Ini sneakers, walau bukan keluaran Converse.
“Kamu tuh harus mulai jadi perempuan, berlaku kayak perempuan, pakai baju perempuan, manjangin rambut kayak perempuan, jangan boyishmelulu kayak gitu.” cerocos Shia sambil membetulkan posisi spion kendaraan yang ia pinjam dari orangtuanya itu.
Rein gusar lalu menggosok kepalanya yang tak gatal dengan lengan sweaternya yang dibiarkan panjang menutupi tangannya.
“Jurusan kamu sebenarnya gak mendukung style kamu yang sekarang ini kan?”
Gadis yang raut wajahnya terlihat suntuk itu kini memanyunkan bibirnya sepanjang panjangnya.
“Rein?!”
“Hmmm.”
“Kamu dengar gak apa yang aku katakan?”
“Ya,” jawab Rein pendek.
Ada apa sih dengan Shia, ada apa dengan otaknya yang sekarang ini, apa dia kena gegar otak ketika kecelakaan kemarin ini. Rein bergidik sendiri, ingin rasanya dia melompat keluar. Jalan tol itu terasa begitu panjang dan lama. Akhirnya Rein hanya dapat berdiam diri sambil memandang keluar melihat deretan pepohonan yang seakan berlarian, mengamati marka jalan yang biasanya bersinar karena cahaya lampu membangunkan efek fluoresensnya. Dan akhirnya ia pun lega ketika gerbang Tol Pasteur terlihat berdiri gagah di hadapannya. Rasa kesalnya sedikit binasa di telan hiruk pikuk lalu lintas di sekelilingnya.
Aula kampus belum begitu ramai ketika mereka tiba di sana, Shia menggandeng tangan Rein, membimbingnya menuju ke dalam ruangan.