tentang Mas Bara yang begitu merasa beruntung dapat menikahiku. Namun, ia sebagai lelaki merasa tak sebanding dengan istrinya. Dia hanya pewaris kekayaan orang tua, pengelola, tak berbuat banyak untuk kehidupannya selama ini. Sedangkan aku, istrinya adalah perempuan mandiri yang mau melakukan apa saja demi keutuhan keluarga. Mas Bara mencintaiku, bahkan sebelum memang ditakdirkan kami akan menikah atas nama menutup hutang keluarga.
      "Bahkan sejak Mbak Tia senang merawat luka Mas Bara sewaktu kecil. Semuanya bermula sejak lama. Mas Bara, cita citanya sederhana Mbak. Ia ingin melihat Mbak Tia mengejar apa yang Mbak mau. Mas Bara telah mencintai Mbak Tia lebih dulu, sejak kalian masih bermain bersama".