Tetapi, Jamak tak melakukan apa-apa di kamar kecil. Napasnya terasa sesak. Bisikan laki-laki itu sangat melekat pada benak Jamak. Ia menjadi semakin was-was.
"Biasanya orang suka memancing-mancing. Ia bicara tentang dirinya tetapi sebenarnya ia bicara tentanng orang lain. Ia bicara yang jahat-jahat tetapi sebenarnya untuk mengorek kejahatan," pikir Jamak. Dan ia tiba-tiba tidak percaya kepada laki-laki brewokan itu, pasti ia bukan seperti yang dikatakannya.
Jamak semakin kepingin segera sampai dl rumah. Tetapi, perjalanan kereta ini terasa lambat. la tidak kembali ke tempat semula, dan berdiri di atas sambungan gerbong. Orang-orang yang tidak kebagian tempat duduk berjubel di situ. Tiga orang asyik bercakap-cakap tak jauh darinya.
Semula Jamak tak mendengarkan pembicaraannya. Tetapi, pendengarannya tiba-tiba menjadi peka saat ketiga orang tersebut bercerita suatu kejadian. Jamak mendengarnya sambil tertunduk, seakan tak seorang pun boleh mengetahui wajahnya.
“Ya, seperti tadi juga begitu," kata seorang di antaranya yang berambut pendek.
"Bajingan itu tak tertangkap. Saya tahu jelas wajah orang itu brewokan," kata yang lain.
Jantung Jamak berdebar-debar mendengar pembicaraan ketiga orang itu. Ia tiba-tiba teringat dompetnya, kemudian memeriksa saku celana dan bajunya. Dompet itu tidak ada. la mengingat: setelah membayar tiket kereta kemarin ia simpan di dalam tas, bagian samping.
"Sialan! Kenapa tas itu tadi saya tinggal?” gerutunya.
Jamak segera kembali ke tempatnya semula. Ia menduga tas itu telah dirogoh dan diambil isinya. “Astaga! Orang brewok itu akan mendapatkan uang dengan mudah, akan digondolnya tas itu. Sialan!"
Namun, Jamak merasa lega ketika sampai di pojok gerbong itu, segalanya masih tetap seperti semula. Tas itu masih berada di sudut kursi dan laki-laki itu berada di sampingnya. Tetap. la juga telah melihat bagian samping tasnya masih montok berisi dompetnya.
"Aman!" pikirnya. Jamak menghela napas, masih ada sisa ngos-ngosannya.