"Tia, semoga aku tidak melukaimu"
Tidak Mas Bara, tidak sama sekali.
Setidaknya, jika tak kulewati tempatmu makan siang tadi. Gadis bergaun merah itu, kurasa cantik sekali.
Lebih dari aku.
Seseorang yang diatur untuk menjadi jodohmu bulan depan.
-
Dua puluh lima hektar tanah bapak tak sedikitpun tersisa. Di saat itu aku butuh banyak biaya demi menyelesaikan tugas akhir. Ikatan perjanjian antara orang tuaku dengan orang tua Mas Bara tak terelakkan seiring abangku yang tak kunjung diberi sembuh. Janji harus ditunaikan, aku harus dibayarkan untuk menutup segala kebaikan.
Hari ini aku mengenakan riasan lengkap dengan melati imitasi yang menghiasi rambutku. Tak habis air mataku merembes, terkadang aku khilaf dengan mengutuki takdir. Kupeluk lengan ibu, kutumpahkan air mataku pada brokat kuningnya. Kubilang aku menangis bahagia karena pada akhirnya Mas Bara lah yang menikahiku, bukan orang lain.
Perlengkapan akad dipersiapkan. Aku maju, melepas tangan ibu. Masih menggenggam tissue yang lumat. Kulihat wajah Mas Bara, Mas Bara tersenyum seolah berusaha membuatku kembali yakin dengan semuanya.
Akad terlafadzkan, aku sah menjadi istri Mas Bara. Lelaki yang lututnya sering kuberi plester ketika ia lecet dan berdarah. Lelaki yang semenjak aku kecil selalu ikut kemanapun aku mencari kepik emas. Lelaki pelindung masa kecilku ini, telah menjadi suamiku.
Aku masih tersedu, berubah dipeluk berbagai varian haru yang entah darimana asalnya. Aku merasa seperti Siti Nurbaya, reinkarnasi. Seperti melekat pada sosok cantik itu. Namun, aku merasa bahwa aku lebih tersiksa karena aku benar benar mencintai Mas Bara.