Rein menghentikan angkot yang di dalamnya sudah dijejali penumpang. Â Ia mendaratkan tubuhnya diantara himpitan para ibu yang nampaknya habis pulang pengajian atau menghadiri acara sunatan masal karena mereka membawa bungkusan senada.
Angkot itu tidak langsung berjalan karena menunggu penumpang lain yang ada di nelakangnya. Ah, Nara. Rein melirik pemuda itu dengan ujung matanya, "dia lagi" gumamnya.
Malam itu Jalan Setiabudhi ramai lancar, kendaraan bersliweran tanpa henti membuat Rein maju mundur untuk menyeberangi jalan yang lumayan lebar itu.
"Mau nyebrang? yuk bareng," ajak Nara ramah.
Rein terkejut, Nara telah ada di sampingnya dan mengajaknya untuk mengikuti langkah lebarnya. Â Ia tersenyum kepada pemuda itu lalu mengucap terima kasih.
Rein mendaratkan tubuhnya di jok angkot yang kosong. Ia heran ketika melihat wajah Nara kembali ada di hadapannya. Peduli setan, ia menyandarkan kepalanya ke kaca belakang angkot yang diterangi sinar temaram dari lampu kecil di dinding atas angkot, memejamkan matanya seakan tidak ingin melihat kehadiran Nara di sana.
Nara diam-diam memandangi wajah Rein yang terlihat lelah, wajah itu tidak pernah terlihat seperti ini sebelumnya.
"Rein?" Nara menyentuh lutut Rein pelan.
Rein membuka matanya.
"Kok gak sama Shia, bisa-bisa tersesat lagi kayak dulu."
Rein menggelengkan kepalanya dan masih membisu, ia kembali memejamkan matanya.