"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" Anwar Usman.
Dari sini kami menilai bahwa kekuasaan hakim MK tidak merdeka, ada indikasi kuat terjadi intervensi kekuasaan Presiden Jokowi. Patut diduga ada perencanaan sistematis "menyelundupkan" syarat untuk meloloskan Gibran dengan berlindung dibalik putusan MK yang bersifat final dan mengikat (final & binding), walaupun sejatinya putusan tersebut melalui proses yang menabrak UU.
Putusan MK telah melapangkan jalan putra sulungnya Jokowi, Gibran menjadi cawapres seakan meruntuhkan kewibawaan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ini bukan persoalan mengakomodasi generasi muda dalam jabatan politik ditengah merespons bonus demografi tapi ada indikasi putusan MK dilahirkan cacat prosedur (terjadi konflik kepentingan karena hubungan kekerabatan dalam perkara gugatan) dan cacat materiil (menambah klausa yang menjadi kewenangan legislatif).
https://www.kompasiana.com/iketutgunaartha2116/65409167edff762a56139552/180-derajat-jokowi
Putusan kontroversial ini tentu mengundang reaksi dari berbagai kalangan baik dari praktisi hukum, akademi, mahasiswa dan aktifis pro demokrasi.
Disaat perhatian publik dan media pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, Presiden Jokowi (langsung maupun tidak langsung) memanfaatkannya dengan mengkonsolidasikan sumber dayanya untuk mewujudkan pasangan Prabowo-Gibran yaitu memastikan pendaftaran pasangan capres cawapres tidak melewati batas akhir walaupun KPU belum mengubah Peraturan KPU.
Presiden Jokowi mengabaikan suara kritis dari para tokoh, budayawan, rohaniawan dan guru besar sejumlah kampus atas tuduhan melanggengkan kekuasaan dengan membangun politik dinasti lewat putusan MK yang problematik (mengambil istilah Yuzril Ihza Mahendra).
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres-cawapres kemudian digugat oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana (2/11/2023).
Menurutnya, frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim (termasuk Anwar Usman).
Kelompok lainnya yang dimotori Prof Denny Indrayana juga menggugat MK.