“Susan, sadar San, maafin aku,” Rey menangis meraung-raung. Pemuda itu pernah mengatakan bahwa dia tidak akan menangis di depan orang lain, tapi nyatanya, dia tidak bisa menahan kesedihan hatinya.
“Rey, sudahlah Rey, jangan seperti ini. Percuma, dia pasti tidak dengar,” ujar Vera menenangkan diri. Gadis itu tampak peduli pada Rey. Setidaknya hari ini, saat Rey sedang benar-benar dilanda pilu.
***
Kejadian ini bermula beberapa bulan lalu saat Rey datang dari Jakarta. Dia ditugaskan ke Lampung untuk mengawasi jalannya perusahaan di sana. Meskipun merupakan ibukota, Bandar Lampung merupakan kota yang kecil. Jarak dari satu lokasi ke lokasi lain dapat ditempuh dalam waktu 10 menit saja. Rey sempat berpindah-pindah kos beberapa kali sebelum dia menemukan kos “Rumah Canda”. Nama kos-kosan ini sangat unik. Dia mulai masuk untuk menanyakan beberapa hal mengenai tinggal di sana.
Saat itulah dia bertemu Susan. Susan sedang membereskan kamarnya. Daster yang dikenakan berhiaskan debu dan dia memegang sapu di tangan kirinya. Rey hanya melihat gadis itu selintas saja, karena dia harus ke lantai dua. Iya, kamar di lantai dua itu merupakan satu-satunya kamar kosong yang ada. Melihat keadaan kamar yang bersih, rapi dan memiliki air conditioner, dia setuju untuk mengambilnya.
Menuruni anak tangga satu persatu, Rey masih melihat Susan sibuk dengan sapu dan kamarnya. Mbak Rodi, pembantu rumah tangga yang mengantarkan Rey ke atas segera memperkenalkan Rey ke Susan.
“Rey.”
“Susan.”
“Mbak Susan, Mas Rey ini besok ngekos di sini,” Mbak Rodi menjelaskan.
“Oh ya? Selamat datang di kos “Rumah Canda”. Bisa ketawa kan? Kalo ga bisa, ga bisa masuk sini lo. Ga matching sama nama kosnya. He he he . . .” Susan mencoba mencairkan suasana.
“Oh bisa dong. Dari Jawa ya?” Rey mulai cair.
“Iya, dari Surabaya. Kok tau sih?” Susan penasaran.
“Iya, cara ngomong kamu tuh, medok banget,” Jawab Rey sambil mempersiapkan kunci motornya.
“Ooo . . . Kamu orang yang ke 1765 yang bilang seperti itu,” goda Susan.
Rey pun tertawa dan segera berpamitan.
Hanya sepintas saja mereka berkenalan. Rey segera meninggalkan kos-kosan itu dan Susan melanjutkan aktivitasnya. Pekerjaannya yang cukup menyita waktu membuat Susan tidak sempat membereskan kamarnya. Kamarnya merupakan satu-satunya kamar wanita yang berantakan. Beberapa teman kos mengatakan bahwa kamarnya pengap dan harus dirapikan. Susan tetap bersikukuh dan yakin bahwa pengapnya kamar disebabkan karena lokasi yang bersebelahan dengan kamar mandi. Bukan karena tidak rapi. Nyatanya, dia selalu merapikan barang-barangnya yang jumlahnya ajubilah itu.
***
Keesokan harinya, Rey datang. Rey segara merapikan kamar yang telah dia pilih kemarin. Sebenarnya bukan dipiih, tetapi ditakdirkan. Karena hanya kamar itu yang kosong. Sepertinya dewi fortuna sedang berpihak padanya. Kamar kosong, satu-satunya, ber-AC, bersih dan nyaman. Setelah berbenah-benah, Rey turun ke bawah untuk berkenalan dan berkumpul dengan penghuni kos lainnya.
Di bawah para penghuni kos telah berkumpul. Mereka datang dari berbagai kota, berbagai suku dan berbagai perusahaan. Sangat bervariatif. Rey berkenalan dan saling bertukar cerita tentang pekerjaan dan asal mula dipindahkan ke Lampung. Selang beberapa waktu, Susan pulang. Sambil ceria menyapa teman-teman kos, Susan tersenyum dan bersuara lantang.
“Aku pulang!”
“Nah, ini Susan, paling cerewet di kosan ini” salah satu penghuni kos itu memperkenalkan Susan ke Rey.
“Iya, kami sudah kenalan kok kemarin,” jawab Susan, “Kalian kalah start. Hahhahahhaha . . . ,” Tawanya membahana.
Penghuni yang kecewa itu melengos dan kembali ke tempat duduknya. Susan segera masuk ke kamarnya dan berbenah-benah. Dia segera membereskan pakaian kotor dan menuju ke kamar mandi untuk mandi dan melepas penat. Selesai mandi, Susan tampak lebih segar dan ceria. Dia pun duduk bersama seluruh penghuni kos. Rey yang saat itu sedang asyik mengobrol mulai menyapa Susan. Akhirnya mereka semua terlibat dalam pembicaraan seru mengenai jodoh dan perceraian. Perbincangan antara jodoh dan cerai ini pun berlarut hingga malam hampir larut.
Tiba-tiba, Rey pun merasa lapar dan ingin mencari makan di luar. Susan yang belum makan pun menawarkan diri untuk menemani Rey.
“Ayo, sama Susan aja, Susan juga belum makan.”
Maka mereka pun jalan sambil mengobrol dan singgah di sebuah kedai bernama “Saung Lele”. Nama yang cukup unik, karena mereka berdua tidak tahu apa arti saung sebenarnya. Tetapi karena perut mereka sudah bernyanyi minta diisi, mereka segera duduk. Rey memesan lele bakar, karena dia belum pernah mencoba itu. Susan dengan netralnya memilih ayam bakar, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Susan paling anti membuang makanan, karena itu dia lebih suka memilih yang pasti-pasti saja.
Siapa sangka, makan malam itu merupakan awal dari hubungan persahabatan yang mereka bina. Setelah malam itu, Susan dan Rey sering menghabiskan waktu bercerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Rey merasa nyaman dengan keberadaan Susan, begitu juga sebaliknya. Mereka berdua rupanya dapat saling mengerti dan memahami. Tanpa sepatah kata, Susan dapat memahami maksud Rey dari bahasa tubuh dan wajah, begitu juga dengan Rey. Apakah Tuhan mulai mendekatkan mereka? Mungkin iya, mungkin juga tidak.
Suatu malam, Rey akan berkemas untuk pergi ke luar kota. “Ada meeting regional,” Katanya. Susan pun membantu dia mengepak barang-barangnya. Rey termasuk orang yang praktis. Dia tidak suka membawa banyak barang, karena itu dia membawa barang seperlunya. Berbeda dengan Rey, Susan merupakan wanita yang sangat detail. Dia mensimulasikan kejadian yang akan dilewati Rey sehingga dia dapat mempersiapkan barang-barang yang kemungkinan akan dibutuhkan Rey.
Proses pengepakan barang telah selesai. Rey merasa sangat senang karena ada Susan di sampingnya untuk menemani dia. Rasa nyaman yang susah diungkapkan mulai timbul di hati Rey. Benih yang seharusnya tidak tumbuh di antara mereka pun mulai menampakkan diri. Rey jatuh hati. Begitu pun dengan Susan.
Rey keluar kota untuk beberapa hari dan itu membuat Susan begitu merindukannya. Cinta pun berbalas, karena Rey pun merindukan Susan. Mereka selalu saling berkirim sms dan menelpon satu dengan yang lain. Saat Rey rapat, Susan menunggu. Begitu juga saat Susan harus menghabiskan waktu dengan anak-anak kos, Rey menunggunya dengan sabar. Hubungan tanpa status ini disembunyikan, karena mereka tidak ingin teman-teman kos merasa canggung dan berpikir yang tidak benar.
Hari-hari berat pun lewat dan pada suatu sore, Susan mendapati Rey sedang memasak air untuk menyeduh kopi. Tanpa disadari, senyuman lebar merekah di bibirnya. Rey pun demikian. Mereka berdua bagaikan pasangan yang terpisahkan bertahun-tahun lamanya dan dipertemukan dalam suatu acara reality show. Susan mendatangi Rey dan meminta satu gelas untuknya, dia juga menginginkan kopi itu. Mereka menghabiskan sore itu bersama, saling menceritakan kisah saat mereka berpisah. Alangkah indahnya jika dunia hanya milik berdua, mungkin itulah perasaan yang ada dalam hati mereka saat itu.
Beberapa bulan yang indah pun dilewati sepasang insan yang berbahagia ini. Tidak segan-segan mereka menunjukkan perasaan mereka. Saat Susan sakit, Rey membelikannya obat-obatan, walaupun sudah larut malam. Susan pun demikian. Mereka sangat salilng memperhatikan kebutuhan satu sama lain. Suatu kali Susan ke luar pulau dan Rey menjemputnya di bandara, padahal jarak antara bandara dan kos-kosan mereka sekitar satu jam. Rey pun harus menunggu selama satu jam lagi karena pesawat di delay. Namun Rey tidak mengeluh, dan susan sangat menyayanginya.
Kadangkala Susan membelikan makan untuk Rey karena Rey terlalu lelah bekerja, sehingga dalam keadaan yang sama-sama lelah, Susan pun berangkat. Namun semua dilewati dengan rasa sayang. Sehingga betapa pun lelahnya, tidak terasa sama sekali. Mereka sedang mabuk. Mereka dimabuk cinta. Tanpa mereka sadari bahwa mereka tidak seharusnya bersama.
Hari-hari selanjutnya dilewati dengan sangat mengalir. Hubungan Susan dan Rey semakin dekat. “Cinta liar” yang ingin mereka redam, malah semakin membara dan membakar mereka. Mereka bagaikan pasangan yang sedang kasmaran. Aroma cinta ini pun tercium di kalangan teman-teman kos mereka. Akhirnya, untuk menghindari gosip-gosip yang tidak menyenangkan, mereka harus sembunyi-sembunyi. Janji temu setiap hari dilakukan melalui sms. Mereka senang. Mereka bahagia.
***
“Rey, kalau Vera datang ke sini, apakah hubungan kita ini akan berakhir?” Susan menanyakan hal ini dengan ragu-ragu. Dia tidak ingin menyakiti Rey, terlebih lagi, dia tidak ingin menyakiti dirinya sendiri.
“San, kamu sudah tahu di awal, kalau aku sudah ada pasangan. Tentu hubungan kita tidak berakhir, tetapi aku minta kamu bisa memahami kondisiku. Aku mungkin tidak bisa memperhatikan kamu seperti sekarang ini.”
“Tapi Rey, aku harus bagaimana. Aku tidak rela melihat kamu dan Vera berduaan. Aku cemburu, Rey. Membayangkan kamu akan menjadi miliknya saja, hatiku sudah teriris, apalagi mengetahui bahwa kamu bermesraan dengan dia. Aku tidak bisa Rey.”
“San, kamu sudah tahu kita berbeda. Kita ga mungkin bersama. Ini resiko yang harus kita tanggung, San. Saat aku mengatakan bahwa aku sayang kamu, aku tahu resikonya. Saat kita menjalani semua ini, aku tahu kamu juga paham resikonya.”
Susan terdiam. Dia memang salah. Saat ini dia merasa hancur. Dia tahu di awal bahwa mereka tidak mungkin bisa bersatu. Lalu mengapa dia tetap melanjutkan hubungan terlarang ini. Dia memiliki harapan. Harapan yang sepertinya harus pupus saat ini juga. Susan tahu dia harus menyingkir, tapi Susan tidak rela. Mengapa bukan Vera yang pergi. Mengapa harus dia. Bukankah dia yang selama ini mencintai Rey dengan tulus.
***
Suatu hari di kos “Rumah canda”, kaki Susan gemetar. Dia tahu hari ini akan tiba. Hari dimana dia harus bertemu dengan Vera, gadis yang akan memiliki Rey. Susan ingin lari, tapi dia tidak mungkin melakukan itu, terlalu mencurigakan. Memantapkan hatinya, Susan naik ke lantai dua. Dia melihat Vera sedang bermalas-malasan di tempat tidur Rey. Kasur empuk tempat di mana Susan dan Rey sering menghabiskan waktu berbincang sana-sini tentang bermacam hal. Hatinya mulai sakit.
“Halo Vera.” Susan memaksakan senyumnya, berharap Vera tidak menyadari drama yang dia lakukan.
“Halo Susan, Rey sering cerita tentang kamu”
“Oh ya? Yang jelek atau yang bagus?” Susan tersenyum sambil penasaran. Bagaimana mungkin Rey menceritakan tentang dirinya ke Vera. Apakah Rey meneritakan tentang hubungan rahasia mereka selama ini? Sepertinya tidak.
“Hmm . . . yang bagus kok, tenang aja. Oh ya, ini minuman dingin, ambil aja.”
“Makasih.”
Vera menawarkan soft drink rasa strawberry. Sepertinya dia menyayangi Rey. Barang bawaannya bervariasi, mulai dari minuman hingga makanan kecil. Oleh-oleh untuk Rey, katanya. Bagi Susan, itu ancaman bahwa Susan akan kehilangan Rey. Mengetahui ekspresi Susan yang berubah, Rey segera memecah keheningan.
“San, gimana kalau kita jalan-jalan.”
“Eh, jalan-jalan? Kemana?”
“Ke mall sebelah. Vera kan belum pernah ke Bandar Lampung, ga ada salahnya kan kita ajak dia jalan-jalan?”
“Eh, kalian berdua aja. Susan ga ikut. Suan banyak kerjaan.”
“Ayo dong, kasian Vera sendirian, ga ada temannya.”
“Iya San, sekaligus memperkenalkan daerah ini ke aku. Mau ya?” Vera ikut-ikutan merayu Susan.
“Oo... ok lah. Ayuk berangkat sekarang,”
“Ehm tunggu, kamu sama Rey tunggu di bawah dulu, aku mau ganti baju,” ujar Vera.
“Ok, kami tunggu di bawah ya Ver,” Rey segera beranjak.
Susan mengikuti Rey turun ke lantai satu. Rey melihat adanya ketegangan di wajah Susan. Rey tahu orang yang disayanginya kini sedang dibakar cemburu. Rey tidak bisa berbuat apa-apa. Dia mencoba menenangkan Susan.
“San, sudahlah. Ini Cuma beberapa hari aja kok. Setelah Vera pulang, aku akan jadi milikmu lagi.”
“Lalu saat kamu kembali ke Jakarta, kamu akan jadi milik Vera? Seutuhnya? Sekarang hatiku sakit banget Rey. Aku ga bisa melihat kalian berdua seperti ini. Kenapa kamu memaksa aku menemani kalian? Aku jadi obat nyamuk gitu?,” Susan mulai tidak terkontrol. Hatinya yang sakit menjalar ke atas membuat matanya nanar. Sebutir air mata nampak di pelupuk matanya.
“San, jangan gini dong. Aku tahu kamu sedih. Aku juga San. Tapi aku ga bisa berbuat apa-apa. Please San. Bantu aku ya. Jangan sedih gitu san.”
“Ya sudah. Aku berusaha bantu Rey, tapi kalau aku ga tahan, aku pergi ninggalin kalian berdua. Ok?” Susan membuat perjanjian dan berharap semua ini tidak terjadi.
“Ok. Tapi kamu harus berusaha tampil ceria ya, seperti Susan yang aku kenal.”
“Keceriaanku sudah hilang Rey, tapi aku akan coba.”
Susan sayang Rey. Dia tidak tega melihat ekspresi kebingungan Rey. Rasa sayangnya sudah pada level di mana mereka berdua memiliki rasa yang sama. Satu sakit, berdua sakit. Satu senang, berdua senang. Susan tahu Rey sedang bingung. Dia tidak ingin memperburuk keadaan. Dia ingin berusaha membantu Rey. Dia tulus melakukannya. Apa pun untuk Rey. Dia merasa bodoh, tapi ini resikonya.
Rey pun demikian. Saat ini, dia lebih menyayangi Susan. Dia sangat tidak ingin melukai Susan. Tapi apa daya, wanita yang menggunakan cincin serupa dengan cincin yang ada di jari manisnya kini ada di dekatnya. Dia tidak mungkin memnelantarkan wanita itu. Apa kata orang tuanya. Apa kata orang tua mereka. Rey bingung. Rey ingin semuanya mengalir seperti hubungannya dengan Susan. Tapi, mengalir kemana?
“Ayo Rey.”
Vera tampak sudah siap. Dia menggunakan kaos dan celana jins. Casual sekali bila dibandingkan dengan Susan yang cuma bercelana pendek dan berkaos krah hitam. Vera turun dan segera menggandeng tangan Rey. Rey menggandeng balik. Vera tersenyum bahagia. Rey tersenyum kaku. Susan tersenyum pahit.
Hati Susan berdenyut. Dia merasa konyol telah menyetujui rencana ini. Seharusnya dia tetap menolak rayuan-rayuan untuk menemani mereka berdua. Dia merasa tidak diabaikan. Rey dan Vera bagaikan sepasang insan yang sedang dimabuk cinta dan Susan bagaikan baby sitter yang membawakan barang-barang mereka. Susan tahu Rey tersiksa. Rey tahu Susan tersiksa. Hati mereka membisu tidak tahu harus berkata apa.
“Sayang, kamu kapan balik Jakarta? Vera sudah kangen pengen jalan terus sama kamu.”
“Nanti ya Ver, di sini masih banyak kerjaan. Ga bisa ditinggalin gitu aja.”
Susan menguping dari belakang. Dia tahu menguping itu tidak baik, tapi dia tidak tahan untuk mendengarkan perbincangan Vera dan Rey.
“Nanti kamu di sini kelamaan, naksir cewek lain Rey, Vera nggak mau kehilangan kamu.”
“Tenang aja. Rey ga naksir siapa-siapa kok. Cuma kamu Ver yang ada di hati Rey.”
“Ah, kamu manis banget sih Rey. Vera jadi makin sayang deh.”
Hati Susan langsung retak mendengar kata-kata Rey barusan. Apa maksudnya? Mengapa Rey tidak diam saja dan membiarkan Vera berceloteh? Sepertinya Rey sudah lupa kalau Susan ada di belakangnya. Sepertinya Rey tidak sadar kalau perkataannya barusan melukai hati Susan. Sesekali Vera melihat barang dan Rey menggamit pinggangnya. Susan merasakan sakit di hatinya. Dia tahu, Rey tipe laki-laki yang penyayang. Dia tahu Rey tidak bermaksud menyakiti hatinya, tapi itu reflek dilakukannya. Dulu, Rey sering melakukan itu ke Susan. Paling tidak sebelum Vera datang.
Akhirnya dua jam pun berlalu sudah. Bagaikan bertahun-tahun menanggung beban, Susan menghela nafas lega. Sekarang, mereka pasti akan pulang dan istirahat. Paling tidak, itu harapan Susan. Lalu Vera beristirahat dan Susan dapat berbincang-bincang lagi dengan Rey, seperti yang selama ini mereka lakukan. Berbagi suka, berbagi duka, berbagi kisah bersama.
“Kita makan dulu yuk sayang.” Vera menawari Rey untuk makan.
“Makan di kosan aja yuk Ver, aku capek nih,” Rey menyarankan.
“Gak ah, aku kan sudah sampai di sini, masa kita makan cuma di kosan aja. Makan di luar yuk,” Rayu Vera. Saat seperti inilah yang membuat Susan sedih Vera merayu dengan bergelayut di lengan Rey.
“Makan di kosan aja,” Susan ikut-ikutan menyarankan. Berharap Rey memilih sarannya.
“Di luar aja. Susan makan di kosan aja gapapa kok, pasti Susan capek. Aku masih mau jalan-jalan. Kita kan sudah lama ga ketemu, sayang,” Susan jengkel. Kenapa sih perempuan ini tidak bisa memahami Rey. Rey kan capek. Dia pulang kerja sudah menjemput Vera di bandara yang jauhnya satu jam dari kantor. Sudah menemani jalan-jalan, masih mau makan di luar lagi.
“Sudah, kita beli aja, trus makan di kosan, gimana. Kasian Rey nya capek Ver. Dia butuh istirahat juga,” Susan mencoba merayu Vera.
Rey bingung harus bagaimana. Vera terus meraung-raung minta makan di luar. Susan berusaha meyakinkan Vera untuk makan di kosan. Susan benar, dia sangat capek. Kerjaan menumpuk karena akhir bulan. Rey masih harus menjemput Vera di bandara dan menemani Vera jalan-jalan. Susan mengerti bahwa Rey kelelahan. Mungkin ini yang membuat Rey menyayangi Susan. Dia pengertian.
“Gini aja. Susan, kamu pasti capek, kamu pulang aja gapapa. Kamu istirahat dulu. Kamu pasti capek juga kan? Aku nemanin Vera makan di luar, sekaligus ngajak dia jalan-jalan. Gimana?”
“Ide yang bagus sayang.” Vera girang, “Susan pulang aja gapapa. Makasih ya sudah nemenin Vera dan Rey jalan-jalan. Besok kita jalan lagi yah”
Susan tidak terima. Kenapa Rey harus memilih Vera. Rey membohongi dirinya sendiri. Kenapa rey mengorbankan dia dan Susan. Kenapa demi Vera dia rela?
“Rey, kamu kan capek. Gimana kalau besok aja makan di luarnya?” Susan berharap Rey berubah pikiran.
“Ga kok San, gapapa. Kamu istirahat aja yah. Besok kita ketemuan lagi.”
Susan akhirnya menyerah. Matanya sudah berusaha bicara untuk meyakinkan Rey bahwa Susan ingin ngobrol. Susan ingin berbagi malam. Susan ingin berbagi cerita. Tapi tampaknya, Rey tidak membaca bahasa tubuh Susan. Rey terus-menerus menatap Vera dan sedikitpun tidak melihat ke Susan. Hati Susan sakit. Dia sudah tidak tahan melihat adegan ini.
“Ok lah kalau memang mau jalan. Susan balik dulu yah,” Susan bergegas pergi. Tanpa terasa, setetes air mata Susan jatuh saat dia berbalik. Rey melihatnya. Dia menyesal. Rey tahu hati Susan hancur. Tapi kondisi membuat dia tidak dapat berbuat apa-apa. Sekali lagi, kondisi membuat dia tidak dapat berbuat apa-apa.
Lalu bagaikan kilat, sebuah mobil menyambar tubuh Susan. Sepertinya Susan terlalu bimbang hingga tidak melihat mobil itu saat menyeberang. Tubuh Susan terpelanting dan jatuh di dekat selokan. Rey terkejut dan segera melemparkan barang belanjaan Vera. Dia ingin berteriak tetapi lehernya tercekat. Teriakannya tidak terdengar. Yang terdengar hanya suara teriakan orang-orang pengunjung mall. Dia berlari ke arah Susan dan mendapati tubuh Susan penuh darah.
“Ambulance . . . tolong telepon ambulance!” Teriakannya membuat seorang satpam di sampingnya segera mengambil hand phone dan menekan beberapa nomor.
“San, tahan ya. Kamu pasti kuat San.” Air mata Rey mengalir.
Susan dengan segala kekuatan yang ada berusaha menghapus air mata Rey.
“R . . .Rey . . . ja . . . ngan . . . mm . . . me . . . nang . . . is.”
“San, jangan bicara dulu San.”
“Aa . . . ku . . . s . . . ss . . . a . . . yang . . . k . . . ka . . . mu, Rey...”
“Aku juga San. Aku juga . . .” Rey tidak tahu mengapa ini harus terjadi. Harusnya dia mendengar kata Susan, sahabatnya, kekasih gelapnya. Harusnya dia mendengarkan kata hatinya. Harusnya....
***
Ambulance membawa Susan, Rey dan Vera ke rumah sakit terdekat. Vera merasa kebingungan karena Rey terus menerus menangis melihat Susan yang terbaring lemas. Pikiran-pikiran negatif terus bermunculan di kepala Vera. Naluri Vera dapat mengendus rahasia dibalik kejadian yang mencurigakan ini.
“Susan, sadar San, maafin aku,” Rey menangis meraung-raung. Pemuda itu pernah mengatakan bahwa dia tidak akan menangis di depan orang lain, tapi nyatanya, dia tidak bisa menahan kesedihan hatinya.
“Rey, sudahlah Rey, jangan seperti ini. Percuma, dia pasti tidak dengar,” ujar Vera menenangkan diri. Gadis itu tampak peduli pada Rey. Setidaknya hari ini, saat Rey sedang benar-benar dilanda pilu.
“San, maafin aku San. Aku janji akan memperbaiki semua ini San. Kamu bangun ya..,” Rey terus memanggil Susan.
Susan terus bergelut dengan perasaannya. Dia tahu hubungannya dengan Rey tidak mungkin bisa bersatu. Mereka berbeda, secara iman dan secara latar belakang. Hanya mujizat yang dapat menyatukan mereka. Susan bingung harus bagaimana. Dia berlari menjauhi Rey, namun kakinya semakin lemas. Tangannya perlahan tidak dapat dirasakan. Pandangannya menjadi semakin kabur. Dia tidak melihat apa-apa.
Sementara denyut nadi Susan semakin melemah. Rupanya posisi jatuh yang salah menyebabkan kepala Susan terbentur dan dia kehilangan banyak darah. Dokter sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan Susan, tetapi tetap yang Maha Kuasa lah yang dapat memulihkan Susan. Mata Rey membengkak karena tangisan yang tidak dapat dihentikan. Berkali-kali Rey meremas tangan Susan dengan harapan Susan akan kesakitan dan membuka matanya.
Tiba-tiba mesin mengeluarkan suara tiiit . . . yang sangat panjang. Suara ini pertanda Susan telah menyerah. Atau mungkin juga susan mengalah. Susan merelakan hubungannya dengan Rey. Susan melepas semua impiannya. Susan menyimpan rasa cintanya dalam hati. Rey semakin meraung, Vera menghela nafas. Dokter mengucapkan doa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H