“Nengok Rey,” jawab Haris pendek. Rey. Reyhan Danu, satu lagi bagian dari mereka. Keempatnya cukup dikenal di sekolah. Cowok- cowok usil tetapi banyak prestasi.
“Emang Rey sakit?”
“Astaga Ra, lo ini pinter- pinter tapi telmi ya?” sindir Rifat sembari mendengus geli, “Ya jelaslah kalau nengok berarti dia sakit. Iya kali lo kira kita nengok bayi.”
Aira nyengir. “Ya sorry! Salah keknya pertanyaan gue. Harusnya gue tanya emang sakit apa Rey? Pantas aja kalian bertiga kalem, ternyata si Rey nggak masuk sekolah to!”
“Ish lo ini!” desis Rifat.
“Ya lagian kalian, hobi kok rusuh,” Kini giliran Aira yang mengejek ketiganya.
“Udah deh lu kalau mau nyela nanti- nanti aja! Jawab aja dulu pertanyaan Haris tadi,” ucap Jared.
“Emang harus gue ikut?”Aira balik bertanya dengan nada ketus. Bukan dia bermaksud jahat, tetapi menjenguk Reyhan sakit jelas tak pernah ada dalam pikirannya, mengingat dia lah yang selalu menjadi korban kejahilan Reyhan. Ada saja perilaku pemuda itu yang memancing amarahnya. Minggu lalu saja Aira dibuat gusar, karena Reyhan menganggu ketenangannya saat sedang membaca di perpustakaan sekolah. Dan akibat gangguan Reyhan, sekarang penjaga perpustakaan selalu menatapnya galak. Mungkin khawatir, jika dirinya akan mengganggu ketenangan perpustakaan sekolah.
“Ya elah, salah lo, Ris!” gerutu Rifat. “Model begini jangan ditanya, mending langsung diseret.”
Aira melotot. Diseret? Emang dia apaan!
“Pokoknya lo kudu ikut deh, Ra nanti siang.”