“Kok hah sih, Ras. Dijawab kali. Aku serius loh suka sama kamu.”
“Gu..gue... ak—aku...,”
“Ok! Waktu habis. Aku anggap ya. Jadi mulai sekarang kita pacaran ya.”
Konyol. Mengingat bagaimana pertama kali ia menyatakan perasaannya dan mengajakku berpacaran. Tak ada kata cinta yang romantis seperti yang kutonton di TV. Aneh kan? Tapi lebih aneh, lagi karena nyatanya aku begitu menikmati hubungan yang terjalin bersama Rifat.
Dia bukan lelaki pemaksa. Rifat tak selalu menuntutku untuk selalu bersamanya. Hal yang biasa dilakukan teman-temanku pada pacarnya. Dalam setiap kebersamaan kami, Rifat justru banyak mengajarkan hal positif padaku. Jangan bayangkan pacaran kami dengan hanya berduaan mojok di tempat sepi. Rifat justru lebih senang mengenalkanku dengan teman-teman futsalnya, atau mengajakku mengikuti kegiatan sosial yang sering mereka adakan.
Bersama Rifat, semua terasa menyenangkan. Aku bahagia. Hari-hari yang kulalui semasa SMA menjadi begitu indah. Sejujurnya awalnya aku sendiri tak begitu yakin berpacaran dengan Rifat. Apalagi mengingat acara penembakan yang cukup aneh. Ah, tapi faktanya waktu membuatku benar-benar jatuh cinta padanya.
Sayang, kebersamaan kami berakhir setahun setelah kelulusan. Kesibukan kuliah menjadi penyebabnya. Kami berkuliah di kampus yang berbeda dan terbentang jarak yang cukup jauh. Komunikasi yang sulit serta intensitas pertemuan yang jarang melengkapi keruwetan hubungan hingga akhirnya kami menyerah dan memutusan hubungan dengan baik-baik.
Sejujurnya aku menyesali keputusan itu. Kalau saja waktu itu aku mau lebih bersabar, mungkin sampai sekarang kami masih bersama. Sepeninggal Rifat, aku sebenarnya telah mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Tapi sayangnya, hati kecilku selalu membandingkan lelaki itu dengan Rifat.
Sial memang! Rifat benar-benar sulit dilupakan.
***
“Perfect!”