Rein bangun lalu mengucek matanya. Sakit kepalanya berangsur hilang. Â Jam dinding telah menunjukkan angka 6.30. Ia bergegas memakai sneakersnya dan mulai mencari Umam. Â Orang yang ia cari tengah menonton televisi hitam putih legendaris seantero kosan milik Redi.
"Sudah baikan?" Umam bertanya dengan raut wajah datar.Rein mengangguk. "Aku pulang ya makasih."
"Gak nginep aja di Mayang? Â Lea?"
Rein menggeleng.
"Aku antar ke depan." Umam beranjak dari duduknya mematikan televisi yang memiliki kaki itu dan menghampiri gadis yang tengah sibuk membenahi tali sneakersnya.
"Makan dulu yuk, kamu kan belum makan."
"Gak ah takut kelamaan, nanti gak ada angkot." Tolak Rein.
"Sebentar aja, nanti aku antar deh sampai rumah ... yang mana itu gak mungkin."
Rein cemberut, Umam tertawa.
"Yuk ah ke mas Nano." Ajak Umam setengah memaksa, Rein pun mengangguk setuju.
Mereka duduk dipojokkan menikmati hidangan di piring masing-masing, Rein merasa ada yang memperhatikannya. Ia menoleh, ada Nara di sana. Nara tersenyum kepadanya yang ia balas dengan senyuman samar.
"Gimana kepala kamu?" Umam menunjuk kepala Rein.
"Baikan."
"Kamu sering banget sakit sih."
"Gak tahu, kecapean kali."
"Makanya kos."
"Belum waktunya."
"Nunggu ambruk kayak pager temboknya si bapak kos?"
"Ya jangan ngedoain gitu dong."
"Ya enggak tapi kan itu bisa aja terjadi." Umam menghabiskan tehnya dengan cepat.
"Semoga tidak, yuk Mam aku pulang dulu ya." Rein beranjak diikuti oleh pemuda jangkung yang tengah asik memainkan sedotan diantara dua jarinya.
*
Rein menghentikan angkot yang di dalamnya sudah dijejali penumpang. Â Ia mendaratkan tubuhnya diantara himpitan para ibu yang nampaknya habis pulang pengajian atau menghadiri acara sunatan masal karena mereka membawa bungkusan senada.
Angkot itu tidak langsung berjalan karena menunggu penumpang lain yang ada di nelakangnya. Ah, Nara. Rein melirik pemuda itu dengan ujung matanya, "dia lagi" gumamnya.
Malam itu Jalan Setiabudhi ramai lancar, kendaraan bersliweran tanpa henti membuat Rein maju mundur untuk menyeberangi jalan yang lumayan lebar itu.
"Mau nyebrang? yuk bareng," ajak Nara ramah.
Rein terkejut, Nara telah ada di sampingnya dan mengajaknya untuk mengikuti langkah lebarnya. Â Ia tersenyum kepada pemuda itu lalu mengucap terima kasih.
Rein mendaratkan tubuhnya di jok angkot yang kosong. Ia heran ketika melihat wajah Nara kembali ada di hadapannya. Peduli setan, ia menyandarkan kepalanya ke kaca belakang angkot yang diterangi sinar temaram dari lampu kecil di dinding atas angkot, memejamkan matanya seakan tidak ingin melihat kehadiran Nara di sana.
Nara diam-diam memandangi wajah Rein yang terlihat lelah, wajah itu tidak pernah terlihat seperti ini sebelumnya.
"Rein?" Nara menyentuh lutut Rein pelan.
Rein membuka matanya.
"Kok gak sama Shia, bisa-bisa tersesat lagi kayak dulu."
Rein menggelengkan kepalanya dan masih membisu, ia kembali memejamkan matanya.
Tidak berapa lama, Nara mengeluarkan kembali suaranya.
"Kamu turun di mana? Gak kelewat?" Nara menyunggingkan senyum khasnya.
"Masih jauh, di terminal, kakak mau kemana?" tanya Rein iseng.
"Ke ATM."
"Tadi ada di atas."
"Oh aku gak tahu." Nara terdengar canggung, matanya terlihat jelalatan memandang ke luar angkot.
"Masa gedung Bank segede itu gak kelihatan." Rein mulai terdengar sadis.
Nara tersenyum, Rein memasang earphonenya, suara Eddie Vedder mulai memenuhi rongga telinga, ia memejamkan matanya kembali.
"Rein." Nara kembali menyapanya dibarengi sentuhan kakinya ke ujung sneakers gadis itu.
Rein membuka matanya, Nara menunjuk telinga Rein, Rein mengecilkan volume walkmannya.
"Apa?"
"Dengar lagu apa?"
"Pearl Jam."
"Serius?"
Rein mengangguk. Â Nara menatap Rein lekat-lekat, dahinya berkerut seakan sedang berpikir keras. Kini ia tersenyum karena mulai mengingat dimana ia melihat gadis itu untuk pertama kalinya. Â
Ya, Aquarius! Sebuah toko kaset di bilangan Dago. Â Saat itu Nara berada di samping Rein yang tengah memandangi cover kaset berwarna sephia milik Pearl Jam. Lalu tiba-tiba Rein menatapnya dengan galak ketika ia menjatuhkan kaset Vitalogy secara tidak sengaja dari raknya dan mengenai kaki gadis itu.Â
Nara dengan sopan meminta maaf, tapi gadis itu langsung balik badan dan meninggalkannya dengan gaya uring- uringan. Nara terpana sejenak, alih-alih terkejut karena baru kali ini ia menemukan seorang gadis yang mempunyai selera musik yang sama dengannya.
"Kamu sadar gak kalo dulu kita pernah bertemu?" tanya Nara penasaran.
Rein menatap wajah  Nara, dahinya berkerut mengumpulkan semua ingatannya dengan susah payah.
"Kaset Vitalogy kamu masih bagus?" Nara kini mulai tak sabar.
Rein berpikir keras, Vitalogy dan wajah di hadapannya.
"Yang kamu beli di Aquarius dulu?"
"Hmm, jangan-jangan kakak yang dulu ngejatuhin kaset Vitalogy  ke kaki aku ya, tapi dulu itu rambutnya... ?" Akhirnya Rein ingat dengan peristiwa kecil itu.Â
"Gondrong. Dan kamu masih memakai seragam putih abu." Sahut Nara tersenyum lebar. Pikiran Rein melayang ke satu tahun silam.
"Oh iya iya, aku ingat sekarang. " Rein manggut-manggut."Jadi  itu ... kakak belum minta maaf sama aku," lanjutnya.
"Kata siapa, aku minta maaf, tapi kamunya sombong banget, langsung buang muka balik badan."
Rein menyeringai.
"Ya sudah aku minta maafnya sekarang aja deh, maaf ya."
"Gak usah deh kalo gitu, Â kayak lebaranan aja, maaf-maafan, lagian udah kadaluarsa." Rein kembali menjejalkan earphone di kedua telinganya. Sementara Nara tersenyum menatap gadis di hadapannya. Misteri wajah telah terbongkar.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI