Yogyakarta, 11 Agustus 2017
Temaram lampu kota pelajar itu selalu sama. Tenang dan mendamaikan. Membuat nyaman penghuninya, meninggalkan relung-relung tersendiri pada orang yang pernah menginjakkan kakinya di kota ini. Sebuah kota istimewa, Yogyakarta namanya. Kota tempat seorang perempuan muda itu lahir dan tinggal, Oktaviola. Siswi SMP yang sudah terbaring lemah dalam kondisi koma selama hampir 8 bulan. Tragedi Desember tahun lalu itu telah merenggut kesadarannya sejauh ini.Â
Keberadaan Oktav kini, bagi orang-orang di sekitarnya, hanya jasadnya yang ada, jiwanya seperti sudah lenyap. Delapan bulan terbaring, teman-temannya yang awalnya merasa sedih dan rindu, lama-lama mereka mulai lupa, mulai terbiasa dengan ketiadaan Oktav, lebih tepatnya mereka lelah menunggu sadarnya  Oktav. Dirinya seperti ada pada ambang hidup dan mati. Teman-temannya sudah bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Kehilangan Oktav.
Beribu untung orang tua Oktav bukanlah orang yang kekurangan, biaya rawat inap Oktav selama di rumah sakit dapat ditangani tanpa kendala. Bolak-balik rumah sakit sudah menjadi rutinitas, tempat itu selayaknya rumah kedua bagi keluarga mereka. Setiap mereka memasuki  ruang rawat Oktav, harap teruntai dalam benak agar mata atau tangan Oktav tergerak, segera sadar dari tidur panjangnya.Â
Mereka letih, terkadang mulai putus asa, namun kenangan bersama Oktav di masa lalu, selalu menguatkan mereka untuk menunggu Oktav dengan sabar sampai kapanpun itu. Rupanya, memang benar, tidak ada yang pernah sia-sia dari suatu doa baik yang dipanjatkan.
*** Â
Sore ketika mentari mulai lelah menunjukkan diri, ingin kembali ke peraduan, dan awan malam mulai malu-malu naik menuju cakrawala. Pak Handoko, ayah Oktav sedang terduduk letih di sofa tunggu. Hari ini jadwalnya menjaga Oktav.Â
Ketika tiba-tiba terdengar suara Oktav menggumam lirih, "Heumm..." Ayahnya yang tadinya hendak menidurkan diri langsung tersentak bangun, air matanya sudah ada di ujung pelupuk. Ia rindu suara putrinya, ia rindu permintaan manja, keluh kesah, dan tawa terbahaknya. Putrinya ini memang orang yang ceria dan selalu menjadi mood booster keluarga.Â
Ayahnya berdiri mendekat. "Oktav? Oktav dengar ayah?" kata ayah Oktav dengan suara haru campur bahagia. "Uhuk. Aa.. yah? Uhuk huk, a.. irr.." Rupanya tenggorakan Oktav terlalu kering karena air tidak mengalir selama ini, hanya air dari infus yang disalurkan ke tubuhnya. Pak Handoko bergegas mengambilkan air, ia bahagia sekali. "Minumlah, Nak, minum, pelan-pelan saja," ucap Pak Handoko sembari langsung mengambil ponsel dan mengabari istrinya untuk datang dengan keluarga yang lain. Â Glek glek, air putih itu habis dalam dua kali teguk. Tubuh Oktav memang masih lemas namun kesadarannya sudah sempurna kembali. "Mmm, Ayah, kok Ayah keliatan makin banyak kerutan? Ayah abis ngapain? Loh, terus aku ngapain sih di sini, di mana ini?" tanya Oktav yang mulai menyadari keanehan yang ada. "Tentulah kerutan ayah bertambah, ayah semakin menua Nak, kamu koma 8 bulan, kami sekeluarga mengkhawatirkanmu, akhirnya kamu sadar, ayah bahagia sekali," sahut ayahnya kemudian dengan senyum lebar terpampang di wajah tuanya.
"Hah?! Perasaan baru kemaren aku berangkat sekolah, koma 8 bulan apanya?" sergah Oktav seraya mengernyitkan dahi, ia terlalu shock mendengar kabar ini. "Kamu kan koma, ya nggak ingat, Ta. Oiya, ayah udah ngehubungin ibu dan yang lain, sebentar lagi akan ke sini." Ya, Tata adalah panggilan masa kecil Oktav.
"Aaaa.. masa beneran aku koma, Yah? Aku kenapa sih, Yah? Kok bisa koma?" tanya Oktav antara bingung dan tak percaya. "Kamu kena pohon tumbang, Ta. Sudahlah, kamu nggak usah mengingatnya. Yang penting kamu udah sembuh sekarang," ucap ayah Oktav sambil mengelus lembut pucuk kepala anak gadisnya itu. "Jatohnya kena dada aku ya, Yah, rasanya nyeri," ucap Oktav menyeringai kesakitan seraya memegangi dadanya.