Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Terakhir (Bagian 11)

4 April 2018   15:38 Diperbarui: 25 Agustus 2020   22:02 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : aminoapps.com

Rein memandangi ilalang yang bergoyang-goyang di tiup angin sore dari belakang gedung kuliahnya. Telinganya mendengarkan suara frontman Candle Box yang tengah menyanyikan lagu andalan mereka,  Far behind dari earphone walkmannya.  Disampingnya, Dandy duduk bersandar di tembok yang catnya sedikit terkelupas di makan cuaca. Kampus mereka memang belum sepenuhnya maksimal di bangun dan ditata, masih ada area kosong yang dibiarkan ditumbuhi ilalang, tak terawat.

"Mau? Biar gak sedih lagi Hahaha." tiba tiba Dandy mengulurkan sebuah lintingan kecil yang menyerupai sebatang rokok kepadanya.

"Kamu mau ajak-ajak aku buat pakai itu dengan alasan setia kawan?" tanya Rein sewot, ia melepas earphonenya.

"Becanda, gak lah." Dandy tertawa lagi dengan nyaringnya.

"Sejak kapan kamu pakai itu lagi?"  baru kali ini Rein berani bertanya kepada Dandy, padahal sebelumnya ia sudah tahu dari cerita Jangkrik dan Beni.

"Sejak ditendang dari band kesayangan." Dandy menjawab sekenanya sambil masih tertawa-tawa.

"Buat apa sih."

"Buat bersenang-senang aja lah, hepi-hepi dan buat menajamkan kreatifitas."

"Kamu gak takut orang tua kamu tahu?"

"Orang tua? Memangnya aku punya orang tua?" Dandy tergelak.

"Haduh, memang ngaruh ya pakai itu?" tanya Rein mulai kesal.

"Ngaruh lah, kamu tuh banyak nanya kayak wartawan." Dandy berbisik di telinga Rein.

"Aku mau pulang." Rein mendengus kesal. "Lain kali kalau mau atraksi kayak gini kasih tahu aku jadi aku gak bakalan samperin kamu."

"Haasy sana-sana pergi." Dandy kembali tergelak.

Nyi**ng adalah hal lumrah yang banyak di lakukan oleh beberapa teman teman ngeband barunya Dandy. Ya, selinting daun ganja kering yang di bungkus dengan papir, dan di percaya bisa menumbuhkan rasa  percaya diri dan inspirasi.

Efek yang di hasilkan dari daun ganja persilangan antara Canabis Sativa dengan Canabis Indica ini berbeda beda pada setiap orangnya. Tapi yang paling banyak adalah memberikan efek euforia suka-suka kepada pemakainya, gembira sepanjang waktu, tertawa-tawa seperti yang terjadi kepada Dandy.

Setelah kemarin Rein memergoki Dandy tengah melayang tak keruan di belakang gedung kuliahnya, kini gadis itu kembali berada di tempat yang sama untuk menemui Dandy.  Tapi kali ini Dandy tidak terlihat seperti biasanya, tak ada tawa semingrah dan ocehan panjang pendek keluar dari mulutnya.  

Dandy terlihat lemas sekali, matanya kadang terpejam kadang terbeliak, sesekali ada senyum dan tawa aneh keluar dari mulutnya.  Rein merasa ada yang janggal dengan sahabatnya itu. Beberapa bungkus  makanan berserakan di sampingnya.  Dua botol kosong minuman soda pun tergeletak malas di sisi pemuda berkulit putih itu.  Rein menguncang  tubuh Dandy yang tersandar lemas di tembok, menepuk-nepuk pipinya, ia merasa ketakutan,  panik melandanya.

Orang pertama yang di ingatnya adalah Nara.  Rein berlari tergopoh menuju telpon umum  yang berada di dalam kantin jurusannya, memasukan koin yang tinggal satu-satunya untuk menyeranta Nara.

Nara baru saja membereskan mejanya, memasukan bindernya ke dalam backpack Alpina hitamnya ketika penyerantanya berbunyi.

Kak di belakang gedungku  penting rein.

Nara membaca pesan itu lalu mengerutkan dahinya, tanpa berpikir panjang ia bergegas menuju ke tempat yang dimaksud. Setibanya di sana apa yang di dapatinya, wajah pucat Rein yang terlihat panik. Di samping Rein ada Dandy yang tergeletak lemas.

"Kenapa dia?" tanya Nara terkejut.

"Gak tahu, dia sudah begitu waktu aku samperin kesini."

Nara membuka kelopak mata Dandy lalu melirik sebuah lintingan kecil di tangan kanannya yang telah habis terbakar setengahnya.

"Nih sebabnya, kayaknya kebanyakan." Nara memperlihatkan lintingan kecil itu kepada Rein..

"Terus gimana kak, kita kan gak bisa ninggalin dia di sini, ini sudah sore." Rein khawatir sementara angin sore semakin kencang menyapu tubuh mereka.

"Cari Jimmy, tadi kayaknya dia masih ada di bengkel, kita bawa Dandy pulang."

"Ke kosan aku? Ih gak mau ah."

"Ya kosan aku dong." kata Nara tenang sambil tersenyum simpul.

"Buruan sana, kasihan nih temen kamu ini, teler tingkat tinggi bentar lagi pasti tidur gak bangun-bangun."

"Gak bangun-bangun?" Rein tambah panik.

"Bangun tapi nanti beberapa jam lagi." terang Nara.

Rein lalu beranjak, setengah berlari dan berjalan cepat untuk mencari Jimmy.

Setiba di bengkel Sipil,  Rein celingukan mencari Jimmy.

"Cari siapa Rein?" tanya Erik tiba tiba.

"Jimmy, ada?"

"Jimmyyyyy." Erik berteriak senyaring-nyaring nya, mungkin ingin bersaing dengan Pak Pranajaya.

"Ada apa Rein?" Jimmy berlari kecil menghampiri Rein, dengan baju bengkel overall khaki nya yang terlihat kebesaran di tubuh kurusnya.

"Aku butuh bantuan, kamu sudah selesai bengkelan?"

"Baru mau pulang sih."

Lalu Rein pun langsung menerangkan keadaan Dandy.  Mereka pun bergegas pergi diantara pandangan aneh teman-teman Jimmy.

Tak berapa lama Rein dan Jimmy pun telah berada di tempat dimana Dandy masih terkulai lemas sementara  Nara duduk tenang di sampingnya.

"Kenapa dia kak?" tanya Jimmy penasaran.

"Biasa." Nara menyeringai.

"Deuh teler gini si Dandy, mau manggung dimana dia? Pakai kayak ginian kok di kampus ada-ada aja."

"Ya mungkin dia anggap aman disini." sahut Nara tenang.

"Bawa kemana?" tanya Jimmy sambil menepuk-nepuk pipi Dandy.

"Kosan." jawab Nara cepat.

"Kosan Rein?" tanya Jimmy serius.

"Enak aja." sahut Rein sewot.

"Dia kan sobat kamu." sahut Jimmy

"Tapi kan dia cowok." sembur Rein.

"Kamu kan setengah cowok" Jimmy tak mau kalah sewot.

"Eh, hayuk Jim, sudah mau magrib nih." sahut Nara menengahi Jimmy dan Rein.

***

Rein memperhatikan Dandy yang terbaring di ranjang Nara. Ia tertidur pulas bagaikan bayi yang baru saja tiba di dunia nan fana.

"Lantas kita apain dia?" tanya Rein penasaran.

"Ya diemin aja sampai bangun, efeknya hilang kok kalau dia sudah bangun." kata Nara ringan.  Rein menganggukan kepalanya tanda mengerti.  Lalu ia berpamitan kepada Nara untuk pulang ke tempat kosnya.

Rein memasuki kantin Mas Nano yang terlihat ramai malam itu, matanya mencari seseorang yang ia harapkan berada di sana.  Senyum pun mengembang di bibirnya ketika seseorang melambaikan tangan kepadanya.  Ia pun menghampiri meja yang terletak di sudut kantin itu.

"Dandy gimana kak?" tanya Rein penasaran kepada Nara yang sedang menghirup air tehnya dengan penuh penghayatan.

"Sudah baikan, waktu bangun dia kaget. Dia panggil aku Jed sambil ketakutan."

Tiba-tiba sorot mata Rein meredup ketika Nara menyebutkan nama adiknya itu.  Nara tersentak lalu meneruskan kalimatnya dengan cepat.

"Terus dia panik gak keruan, aku tampar aja biar dia diam dan mau mendengarkan penjelasanku." lanjut Nara.

"Sejak kapan kamu tahu Dandy suka pakai?" tanya Nara penasaran.

"Dulu awalnya tahu dari Beni dan Jangkrik teman bandnya. Dandy saat itu sedang banyak masalah, terutama masalah keluarga."

"Ya kadang barang itu memang bisa menjadi pelarian yang mengasyikkan. Efeknya bikin kamu merasa santai, selalu bahagia, menganggap enteng masalah, kepedean yang gak pada tempatnya, ketawa terus kayak lihat film komedi, apalagi kalau pakainya ramai-ramai.  Kalau pakainya sendirian, efek yang ditimbulkan malah gak enak yaitu kamu bakal merasa kesepian sampai perut kamu mual kadang  muntah segala, curigaan, dan masih banyak lagi.  Tapi efek di masing-masing orang itu bisa berbeda sih, tergantung daya tahan tubuhnya juga."

"Kok kakak tahu?"

"Aku pernah pakai dan itu yang membuat papi makin marah."

"Siapa yang ngenalin kakak ke hal itu?"

"Seorang teman yang sampai sekarang tidak pernah mau bertemu dengan ku lagi." tatapan mata Nara menerawang jauh. Ada nada kesedihan  dalam suaranya.

"Kenapa?"

Nara kini menatap Rein lembut. "Gak usah di bahas ya, gak apa-apa kan?"

Rein menatap balik mata coklat itu yang kini terlihat suram.

"Terus kapan papi tahu?"

"Gak lama. Saat itu aku gak pulang ke rumah selama dua hari, nginep di rumah teman yang orang tuanya sedang pergi. Aku ke gap sama papi waktu dia jemput paksa aku dari rumah temanku itu. Dan hari itu sabetan ikat pinggang papi lah yang telah menggenapi rasa gak karuan yang aku rasakan dalam tubuhku"

"Terus?"

"Papi ngusir aku."

"Hah?"

"Hush gak usah melotot gitu." Nara tertawa.

"Aku gak boleh menginjakkan kakiku di rumah sebelum aku benar-benar bersih. Aku merasa di buang oleh papi. Aku lari ke rumah Om Babad."

"Om Babad dan Tante Seruni adalah dua orang yang sangat mengerti aku. Mereka tidak pernah menghakimi aku,  mereka merengkuhku ke dalam pelukan hangat mereka, aku merasa aman disana."

"Lalu, kakak di rehabilitasi? masuk pesantren?"

"Karena aku belum terlalu parah, aku bisa meninggalkan hal itu dengan kesadaranku sendiri, tanpa obat-obatan penawar dari dokter.  Dan jangan pernah meremehkan kekuatan cinta Rein, dengan cinta semua hal yang gak mungkin bisa menjadi mungkin."

"Maksudnya?"dahi Rein berkerut.

"Aku merasa di cintai oleh Om dan Tante ku,  mereka selalu menanyakan kabarku setiap hari dan mau mendengarkan ceritaku.  Mereka selalu mendorongku, membiarkan aku mengerjakan apa yang aku suka asalkan positif.  Bahkan aku merasa mereka lah orangtuaku sebenarnya."

"Akhirnya aku kembali ke jalan yang benar, happy ending kan?" Nara tergelak.

"Ternyata kakak mempunyai cerita yang lebih meriah dari ceritaku, dan aku salut kakak bisa melewatinya dengan baik, bahkan menceritakannya kembali dengan penuh tawa."

"Karena hanya kita yang bisa menentukan bagaimana cara mengenang peristiwa yang telah terjadi di dalam hidup kita.  Apakah menjadi manis penuh tawa atau pahit berlinang air mata." Nara menatap mata Rein lekat-lekat.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun