"Yang kayak gini kamu namain ngobrol, bahkan bertatap muka aja enggak, menatap punggung iya." Â Jed setengah berteriak.
Rein terus berjalan, kini langkah mereka mulai mendekati pintu gerbang belakang kampus.
"Rein ada apa sih dengan kamu?" Nada suara Jed terdengar mulai letih.
"Gak ada apa-apa." Rein mulai melangkahkan kaki kanannya ke pintu angkot.
Sebelum kaki kirinya ikut melangkah, tangan Jed lebih dulu meraih lengan Rein dan memaksanya untuk turun dari angkot. Jed menyeret Rein untuk berjalan dengannya. Rein mendengus.
"Aku heran sama kamu, jelas-jelas ada apa-apa masih aja bilang gak ada apa-apa. Kamu menghindari aku kan, setiap kita bertemu kamu pasti balik badan. Aku masuk ke perpustakaan kamu malah keluar. Aku datang ke kantin jurusan kamu malah blingsatan. Aku tunggu di Kantin satunya kamu malah pulang. Kalau yang punya hati sedingin es itu pasti gak kerasa tapi hatiku  ini hangat suam-suam kuku jadi aku merasakan ini semua sebagai perasaan yang sangat menggangu." Jed terdengar kesal.
"Lantas mau kamu apa?" Rein mencuri pandang ke arah wajah Jed yang kini terlihat gusar.
"Mau aku ..." Jed berhenti bicara dan menggaruk  kepalanya yang tak gatal.
"Tuh kan gak tahu." Rein memotong sambil melirik Jed menang.
Dia selalu terlihat menawan, walaupun tengah menggaruk kepalanya.
"Ya mau aku, kamu gak menghindari aku." Akhirnya Jed menemukan jawabannya.