Mohon tunggu...
Ika Laila
Ika Laila Mohon Tunggu... Administrasi - meramu kisah

Perempuan biasa yang gemar menulis dan bercerita

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Contoh Laporan KKL ke Bank Indonesia

9 Februari 2023   13:20 Diperbarui: 9 Februari 2023   13:25 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 

BAB IV

PEMBAHASAN

Pembahasan Umum

Analisis Struktur dan Kewenangan Bank Indonesia

Dalam pemaparan yang dijelaskan dalam sesi Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Bank Indonesia yang selanjutnya disebut dengan BI secara struktural dipimpin oleh serang gubernur yang dalam menjalankan tugasnya akan dibantu oleh seorang deputi gubernur senior dan 7 deputi gubernur. Tugas utama BI adalah menjaga kestabilan nilai rupiah dengan mengeluarkan kebijakan  moneter.

Secara teori Bank Indonesia  tidak cukup hanya dibantu oleh 7 orang deputi gubernur, tetapi juga dibantu oleh seorang komite dan staff ahli gubernur. staff ahli gubernur terdiri dari staff bagian moneter, staff bagian makroprudential, staf bagian sistem pembayaran dan mengelolaan uang rupiah, staff bagian pendukung kebijakan, staff pendukung organisasi, dan jaringan kantor[1]. 

 

Menurut analisis kami, ada ketidaksinkronan antara yang disampaikan pada saat KKL dimana secara struktural BI dibantu oleh maksimal 7 orang deputi gubernur. Karena secara teori, struktural deputi gubernur Bank Indonesia dibantu oleh staff ahli gubernur terdiri dari staff bagian moneter, staff bagian makroprudential, staf bagian sistem pembayaran dan mengelolaan uang rupiah, staff bagian pendukung kebijakan, staff pendukung organisasi, dan jaringan kantor.

 

Masing-masing staff bekerja sesuai bidangnya. Staff bagian moneter akan mengurusi bagian penerbitan kebijakan moneter untuk menjaga kestabilan nilai rupiah dan jumlah uang yang beredar. Staff makroprudential akan memantau lembaga-lembaga bank konvensional dan bank syariah agar tetap berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.  Staff bagian pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang akan menangani masalah kliring dan pembayaran valuta asing lain serta berkoordinasi dengan menteri keuangan untuk mengelola rupiah. Ada juga staff bagian pendukung kebijakan, pendukung organisasi, serta jaringan kantor.

 

Selama ini, bagian atau staff yang paling menonjol adalah staff moneter dimana menjadi fungsi utama Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai rupiah. Namun  bukan berarti staff yang lain kurang bekerja. Salah satu staff yang  tak kalah penting adalah staff makroprudential. Staff ini bertugas untuk mencegah terjadinya krisis keuangan.  Di Indonesia sendiri, pendekatan makroprudensial sudah dijalankan sebagai bagian dari pemulihan ekonomi akibat krisis keuangan Asia tahun 1997/1998.

 

Pengalaman krisis tersebut sesungguhnya telah memberikan pelajaran ang berharga, sehingga pada saat krisis keuangan global 2007/2008 yang dipicu oleh kegagalan produk subprime mortgage di Amerika Serikat, Bank Indonesia dengan kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial yang dimilikinya sudah lebih siap dengan berbagai langkah yang dapat menahan pemburukan kondisi ekonomi dan sistem keuangan di dalam negeri.

 

Selanjutnya dengan berlandaskan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, fungsi mikroprudensial yang terkait dengan kesehatan, kinerja, dan kelangsungan usaha individual bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013, Bank Indonesia diamanatkan untuk tetap menjalankan fungsi makroprudensial dan mikroprudential dipegang oleh Otoritas Jasa Keuangan.

 

  • Secara garis besar, Bank Indonesia mempunyai wewenang sebagai berikut :
  • Mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu Negara
  • Merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter
  • Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran
  • Menjaga stabilitas system keuangan
  • Menjalankan fungsi sebagai "lender of the last resort"

 

Sebagaimana termaktub dalam UU No. 23 tahun 1999 adalah sebagai berikut :

 

Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan laju inflasi yang ditetapkan

 

Melakukan pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka, penetapan diskonto, dan penetapan cadangan wajib minimum.

 

Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran

 

BI juga diberi kewenangan untuk mengatur sistem kliring antar bank dalam mata uang rupiah atau valuta asing dan menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan baku yang digunakan dana tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah.[2]

Menurut analisis kami, dari kedua sumber baik dari Bank Indonesia maupun di Undang-Undang sudah sama dan sesuai dilapangan. Bank Indonesia dalam menjalankan kewenangannya dalam bidang moneter mempunyai otoritas untuk menerapkan kebijakan moneter diskonto, yakni upaya bank sentral untuk menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar dengan kebijakan suku bunga. Apabila uang yang beredar terlalu banyak, maka bank Indonesia akan menaikkan suku bunga sehingga masyarakat akan beramai-ramai untuk memasukkan uangnya ke bank. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 9-10 Februari 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%. Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi, serta upaya untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah tekanan eksternal yang meningkat. Bank Indonesia juga terus mengoptimalkan bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pemulihan ekonomi.

 Bank Indonesia juga mempunyai kebijakan moneter operasi pasar terbuka, upaya mengendalikan jumlah uang beredar dengan pembelian atau penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau instrumen lainnya di pasar modal. Saat bank Indonesia ingin mengurangi peredaran uang, maka pemerintah menjual surat berharga. Sebaliknya, ketika peredaran uang harus ditingkatkan, maka pemerintah membeli surat berharga.

Analisis Majelis Ulama Indonesia serta Struktur dan Kewenangannya

Sebagaimana disampaikan oleh DSN MUI pada 24 Februari 2022, struktur DSN MUI terdiri dari  Badan pengawas, badan pengurus, badan pelaksana harian,  ketua beserta wakilnya, sekretaris dan wakil sekretaris, bendahara beserta wakil bendahara,  yang dibantu oleh bidang perbankan syariah, bidang pasar modal syariah, bidang industri keuangan non bank syariah, bidang bisnis dan ekonmi syariah, serta bidang edukasi dan sosialisasi DSN MUI.

Berdasarkan Surat Keputusan MUI Nomor: Kep-146/DP-MUI/XII/2020 tentang Susunan dan Personalia Pengurus DSN-MUI Masa Khidmat 2021-2025[3] dan Peraturan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Nomor : 11/PO-MUI/VIII/2021 tentang Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, organisasi DSN-MUI terdiri dari perangkat internal dan perangkat eksternal.

Perangkat internal DSN-MUI terdiri dari:         

Badan Pengawas

Badan Pleno

Badan Pelaksana Harian (BPH)

Perangkat eksternal DSN-MUI terdiri dari:

Dewan Pengawas Syariah (DPS)

Penasihat Syariah

Komite Syariah

Tim Ahli Syariah (TAS)

perangkat lainnya jika diperlukan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DSN-MUI

Dalam melaksanakan tugasnya, perangkat Internal DSN MUI dibantu oleh beberapa bidang yakni bidang perbankan syariah, bidang pasar modal syariah, bidang industri keuangan dan bank syariah, bidang industri, bisnis dan ekonomi syariah, dan bidang edukasi, sosialisasi, dan literasi.  Bidang -- bidang ini diperluka untuk mendukung kinerja dari DSN MUI karena semakin berkembangnya permasalahan ekonomi yang membutuhkan fatwa.

Selain berwenang mengeluarkan fatwa, DSN MUI juga memiliki kewenangan untuk :

Memberikan peringatan kepada LKS, LBS, dan LPS lainnya untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang diterbitkan oleh DSN-MUI melalui DPS yang suda ditunjuk pada masing-masing lembaga  keuangan syariah.

Merekomendasikan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan

Membekukan dan/atau membatalkan sertifikat Syariah bagi LKS, LBS, dan LPS lainnya yang melakukan pelanggaran

Menyetujui atau menolak permohonan LKS, LBS, dan LPS lainnya mengenai usul pergantian dan/atau pemberhentikan DPS pada lembaga yang bersangkutan

Merekomendasikan kepada pihak terkait untuk menumbuhkembangkan usaha bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah

Menjalin kemitraan dan kerja sama dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri untuk menumbuhkembangkan usaha bidang keuangan

Menurut analisis kami, meskipun secara teori Fatwa DSN MUI menjadi pedoman dari diterbitkannya produk-produk perbankan syariah. Jadi, Fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) merupakan hukum yang mengikat. Sebab, keberadaannya sering dilegitimasi lewat peraturan perundang-undangan oleh lembaga pemerintah, sehingga harus dipatuhi pelaku ekonomi syariah.

Dalam memantau lembaga-lebaga keuangan syariah yang ada, DSN MUI dibantu oleh  DPS atau Dewan Pengawas Syariah. setiap lembaga keuangan syariah mempunyai DPS minimal 3 orang. DPS bertuga untuk mengawasi lembaga keuangan syariah dan memastikan produk yang dieluarkan oleh lembaga keuangan syariah tersebut. Meskipun demikian, DPS seolah tidak berdampak besar terhadap kesesuaian fatwa dengan produk syariah karena pada kenyataannya DPS hanya mengawasi dan memberi nasehat, tidak mempunyai hak  memberikan sanksi ataupun menghentikan pengoperasian produk yang tidak sesuai syariah. 

Ditambah lagi dengan sifat DSN MUI yang hanya menerbitkan fatwa ketika ada lembaga keuangan atau mufti yang mengajukan fatwa. Kesimpulannya, DSN MUI telah berperan sesuai dengan wewenangnya yakni memberikan peringatan kepada lembaga yang tidak sesuai syariah, membekukan sertifikat syariah bagi LKS, menyetujui atau menolak permohonan DPS, merekomendasikan pihak terkait untuk menumbuhkembangkan usaha bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah, serta Menjalin kemitraan dan kerja sama dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri untuk menumbuh kembangkan usaha bidang keuangan. Hanya saja dalam bidang pengawasan kurang adanya sanksi keras bagi lembaga yang tidak sesuai dengan fatwa.

  1. Pembahasan Khusus

Analisis Perkembangan Instrument Sistem Pembayaran di Indonesia

Seiring dengan perkembangan sistem pembayaran,  Instrument sistem pembayaran di Indonesia juga  turut  mengalami perubahan dari masa ke masa. Ada beberapa instumen pembayaran, diantaranya APMK yang dalam perjalannya terus berkembang menjadi uang elektronik.  sebagaimana  PBI APMK No.11/11/PBI/2009  yang telah diubah dengan PBI No.14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu,  Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu automated teller machine (ATM), dan kartu debet.[4] 

 

Kartu Kredit merupakan APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran, termasuk didalamnya  transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, di mana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran.

 

Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana di mana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada bank atau lembaga selain bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kartu debet adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, di mana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada bank atau lembaga selain bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 

APMK terus berkembang  menjadi uang elektronik.   Uang Elektronik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi beberapa unsur (PBI No.20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik) diantaranya diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit, nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip, nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.[5] Penggunaan uang elektronik telah ditur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tanggal 13 April 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money). Dan Surat Edaran Bank Indonesia No.11/11/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Uang Elektronik (Electronic Money).[6] 

 

Penggunaan uang elektronik juga diperkuat dengan terbitnya fatwa DSN MUI tentang uang elektronik. Fatwa tentang Uang Elektronik Syariah (Fatwa No: 116/DSN-MUI/IX/2017); di antaranya mengatur hubungan hukum di antara para pihak yang terlibat dalam transaksi uang elektronik dan prinsip umum yang wajib dipatuhi pada saat melakukan transaksi uang elektronik. Ditekankan dalam fatwa tersebut bahwa akad antara penerbit dengan pemegang uang elektronik adalah akad wadi'ah atau akad qardh; Akad yang dapat digunakan penerbit dengan para pihak dalam penyelenggaraan uang elektronik (prinsipal, acquirer, Pedagang [merchant], penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesai akhir) adalah akad ijarah, akad ju'alah, dan akad wakalah bi al-ujrah, dan Akad antara penerbit dengan agen layanan keuangan digital adalah akad ijarah, akad ju'alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.

 

Dari data diatas,kami mempunyai kesimpulan bahwa  seiring dengan perkembangan teknologi   serta   makin   besarnya   nilai   transaksi   serta   risiko,   kita tentu membutuhkan sistem pembayaran  yang aman  dan  lancar.  Sistem pembayaran selain diperlukan untuk memfasilitasi perpindahan dana secara efisien, aman dan cepat, juga sangat diperlukan dalam dunia pasar modal yang menuntut ketepatan, keamanan dalam penyelesaian setiap transaksinya. Sesuai dengan  UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia,  bahwa salah satu tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah menyelenggarakan, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Yaitu dengan jalan  memperluas,  memperlancar, dan mengatur lalu  lintas pembayaran giral dan menyelenggarakan kliring antar bank.

 

Adanya uang elektonik membawa banyak dampak baik bagi keberlangsungan hidup manusia, apalagi di era pandemi dimana kegiatan kita dibatasi. Hadirnya uang elektronik tentu mempermudah kita dalam melakukan transaksi apapun. Namun, seperti istilah tidak ada gading yang tak retak. Sejuta kemudahan yang disajikan oleh uang elektronik juga menimbulkan risiko yang tidak kalah besar dengan manfaatnya. Diantaranya mudah untuk diretas oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Untuk itu pemerintah menggagas adanya QRIS. Quick Response Code Indonesian Standard atau biasa disingkat QRIS (dibaca KRIS) adalah penyatuan berbagai macam QR dari berbagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) menggunakan QR Code. QRIS dikembangkan oleh industri sistem pembayaran bersama dengan Bank Indonesia agar proses transaksi dengan QR Code dapat lebih mudah, cepat, dan terjaga keamanannya. Semua Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang akan menggunakan QR Code Pembayaran wajib menerapkan QRIS sehingga risiko akibat adanya uang elektronik lebih bisa ditekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun