“Eh, itu bukannya Rifat.”
Spontan aku berbalik. Dan seketika dunia kurasa begitu sempit. Di depan, tak jauh dariku berdiri ada sosok yang begitu kurindukan. Rifat masih sama. Tak banyak yang berubah darinya kecuali ia tampak lebih dewasa. Seketika aku gelagapan, saat Rifat menoleh. Mata kami pun beradu pandang. Dan tak butuh lama baginya untuk kemudian menghampiriku.
Sejenak aku salah tingkah. Gugup. Namun cepat-cepat kuhela napas panjang untuk menormalkan sikap.
“Hai, Ras! Nat!”
“Ha—hai,” sial! Masih terlihat gugup sepertinya. Tapi kurasa siapapun bisa memaklumi sikapku.
“Kalian bareng nih?”
“Iya. Gue jemput dia. Lo sama siapa?” Natalie yang berkata. Aku bersyukur untuk itu, karena yang kutahu bibirku mendadak kelu. Ya Tuhan, aku bertemu lagi dengannya. Menatap kembali wajahnya. Berdiri berjajar dengannya.
Argh, ini bukan mimpi kan?
“Nggak. Gue ke sini sama...,” Rifat celingukan. Tapi tak lama bibirnya mengulum senyum. Geraknya seketika mendapat perhatianku. Aku pun segera menoleh mengikuti arah pandang Rifat.
“Halo Laras! Natalie! Apa kabar kalian?”
Keningku mengerut. Sonya, salah satu teman SMA seangkatanku mendekati kami. Aku mendelik sesaat saat melihatnya tanpa canggung menggenggam tangan Rifat dan Rifat tersenyum dengan begitu lembutnya.