Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Produk Gagal Move On

25 Februari 2017   18:40 Diperbarui: 25 Februari 2017   18:42 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar diambil dari komunitascowokcewekgalau.blogspot.com

“Gimana?”

“Gimana apanya?”

Bibirku mencebik. “Nggak usah pura-pura lupa deh, lo jelas tahu maksud omongan gue, Nat.”

Natalie, sahabatku awalnya mengerut bingung namun hanya beberapa saat sebelum kemudian ia tergelak seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sorry! Sorry!” Katanya. “Nyaris lupa gue kasih laporan ke lo,”

“Dan hasilnya?” tanyaku tak sabar.

“Dia datang.”

“Serius?” Sebelah alisku terangkat tak percaya.

Natalie mengangguk yakin. “Seriuslah.”

“Lo udah mastiin bener?”

Kali ini Natalie berdecak. “Ck, kalau nggak lo tanya sendiri sono sama Amar.”

“Ogah! Ketahuan dong gue pengen banget ketemu Rifat. Mana lo tahu mulut Amar, ember!” Jelasku kemudian. “Yang ada gue jadi bulan-bulanan dia lagi. ”

Natalie tertawa. “Iya ya.  Lo kan produk gagal move on,”

“Sial lo!” umpatku. “Sama aja ternyata.”

Tawa Natalie makin kencang. Wajahku makin bertekuk dibuatnya. “Makanya move on biar nggak dibully mulu,”

“Apaan sih?” Aku melengos.

“Apaan-apaan? Lo tuh yang apaan. Ribet amat sih nyari info si Rifat mau datang apa kagak.” Gerutu Natalie. “Udah putus lama juga, masih ngarep,”

Aku meringis. “Namanya usaha, Nat.”

Kepala Natalie menggeleng. “Yakin lo dia masih jomblo?”

“Yakin,” anggukku mantap.

“Tau dari mana? Medsos?”

Kuanggukkan kepala sekali lagi. “Gue itu hafal ya sifat Rifat. Dia suka ngeshare momen-momen yang menurutnya terbaik. Nah selama ini gue nggak pernah lihat dia ngeshare foto yang ada ceweknya.”

“Padahal dulu sama gue, seringkan?” kataku melanjutkan ucapan.

“Ya kali dia sekarang males posting di medsos.”

Aku merengut mendengar kata-kata Natalie. “Gue juga masih sering kontak kok sama Risa, sepupunya Rifat.”

“Oh gitu,” Natalie hanya manggut-manggut. “Terserah lo deh kalau gitu!”

Senyumku mengembang seketika. “Gitu dong jadi sahabat harusnya ngedukung.” Kataku kemudian. “Ya udah yuk, mending sekarang kita ngemall aja,”

“Ke mall?”

“Iya.” Aku mengangguk seraya beringsut dari kursi. “Gue harus tampil sempurna kan?”

***

Ada yang bilang cinta pertama nggak bisa pernah bisa dilupain. Pengalaman pertama jatuh cinta serta semua kenangan yang terukir di dalamnya membuat banyak orang sulit melupakan sang cinta pertama. Meskipun kisahnya pahit sekalipun, cinta pertama tetap tak bisa dilupa. Dan itulah yang kurasakan pada sosok Rifat Riyadi. Cinta pertamaku.

“Jadi pacarku ya, Ras?”

“Hah?”

“Kok hah sih, Ras. Dijawab kali. Aku serius loh suka sama kamu.”

“Gu..gue... ak—aku...,”

“Ok! Waktu habis. Aku anggap ya. Jadi mulai sekarang kita pacaran ya.”

Konyol. Mengingat bagaimana pertama kali ia menyatakan perasaannya dan mengajakku berpacaran. Tak ada kata cinta yang romantis seperti yang kutonton di TV. Aneh kan? Tapi lebih aneh, lagi karena nyatanya aku begitu menikmati hubungan yang terjalin bersama Rifat.

Dia bukan lelaki pemaksa. Rifat tak selalu menuntutku untuk selalu bersamanya. Hal yang biasa dilakukan teman-temanku pada pacarnya. Dalam setiap kebersamaan kami, Rifat justru banyak mengajarkan hal positif padaku. Jangan bayangkan pacaran kami dengan hanya berduaan mojok di tempat sepi. Rifat justru lebih senang mengenalkanku dengan teman-teman futsalnya, atau mengajakku mengikuti kegiatan sosial yang sering mereka adakan.

Bersama Rifat, semua terasa menyenangkan. Aku bahagia. Hari-hari yang kulalui semasa SMA menjadi begitu indah. Sejujurnya awalnya aku sendiri tak begitu yakin berpacaran dengan Rifat. Apalagi mengingat acara penembakan yang cukup aneh. Ah, tapi faktanya waktu membuatku benar-benar jatuh cinta padanya.

Sayang, kebersamaan kami berakhir setahun setelah kelulusan. Kesibukan kuliah menjadi penyebabnya. Kami berkuliah di kampus yang berbeda dan terbentang jarak yang cukup jauh. Komunikasi yang sulit serta intensitas pertemuan yang jarang melengkapi keruwetan hubungan hingga akhirnya kami menyerah dan memutusan hubungan dengan baik-baik.

Sejujurnya aku menyesali keputusan itu. Kalau saja waktu itu aku mau lebih bersabar, mungkin sampai sekarang kami masih bersama. Sepeninggal Rifat, aku sebenarnya telah mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Tapi sayangnya, hati kecilku selalu membandingkan lelaki itu dengan Rifat.

Sial memang! Rifat benar-benar sulit dilupakan.

***

“Perfect!”

Aku tersenyum lebar saat mendapati penampilanku sendiri di balik cermin. Dress selulut tanpa lengan berwarna merah mudaterlihat pas membungkus lekuk tubuhku. Rambut panjang kugelung menggantung dengan menyisakan beberapa helai menjuntai di samping telinga. Dan untuk mempercantik wajah kupoles make-up tipis yang natural.

“Ras! Buruan. Itu Natalie udah jemput di depan.”

Mendengar ucapan Mama, aku pun segera menyudahi menatap cermin. Segera kukenakan stilettoyang telah kusiapkan lalu meraih tas kecil untuk melengkapi penampilan secara keseluruhan.

Ok, Rifat! Gue datang...

***

Acara reuni berlangsung meriah dan ramai. Maklum, sudah lima tahun berlalu sejak kami lulus. Tentu saja acara seperti ini segera menarik minat para alumni. Berbagai kenangan semasa sekolah melintas melalui berbagai gambar dan foto yang memenuhi segala sudut ruang. Aku sendiri sedikit kaget saat menemukan ada fotoku bersama Rifat di lapangan basket sekolah.

Ah, masa itu...

“Gue belum lihat loh,” Natalie berbisik padaku. Aku hanya mengangguk. Paham maksud kata-katanya. Sejak awal aku memang sudah mengatakan padanya untuk memberitahuku jika melihat keberadaan Rifat.  Namun selang lima belas menit kedatangan kami, belum sekalipun diantara kami yang menemukan laki-laki itu.

“Nggak datang apa ya,” ujarku lirih. Takut kecewa.

“Nggak lah! Dia mana pernah sih ingkar janji.” Natalie tersenyum tipis. Aku tahu ia sedang menghiburku. “Ya udah yuk mending cari makan kita, lapar gue.”

Kuterima tawaran Natalie dengan mengikutinya ke bagian makanan. Baru saja aku meraih piring berisi puding buah kesukaanku, Natalie menyenggol lenganku pelan.

“Eh, itu bukannya Rifat.”

Spontan aku berbalik. Dan seketika dunia kurasa begitu sempit. Di depan, tak jauh dariku berdiri ada sosok yang begitu kurindukan. Rifat masih sama. Tak banyak yang berubah darinya kecuali ia tampak lebih dewasa. Seketika aku gelagapan, saat Rifat menoleh. Mata kami pun beradu pandang. Dan tak butuh lama baginya untuk kemudian menghampiriku.

Sejenak aku salah tingkah. Gugup. Namun cepat-cepat kuhela napas panjang untuk menormalkan sikap.

“Hai, Ras! Nat!”

“Ha—hai,” sial! Masih terlihat gugup sepertinya. Tapi kurasa siapapun bisa memaklumi sikapku.

“Kalian bareng nih?”

“Iya. Gue jemput dia. Lo sama siapa?” Natalie yang berkata. Aku bersyukur untuk itu, karena yang kutahu bibirku mendadak kelu. Ya Tuhan, aku bertemu lagi dengannya. Menatap kembali wajahnya. Berdiri berjajar dengannya. 

Argh, ini bukan mimpi kan?

“Nggak. Gue ke sini sama...,” Rifat celingukan. Tapi tak lama bibirnya mengulum senyum. Geraknya seketika mendapat perhatianku. Aku pun segera menoleh mengikuti arah pandang Rifat.

“Halo Laras! Natalie! Apa kabar kalian?”

Keningku mengerut. Sonya, salah satu teman SMA seangkatanku mendekati kami. Aku mendelik sesaat saat melihatnya tanpa canggung menggenggam tangan Rifat dan Rifat tersenyum dengan begitu lembutnya.

Ya Tuhan, jangan-jangan mereka ...

“Ka—kalian?”

 ***

Lampung, Februari 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun