Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Menjelang Lebaran Keluarga Jamak

18 Juni 2016   19:53 Diperbarui: 19 Juni 2016   12:00 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kereta Lebaran I Dok.pribadi

Pagi-pagi sekali. Ketika matahari masih tidur. Jalanan masih lengang. Jamak segera berkemas untuk mudik. Ia sudah berketetapan hati sejak beberapa bulan yang lalu, lebaran ini harus bersama-sama istri dan kedua anaknya di kampung.

la berangkat tanpa nengucapkan sepatah kata perpisahan pun untuk Ibu Kota. Gelombang lautan manusia segera menenggelamkannya di stasiun pagi itu, seperti air bah yang keruh.

Kadang ia berpikir kenapa harus datang ke Ibu Kota -begitu orang-orang menyebut kota itu- kalau akhirnya membuat perasaannya nyeri? Semangat hidupnya nyunyut? Harapan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di desa malah menjadi sirna sama sekali.

"Ibu Kota memang keras! Apa pun bisa terjadi. Apa pun bisa dimaklumi. Tidak ada basa-basi," pikir Jamak setengah menghibur diri.

Sepanjang perjalanan Jamak merasa was-was, waktu demi waktu seperti menyediakan ancaman. Jamak memilih tempat yang paling pojok di dalam gerbong itu. Ia berharap tempat itu dapat memberi perlindungan. Ia lega dapat leluasa melihat ke mana-mana sementara dirinya sendiri bebas dari perhatian orang lain.

Sekarang yang paling diinginkan Jamak adalah segera melupakan Ibu Kota, dan ingin selalu menyelamatkan diri dari sergapan kecemasannya. Pikirannya terlempar jauh dari gelombang manusia di sekitarnya, tenggelam dalam lamunannya. Tiba-tiba menancap di lambung rumahnya, berkumpul dengan istrinya yang cantik gunung dan kedua anaknya yang manis-manis. Mereka bahagia. Kemudian Jamak mencoba perlahan-lahan bergeser ke kamarnya dan ingin berlama-lama di sana. Ia melamun.

Tiba-tiba, Jamak dikejutkan oleh seorang laki-laki tegap berewokan yang baru saja sampai di sampingnya. Jamak dengan reflek menggeser duduknya. Tubuhnya gemetar. Ia mengira laki-laki itu menodongkan sesuatu pada dirinya. Ternyata ujung ikat pinggangnya menyembul di sela bajunya.

"Pinjam korek api, Mas," katanya dengan lirikan yang tajam.

Jamak terperanjat, katanya terbata-bata. "Maaf tidak punya. Tidak merokok."

Kehadiran laki-laki itu amat menyiksanya. Jamak berharap ia segera segera turun di stasiuan pertama. Ia tak menginginkan percakapan terjadi, dan Jamak mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Matanya melihat pemandangan yang bermacam-macam sepanjang perjalanan kereta. Tetapi, tidak satu pun tempat terekam dalam ingatannya.

"Sampean dari mana, Mas?" tanya laki-laki itu.

Jamak tak menjawab. Pertanyaan ini dirasakan sangat menekannya. Jamak pura-pura tidak mendengar. Laki-laki itu malah mendekatinya. "Sampean dari Ibu Kota?"

Jamak terkejut. "Kok tahu?"

"Kelihatan kalau orang dari Ibu Kota. Sampean akan mudik kan?"

Sekalipun hanya dengan pertanyaan sepele semacam itu, Jamak tak siap menghadapinya. Kata-katanya gemetar. "Kok tahu?"

"Kelihatan kalau orang mau mudik."

Laki-laki itu memutar-mutar rokoknya di sela-sela jarinya. "Ibu Kota memang keras!" katanya seperti menirukan pikiran Jamak. "Tapi kata orang Ibu Kota hebat. Dewa harapan. Apa saja bisa didapat. Apa saja bisa dikerjakan. Apa saja bisa jadi duit. Menjanjikan kebesaran. Saya kira benar, saya saja tiba-tiba bisa jadi seperti ini." Ia tertawa.

Jamak perlahan-lahan memperhatikan laki-laki itu. Ia menafsir laki-laki itu seorang yang telah mapan kerjanya. Akhirnya Jamak bertanya juga, meski ragu, "Kerja apa, Mas?"

"Kerja?"

"Ya..." 

Laki-laki brewokan itu tampak ragu. Lalu menggeser tempat duduknya, dan mendekatkan mulutnya pada telinga Jamak. Ia membisikkan nada-nada bangga. Hanya Jamak yang mendengar.

Mendadak tubuh Jamak panas-dingin. Kandung kemihnya menekan-nekan. "Maaf saya ke belakang dulu."

Tetapi, Jamak tak melakukan apa-apa di kamar kecil. Napasnya terasa sesak. Bisikan laki-laki itu sangat melekat pada benak Jamak. Ia menjadi semakin was-was.

"Biasanya orang suka memancing-mancing. Ia bicara tentang dirinya tetapi sebenarnya ia bicara tentanng orang lain. Ia bicara yang jahat-jahat tetapi sebenarnya untuk mengorek kejahatan," pikir Jamak. Dan ia tiba-tiba tidak percaya kepada laki-laki brewokan itu, pasti ia bukan seperti yang dikatakannya.

Jamak semakin kepingin segera sampai dl rumah. Tetapi, perjalanan kereta ini terasa lambat. la tidak kembali ke tempat semula, dan berdiri di atas sambungan gerbong. Orang-orang yang tidak kebagian tempat duduk berjubel di situ. Tiga orang asyik bercakap-cakap tak jauh darinya.

Semula Jamak tak mendengarkan pembicaraannya. Tetapi, pendengarannya tiba-tiba menjadi peka saat ketiga orang tersebut bercerita suatu kejadian. Jamak mendengarnya sambil tertunduk, seakan tak seorang pun boleh mengetahui wajahnya.

“Ya, seperti tadi juga begitu," kata seorang di antaranya yang berambut pendek.

"Bajingan itu tak tertangkap. Saya tahu jelas wajah orang itu brewokan," kata yang lain.

Jantung Jamak berdebar-debar mendengar pembicaraan ketiga orang itu. Ia tiba-tiba teringat dompetnya, kemudian memeriksa saku celana dan bajunya. Dompet itu tidak ada. la mengingat: setelah membayar tiket kereta kemarin ia simpan di dalam tas, bagian samping.

"Sialan! Kenapa tas itu tadi saya tinggal?” gerutunya.

Jamak segera kembali ke tempatnya semula. Ia menduga tas itu telah dirogoh dan diambil isinya. “Astaga! Orang brewok itu akan mendapatkan uang dengan mudah, akan digondolnya tas itu. Sialan!"

Namun, Jamak merasa lega ketika sampai di pojok gerbong itu, segalanya masih tetap seperti semula. Tas itu masih berada di sudut kursi dan laki-laki itu berada di sampingnya. Tetap. la juga telah melihat bagian samping tasnya masih montok berisi dompetnya.

 "Aman!" pikirnya. Jamak menghela napas, masih ada sisa ngos-ngosannya.

Laki-laki itu tersenyum ramah. "Kok lama? Hampir saja tempat duduknya diambil orang lain. Untung saya usir."

“Ya. Terima kasih. Mau ambil tas," kata Jamak.

"Aduh iya. Hati-hati kalau menaruh barang, Apalagi kalau di dalamnya ada uang. Tempat seperti ini tidak aman. Sulit membedakan siapa yang maling siapa yang bukan. Dijaga ketat saja barang itu bisa hilang."

"Terima kasih. Permisi dulu," Jamak mengangkat tasnya.

"Lho mau ke mana? Di sini saja daripada di sana berdiri. Apa karena terganggu saya? Silakan duduk saya saja yang pindah," kata laki-laki itu.

"Oh. Tidak. Di situ saja," kataku menyuruh tetap duduk.

Jamak yakin laki-laki itu bukan seperti yang dibisikkan kepadanya, juga bukan laki-laki brewokan seperti yang dikatakan orang di sambungan gerbong tadi. Malah ia menjadi yakin kalau laki-laki ini seorang polisi, intel.

“Sekarang ini, apalagi kebutuhan hidup sedang melonjak-lonjak, banyak orang macam saya berkeliaran. Bukan sekedar banyak, tapi ombyokan. Baik dasarnya memang maling tapi banyak juga yang karena kepepet. Tetapi saya tidak akan melakukan terhadap orang udik karena saya sendiri memang juga orang udik. Saya pikir saya akan merasa senasib dengannya."

Laki-laki ini ternyata banyak omongnya juga. Ia bercerita terus tentang pengalaman-pengalaman melakukan aksinya. Tetapi ia tak pernah menyinggung-nyinggung tentang Jamak.

***

Kelelahan dan terpaan semilir angin dari celah jendela membuat Jamak tak sampai mendengar seluruh ceritanya. Ia terkantuk, Kemudian tertidur dan bangun saat menjelang stasiun kotanya. Ia pun tidak melihat lagi laki-laki brewokan itu. Mungkin telah turun, entah di stasiun mana.

Jamak segera melompat dari stasiun, oper mikrolet, mengambil jurusan yang melalui ujung jalan masuk ke kampungnya. Segera ketemu keluarga masih menjadi dorongannya yang utama saat ini. Ia tak ingin singgah ke mana-mana.

Sesampai di rumahnya, Anto -putranya yang pertama- menyambutnya dengan yel-yel. "Bapak datang! Bapak pulang! Bapak datang!"

"Bapak dari Jarkata! Jarkata akeh nyamu'e...,“ Nanang -putranya yang kedua- menyambutnya dengan nyanyian.

"Ssstt! Bukan Jakarta. Ibu Kota!" Bentak Anto.

"Sudah-sudah jangan ribut," lerai Patmi, istri Jamak. Dan kemudian Patmi menyambut dengan senang hati. Ia memeluknya.

Jamak berbahagia. Semua yang ia alami sepanjang perjalanan, bahkan sebelumnya juga, begitu saja terkikis oleh kehadiran mereka.

"Aku bahagia Patmi. Aku bahagia anak-anak."

Jamak juga melihat kebahagiaan itu di mata mereka.

"Kenapa sih bapak tidak pulang-pulang?" tanya Nanang.

"Bapakmu kan kerja, Nang," kata Patmi.

"Bapak tak perlu kerja di Jarkata lah Pak. Di sini sudah banyak pabrik."

"Ssstt! Ibu Kota!"

"Sudah-sudah. Ayo kalian main dulu biar Bapak istirahat dulu."

"Biarlah, Pat."

"Lihat badanmu kotor begini. Keringatnya melekat dengan debu. Mandi-mandi dulu. Nanti ajak anak-anak main-main ke tetangga. Sana tukar pengalaman sama Ma'in. Dia baru kemarin pulang dari Malaysia. Katanya di sana digaji tinggi, lima kali lipat dari pada gaji di sini."

Ucapan Patmi itu membuat Jamak terperangah. Tetapi ia segera menuruti kata-kata istrinya. Mandi.

Jamak berdiam diri di kamar mandi, tidak tahu apa yang ia rasakan. Semuanya seperti bertumpuk-tumpuk. Ia cukup lama di kamar mandi. Seisi rumah ini mungkin belum tahu yang dipikirkan Jamak. Tetapi, Jamak memang tak berniat membagi beban pikirannya.

Pintu kamar mandi itu kemudian diketuk. "Pak! Pak!"

"Ada apa Nang?"

"Kok lama mandinya? Cepat Pak." Anak-anak bergerombol di depan pintu kamar mandi. Patmi sedang sibuk di dapur.

"Ada apa, Le?"

"Ayo bilang, Nang!" Dorong Anto.

"Ada apa ayo?"

"Anu Pak. Kemarin Imran anaknya Lek Ma'in itu sudah pamer baju baru. Katanya dibelikan di... di... di mana cak?"

"Malaysia."

"Juga sepatu baru. Tapi Bapak kok tidak membelikan kami. Besok sudah lebaran."

"Ayo! Anto! Nanang!"

"Biar Pat. Memang anak-anak."

Jamak merasa bersalah. Semestinya ia membelikan mereka oleh-oleh terlebih dahulu sebelum pulang. Semestinya ia tidak lupa.

"Pat. Kamu nanti ajak anak-anak ke pasar, belikan apa saja yang dimintanya. Sekalian kamu belanja untukmu, juga untuk selamatan. Jangan lupa beli kue lebaran. Kamu juga tukar uang receh untuk anak-anak yang gala-gampil besok," kata Jamak sambil melangkah ke kamar.

Jamak mengambil dompet di dalam tasnya, isinya akan diberikan kepada Patmi. Semua.

Tetapi Jamak sangat tercengang saat membuka dompet itu. Tatapannya nanar. "Pat! Pat! Astaga! Patmi!"

Jamak tidak percaya. la menghitung lagi uang itu. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima ratus. "Astaga! Tinggal empat puluh ribu lima ratus, Patmi."

"Kenapa Pak?" Patmi tak mengerti.

"Hilang!"

"Dicopet?"

"Tidak sekedar dicopet, Pat. Dirampokl," Jamak melotot.

"Siapa, Pak?”

"Seorang laki-laki brewokan. Aku yakin ia telah merogoh tas ini, mengambil isinya."

"Berapa jumlahnya?”

"Hampir lima juta...."

"Astaghfirullah...."

Jamak menatap Patmi. Pikirannya melayang-layang. Suatu detik muncul wajah wanita lain di benaknya, menggelisahkannya sepanjang malam.

Patmi memandang Jamak tak berkedip. Ia tampak merasa iba. Air matanya mengalir. "Pak. Tak perlu dipikirkan berlarut-larut. Mungkin jamannya sudah begini. Memang sekarang banyak orang jahat yang menyamar jadi orang baik-baik. Tapi biarlah barangkali nasib kita begini. Barangkali kita juga punya salah yang harus dibayar begini."

Jamak tertegun mendengarnya. Patmi benar. Mungkin ia telah tahu apa yang telah dilakukan Jamak di Ibu Kota.

“Jadi kamu sudah tahu, Pat?” tanya Jamak terbata.

“Tentang apa, Pak?” tanya Patmi tak paham.

Jamak tampak serbasalah. Tapi, ia harus mengatakan yang sebenarnya pada suasana menjelang lebaran ini. Jamak menghela napas panjang.

“Uang itu, uang yang hilang itu, aku peroleh dari menjambret seorang wanita saat akan ke toko.”

"Astaghfirullah...."

“Aku buntu, Mar. Setelah ia rombong bakso yang dirazia saat aku berjualan di taman kota dan rombong itu belum lunas cicilannya. Setelah Ibu Kota betul-betul membuatku sakit. Setelah aku ingin mudik lebaran ini....”

Patmi tak mendengar cerita Jamak selanjutnya. Ia terlanjur ambruk.

Sementara Anto dan Nanang, anak mereka, bermain di luar, sambil menyanyi bersama, "Ibu Kota akeh nyamu'e, suwal bedah ketok manuke."

Djoglo Pandanlandung Malang
1994/2016
iman.suwongso@yahoo.co.id

Ibu Kota akeh nyamu'e, suwal bedah ketok manuke= ibu kota banyak nyamuknya, celana robek kelihatan burungnya (lagu jenaka anak-anak kampung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun