Bantuan beras ini disalurkan oleh Badan Pangan Nasional dengan menggunakan Data dari Menko PMK.
Pada tangggal 29 Desember 2023 dikeluarkan Surat Menteri Keuangan No S/1082/MK.02/ 2023 perihal pemblokiran anggaran belanja Kementerian /Lembaga (automatic adjustment).
Presiden Jokowi perintahkan Menteri Keuangan agar semua Kementerian dan Lembaga menyisihkan 5 persen dari total anggaran 2023 dialihkan untuk digunakan menambah anggaran bantuan sosial (bansos) dan subsidi pupuk, senilai Rp50,14 triliun.
Anggaran tambahan lebih dari Rp. 50 triliun ini patut diduga untuk mendukung pemenangan Anak Presiden (Gibran) dalam masa kampanye bulan Januari -- Pebruari 2024.
Inilah yang kami maksudkan sebagai politisasi anggaran bansos dan Bantuan Langsung Tunai walaupun terungkap dalam keterangan empat menteri di hadapan hakim MK bahwa kebijakan tersebut tidak melanggar aturan.
Menariknya juga keterangan menteri keuangan bahwa Presiden Jokowi turut serta membagikan beras menggunakan dana operasional presiden.
Ini bukan soal dana bansos (bantuan sosial), perlinsos (perlindungan sosial) atau dana operasional presiden yang sumbernya adalah APBN.
Jangankan bersumber dari APBN, yang bersumber dari dana pribadi saja jika dibagikan kepada masyarakat saat pemilu bisa mengarah kepada "money politic".
Lalu siapa yang bisa menjamin bahwa apa yang dibagikan oleh presiden Jokowi dalam setiap kunjungan kerja menggunakan fasilitas negara di masa kampanye tidak memberi pengaruh elektoral terhadap anaknya yang ikut berkontestasi?
Disisi lain juga ada keanehan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terlambat memutus pelanggaran KPU menjelang pemungutan suara berdasarkan Putusan DKPP no 135, no 136, no 137, no 141-PKE-DKPP/XII/2023.
Tentang keadilan dan kehormatan penyelenggara pemilu yang pada intinya memutuskan telah menerima Gibran sebagai bakal cawapres pada 25 Oktober 2023 sebelum dilakukan revisi PKPU no 19/2023.
Menurut DKPP seharusnya KPU melakukan perubahan PKPU terlebih dahulu baru kemudian menerbitkan pedoman teknis dan terbukti melanggar kode etik pasal 11 huruf a dan c, pasal 15 huruf c dan pasal 19 huruf a peraturan DKPP 2/2017 mengenai prinsip kepastian hukum, prinsip profesionalitas dan kepentingan umum.