Ve berjalan cepat, wajahnya pucat pasi, ia tak mempedulikan teriakan Alma di belakangnya. Â Gadis berambut ekor kuda itu berlari tanpa menghiraukan peluh di sekujur tubuhnya. Â Di depan pintu sebuah kamar kos ia berhenti, nafasnya memburu. Ia mengetuk pintu bercat putih itu dengan sekuat tenaga.
"Edooo." Teriaknya tak sabar.
Tidak ada sahutan.
"Edooo, buka." Â Gadis itu berteriak parau, tenaganya habis. Kedua matanya pegal menahan tangis.
Tak lama derit pintu pun terdengar lalu menyembul sebuah kepala dengan rambut acak-acakan dan mata masih terpejam. Tanpa menunggu lama Ve menerjang.
"Kamu harus menemukannya." Mata gadis itu sibuk mencari ke sekeliling kamar. Tangannya mulai bekerja sementara pemuda yang di panggil Edo bersandar di dinding, belum sepenuhnya terjaga. Kini diatas ranjang telah terkumpul banyak barang. Carrier, jaket, kompas, altimeter, matras, sleeping bag, pisau lipat, perlengkapan P3K, senter, kaus tangan, trekking pole, masker sampai gaiter. Setelah semua terkumpul, Ve terduduk lelah sementara Edo menatap Ve tak mengerti.
"Menemukan apa? Ada apa ini? Aku baru bisa tidur 3 jam lalu, dan kamu dengan seenaknya membangunkan aku, mengacak-acak kamarku dan bertingkah aneh seperti ini."
Belum sempat Ve membuka mulutnya, dari luar terdengar  langkah kaki terburu.
"Do, kita harus berangkat sekarang juga." Seorang pemuda berperawakan tinggi besar berdiri di ambang pintu.
"Berangkat kemana?" Edo mengaruk kepalanya.
"Ve? Kamu belum beritahu dia?"
Ve menggeleng lemah.
"Drei, belum turun sejak kemarin."
"Aah ... Drei, dia kan selalu begitu. Naik cepat turun lambat. Paling dia sedang bersantai di atas. Menikmati indahnya mahakarya Tuhan." Edo menjatuhkan tubuhnya diantara barang-barang yang terkumpul di ranjang.
"Lagian aku sedang di kejar deadline, tuh revisian ku gak kelar-kelar." Edo menunjuk komputer desktopnya yang masih menyala.
"Andri dan Leo bilang mereka hilang kontak dengannya satu hari lalu." Pemuda jangkung bernama Wayan itu berkata pelan.
"Huh, Drei memang keras kepala, cuaca begini masih nekat pergi." Edo mengikat rambut gondrongnya.
"Tapi bukankah kamu yang... "
Belum sempat Wayan menuntaskan kalimatnya, Edo memotongnya dengan segera. Ia melirik Ve yang tengah terduduk lemas di pojok ruangan.
"Ya sudah gak usah dibahas, oke kita berangkat." Edo menyerah dan membereskan barang-barangnya segera.
"Yodha sedang ambil kendaraan, aku ke kosan dulu untuk bersiap." lanjut pemuda bernama Wayan itu.
Edo menatap Ve, gadis itu kini telah berurai air mata. Walaupun ada rasa marah, kesal dan kecewa yang menyelimuti hatinya, namun akhirnya hatinya luluh juga. Dengan lembut ia  mengusap pipi Ve dengan kedua belah tangannya.
"Dia sangat berarti ya?"
Ve diam.
Edo menghela nafas panjang.
"Dia akan baik-baik saja, Drei pendaki yang tangguh." Edo membesarkan hati Ve walau dalam hati ia sediri meragukan kata-katanya.
Â
***
Enam jam sudah Ve duduk diam disamping Yodha yang tengah mengemudikan kendaraannya dengan tenang. Setelah adu argumentasi yang panjang dengan Edo, akhirnya ia diperbolehkan juga ikut dengan beberapa syarat.
Sebentuk gantungan dreamcatcherdihadapannya terombang-ambing seiring dengan kendaraan yang berguncang karena jalanan yang mulai terjal. Ve menggigit bibirnya, ia teringat dengan percakapannya dengan Drei sesaat sebelum ia pergi mendaki.
"Ve, aku tak ingin menangkap mimpi hanya kemudian untuk disimpan . Aku akan memburu mimpiku dan berusaha membuatnya menjadi nyata."
Drei tersenyum. "Aku tak akan mundur karena apapun. Aku akan membuktikan kepadamu bahwa aku bersungguh-sungguh." lanjutnya tegas.
"Drei, please, jangan menjadi terlalu serius... Aku..."
Namun Drei tak menghiraukan perkataan Ve, ia pergi dengan meninggalkan sebentuk senyuman tulus.
Ve menghela nafas panjang, ia menatap Edo dari kaca spion di depannya. Pemuda itu balik menatapnya sekejap lalu memalingkan pandangannya segera.
***
Hujan telah berhenti ketika mereka tiba di kaki gunung yang mereka tuju. Mereka di sambut oleh Andri dan Leo yang mengabarkan bahwa tim pencari pertama telah berangkat beberapa jam lalu. Dengan cekatan Edo langsung mengumpulkan informasi, memetakan keadaan dan mempersiapkan semuanya bersama beberapa relawan yang ada disana. Edo adalah seorang pencari jejak yang handal. Pengalamannya menaiki banyak gunung membuatnya hafal berbagai jenis medan. Dan Drei adalah salah satu teman perjalanannya, namun itu dulu, ketika Drei belum mengenal Ve.
***
Malam tiba dengan semua keindahan yang menyertainya. Ve membenamkan kepalanya ke dalam  capucon jaketnya. Waktu berjalan lambat. Ia menajamkan pendengarannya, setiap kali ada suara datang dari radio pemancar yang berada di Pos jaga dimana ia berdiam
Andri mengulurkan segelas kopi yang masih mengepulkan asap tipis kepada Ve.
"Drei berkata bahwa ia akan mendaki solo. Tapi Edo meminta kami menemaninya."
"Edo?" Ve mengeryit.
Leo memgangguk.
"Drei menolak namun Kami bersikeras ikut tanpa bilang kalau Edo yang meminta akhirnya dia mengiyakan walau dengan beberapa syarat."
"Seperti biasa Drei naik cepat, entah bagaimana hormon adrenalinnya bekerja, sementara itu tanpa di duga cuaca berubah total. Kami sempat menghubunginya, dia bilang dia akan menyusul. Lalu kami turun dan menunggunya disini. Namun dia tak juga kembali, kami pun kehilangan kontak dengannya sampai hari ini."
Ve membisu, dadanya terasa sesak. "Maafkan aku Drei, gurauan ku kemarin ini sungguh konyol sekali." batinnya.
***
Sinar mentari menyelusup dari pepohonan yang berjajar rapat. Â Sejak tadi malam Ve tak dapat memicingkan matanya barang sejenak. Satu cup mie instan yang masih mengepulkan asap tak disentuhnya. Â Ia terlalu malas untuk mengunyah. Ve memandang ke jalan setapak dihadapannya, belum ada tanda-tanda kedatangan satu orang pun dari atas sana. Â Komunikasi terakhir dengan Edo adalah saat subuh tadi.
***
Ve membuka matanya perlahan, lelah membuatnya tertidur sejenak. Namun suara berdebum langkah kaki yang ramai membuatnya terjaga seketika. Terdengar teriakan-teriakan tak jelas di luar pos jaga. Ve bergegas keluar dan mendapati suasana yang sedikit ramai.
"Drei ditemukan." Leo berteriak kepada Ve.
Deg! perasaan hatinya tiba-tiba semakin tak keruan. Â Ve berlari menyibakan kerumunan.
"Do, dia baik-baik saja kan?" Ve memeluk lengan Edo.
Edo mengangguk sambil melirik Ve dari ujung matanya.
***
Walau hanya melihat sekilas Drei yang tengah dirawat secara intensif karena mengalami dehidrasi, terkilir, dan luka di sekujur tubuhnya Ve sudah cukup lega, karena ia tahu Drei akan baik-baik saja. Ia harus kembali, karena esok hari ada ujian yang harus dihadiri. Â Ve duduk diam di samping Wayan yang diutus untuk mengantarnya pulang. Â Edo dan Yodha memilih tinggal, untuk mengurus segala keperluan Drei.
"Rupanya Drei benar-benar tengah jatuh cinta." Wayan mengacak rambut Ve sambil tergelak.
"Jatuh cinta memang bikin gila ya. Tantangan apapun gak bikin gentar."
"Tantangan? Maksud kamu?"
Wayan menutup mulutnya seketika, sadar bahwa sebenarnya ia tak boleh membicarakan hal tersebut.
***
Ve menatap kamera digital yang disodorkan Edo.
"Drei menitipkan ini."
Ve menghela nafasnya panjang. "Do, aku gak menyangka kamu perlakukan sahabat kamu sendiri seperti itu. Mendaki solo? Terinspirasi McCandless? Apakah yang aku lakukan selama ini tidak cukup? Aku sudah mulai menjauhinya."
Edo tertunduk dalam. "Saat ini aku tidak mau bertengkar dengan kamu. Tapi aku sadar bahwa rupanya aku tak cukup mengenal sahabatku sendiri. Aku mengira dia tak akan sanggup melakukannya."
"Kamu benar-benar keterlaluan." Ve mendengus.
"Aku pikir aku sudah kehilangan Drei, dan dengan  kalian semakin dekat lambat laun aku pasti akan kehilangan kamu juga Ve."
"Ya ampun Edo, Mengapa pikiran kamu sepicik itu. Untung saja Drei tidak apa-apa, kalau iya, aku tak akan pernah memaafkanmu." Nada suara Ve meninggi.
"Sekali lagi maafkan aku. aku memang salah, Aku baru sadar karena sebenarnya aku tak akan pernah kehilangan satu pun dari kalian."
"Mulai detik ini, aku berjanji tak akan mencampuri hidup kalian lagi."
Edo membelai lembut kepala adiknya lalu meninggalkan gadis itu bersama kamera digital milik Drei.
***
Ve menyalakan kamera digital yang  penuh goresan di sekelilingnya itu. Di bagian video ia menemukan satu-satunya file. Tangannya gemetar ketika ia menekan tombol play.
Sebuah pemandangan indah menjadi awalnya. Pepohonan, batuan, semak-semak, air terjun di kejauhan, langit berhias awan dan hamparan lembah yang menghijau terlihat begitu memesona. Sedetik kemudian, lensa kamera itu menyorot rumpun bunga yang bergerak-gerak di tiup angin. Â Lalu muncul lah sebuah suara.
Disinilah aku, memburu mimpi, menangkapnya lalu berharap menjadi nyata.
Hanya berharap, karena  aku sadar bahwa mimpiku tak hanya tentangku.
Disinilah aku, mengagumi rumpun bunga abadi itu.
Hanya dapat mengagumi karena rasa cintaku tak mampu untuk mematahkan batang-batangnya.
Disinilah aku, mengingkari apa mau mu.
Karena aku tahu, hatimu lebih indah dari kelopak bunga abadi itu.
Lalu kamera menyorot wajah yang berhias senyuman hangat.
Disinilah aku. Berada dalam dekapan alam.
Menatap bunga Edelweiss-ku untuk menunggu sebuah jawaban.
Ve mengusap layar kamera itu, menekan tombol power, mendongak dan tersenyum kepada seseorang yang kini telah berdiri dihadapannya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H