Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Penghujung Senja (18)

4 Mei 2017   16:15 Diperbarui: 4 Mei 2017   16:21 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : dukuhjati

Sejak peristiwa kecelakaan itu, Shia selalu berhasil menyudutkan Rein apabila ia membantah apa yang Shia katakan dengan hanya memakai satu jurus andalannya yaitu memperlihatkan codet di pipinya.  Namun tidak pada hari itu, hari dimana Shia memaksa Rein untuk ikut menghadiri acara perpisahan kakak angkatannya di aula kampus mereka.

“Masih pakai jeans?” Shia melirik gadis yang terlihat kasual dengan celana jeansnya ketika ia menjemputnya sore itu.

Rein mengangguk. “Aku gak punya yang lain selain jeans.”

“Kamu kan kemarin bisa bilang ke aku, kita bisa nyari dulu, pakai yang lebih cewek kek.”

“Aku gak mau, acaranya gak formal kayak penataran P4 kan?”

“Formal gak formal kan acara ku, kenapa sih kamu gak mau berkorban sedikit aja buat aku.” Shia merengek bagai anak kecil yang merajuk

“Ah hal kecil gini kenapa diributin sih.” Rein mengikat tali sneakers nya.

“Bukan ngeributin tapi ...”

“Yuk jadi gak, kalau gak jadi juga gak apa-apa.” Rein beranjak, ia tahu, pasti ia yang akan menang.

Shia mendengus kesal, membukakan pintu kendaraannya tanpa berkata sepatah kata pun.

Rein duduk manis di samping Shia, mengeluarkan komik Sinchan milik Umam dan mulai tersenyum-senyum sendiri.  Shia melirik Rein.

“Kamu itu gak bisa rubah ya, gak pernah dewasa, sini kasih ke aku.”

Shia merebut komik yang ada di tangan Rein.

“Apaan sih Shi?”

“Kamu gak butuh komik ginian, ini bacaan anak kecil.” Shia merengut dan Sinchan pun langsung melayang ke jok belakang.

Rese banget.

Rein ingin sekali memprotes Shia tapi mulutnya serasa di lem, ia bungkam seribu bahasa.

“Kamu tahu, aku tuh serius sama kamu. Aku ingin kamu berubah menjadi orang yang lebih baik.”

Rein membuka mulutnya namun dikatupkannya lagi.

“Sudah bukan usia kamu lah baca komik kayak gitu, dandan cuek semau gue, bahkan sepatu kets kamu itu sudah gak pantas buat kamu pakai.” Lanjut Shia galak.

“Ini sneakers.” Rein menaikan kakinya yang dibalut oleh sneakers berwarna biru.

“Iya, sama aja, mau sneakers atau kets, ya sama aja.”

Ini sneakers, walau bukan keluaran Converse.

“Kamu tuh harus mulai jadi perempuan, berlaku kayak perempuan, pakai baju perempuan, manjangin rambut kayak perempuan, jangan boyishmelulu kayak gitu.” cerocos Shia sambil membetulkan posisi spion kendaraan yang ia pinjam dari orangtuanya itu.

Rein gusar lalu menggosok kepalanya yang tak gatal dengan lengan sweaternya yang dibiarkan panjang menutupi tangannya.

“Jurusan kamu sebenarnya gak mendukung style kamu yang sekarang ini kan?”

Gadis yang raut wajahnya terlihat suntuk itu kini memanyunkan bibirnya sepanjang panjangnya.

 “Rein?!”

“Hmmm.”

“Kamu dengar gak apa yang aku katakan?”

“Ya,” jawab Rein pendek.

Ada apa sih dengan Shia, ada apa dengan otaknya yang sekarang ini, apa dia kena gegar otak ketika kecelakaan kemarin ini. Rein bergidik sendiri, ingin rasanya dia melompat keluar.  Jalan tol itu terasa begitu panjang dan lama. Akhirnya Rein hanya dapat berdiam diri sambil memandang keluar melihat deretan pepohonan yang seakan berlarian, mengamati marka jalan yang biasanya  bersinar karena cahaya lampu membangunkan efek fluoresensnya. Dan akhirnya ia pun lega ketika gerbang Tol Pasteur terlihat berdiri gagah di hadapannya.  Rasa kesalnya sedikit binasa di telan hiruk pikuk lalu lintas di sekelilingnya.

Aula kampus belum begitu ramai ketika mereka tiba di sana, Shia menggandeng tangan Rein, membimbingnya menuju ke dalam ruangan.

“Shi, gak usah gini ya, gak enak sama temen-temen kamu.” Rein berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Shia

“Kenapa? Kamu malu? Malu kalau semua orang tahu kalau aku pacar kamu?” Nada bicara Shia mulai terasa tidak enak.

“Bukan gitu, tapi ..”

“Kamu itu pacar aku, aku berhak menggandeng kamu.”

Rein menghentikan langkahnya.

“Kenapa? Gak suka?” bentak Shia pelan. “Kamu nurut sama aku aja deh, jangan bikin aku bete ya.”

Rein terdiam sementara Shia menyeretnya paksa.

Rein menunduk dalam. Ia berusaha keras mencari Shia yang dulu tapi usahanya nihil, Shia yang sekarang sangatlah berbeda.

Sesampainya di dalam Aula, mereka di sambut oleh teriakan Ratri yang nyaring.

“Nah, itu dia pak ketunya datang, kemana aja sih Shi?” Ratri menatap Rein tajam.

“Gak usah di bahas yang penting aku sudah disini kan?” Shia berkata dengan ketus. Wajah Ratri pun mendadak masam.

Sementara Shia sibuk dengan acara yang di ketuai nya, Rein pergi keluar untuk mencari udara segar. Aula sore itu terlihat meriah, hari ini adalah acara perpisahan yang di selenggarakan secara mandiri oleh jurusan Shia untuk angkatan Jojo. Rein mendaratkan tubuhnya di lantai teras aula yang lebih tinggi dari tanah.  Ia menggoyang goyangkan kakinya gelisah sambil menggosok gosokkan kedua tangannya. 

“Rein?” Jojo duduk disamping Rein lalu mengacak acak rambut gadis yang terlihat sedang kesal itu.

“Hai Jo, apa kabar?” Sambut Rein ketika melihat Jojo telah duduk di sampingnya.

“Baik, kamu apa kabar?”

“Ya gitu deh.”

“Kok gitu deh, lagi bête ya, Shia?”

Rein mengangguk sementara Jojo kini duduk di sampingnya, ikut menggoyang goyangkan kakinya seirama dengan gerakan kaki Rein.

“Mmmm … haus euy, minum susu yuk. Si Meong katanya bikin tenda susu murni sama temennya di Sarijadi,” ajak Jojo tiba-tiba.

“Siapa si Meong, kayak nama kucing garong aja.”

“Si Meong anak Refri, memang rada kucing garong dia mah.” Jojo tergelak

“Gak mau ah.” tolak Rein.

“Takut gak boleh sama Shia? Aku deh yang bilang ke Shia, ijin komandan dulu.” kembali Jojo terbahak sambil berlalu meninggalkan Rein yang telah memanyunkan bibirnya dengan serius.

Mata Rein mengikuti sosok Jojo yang memasuki Aula berdinding kaca itu untuk menemui Shia, mereka terlihat bercakap-cakap. Shia melihat ke arah Rein, begitu pula Jojo. Rein melengoskan wajahnya menebak-nebak apa yang sedang mereka bicarakan.  Tak lama berselang Jojo telah ada di sampingnya kembali.

“Yuk Rein, SK nya sudah turun.” Jojo menjitak kepala Rein dan terkekeh.

“Tertawa diatas penderitaan orang lain.” Rein merengut.

“Yang kayak gini bisa merasa menderita juga tho? Kemajuan yang mengangumkan nih.”

Tawa Jojo berderai-derai.

Mereka pun lalu berjalan beriringan,  melintasi Pendopo yang terlihat telah ramai.

“Hei ... hei  ..”  Indra berseru dengan tergesa.

“Hei hei siapa diaaaa,” teriak Jojo mengikuti jingle kuis siapa dia. Rein tertawa.

Indra terengah menghampiri mereka. “Mau kemana? ikut.”  Indra datang dengan nafas tersengal.

“Ikut?  Ke neraka, mau ikut juga?” Jojo terbahak.

“Ikuut laaah, aku bosen disini” Indra memelas.

“Rein?” Jojo meminta persetujuan Rein.

Rein mengangguk setuju.

“Masuk, buka pintu sendiri ya.” Lalu Jojo pun menyalakan kendaraannya.

Indra cengengesan sambil memasuki kendaraan Jojo, semerbak minyak wanginya mengalah kan pengharum mobil Jojo yang beraroma bunga setaman.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun