Susan akhirnya menyerah. Matanya sudah berusaha bicara untuk meyakinkan Rey bahwa Susan ingin ngobrol. Susan ingin berbagi malam. Susan ingin berbagi cerita. Tapi tampaknya, Rey tidak membaca bahasa tubuh Susan. Rey terus-menerus menatap Vera dan sedikitpun tidak melihat ke Susan. Hati Susan sakit. Dia sudah tidak tahan melihat adegan ini.
“Ok lah kalau memang mau jalan. Susan balik dulu yah,” Susan bergegas pergi. Tanpa terasa, setetes air mata Susan jatuh saat dia berbalik. Rey melihatnya. Dia menyesal. Rey tahu hati Susan hancur. Tapi kondisi membuat dia tidak dapat berbuat apa-apa. Sekali lagi, kondisi membuat dia tidak dapat berbuat apa-apa.
Lalu bagaikan kilat, sebuah mobil menyambar tubuh Susan. Sepertinya Susan terlalu bimbang hingga tidak melihat mobil itu saat menyeberang. Tubuh Susan terpelanting dan jatuh di dekat selokan. Rey terkejut dan segera melemparkan barang belanjaan Vera. Dia ingin berteriak tetapi lehernya tercekat. Teriakannya tidak terdengar. Yang terdengar hanya suara teriakan orang-orang pengunjung mall. Dia berlari ke arah Susan dan mendapati tubuh Susan penuh darah.
“Ambulance . . . tolong telepon ambulance!” Teriakannya membuat seorang satpam di sampingnya segera mengambil hand phone dan menekan beberapa nomor.
“San, tahan ya. Kamu pasti kuat San.” Air mata Rey mengalir.
Susan dengan segala kekuatan yang ada berusaha menghapus air mata Rey.
“R . . .Rey . . . ja . . . ngan . . . mm . . . me . . . nang . . . is.”
“San, jangan bicara dulu San.”
“Aa . . . ku . . . s . . . ss . . . a . . . yang . . . k . . . ka . . . mu, Rey...”
“Aku juga San. Aku juga . . .” Rey tidak tahu mengapa ini harus terjadi. Harusnya dia mendengar kata Susan, sahabatnya, kekasih gelapnya. Harusnya dia mendengarkan kata hatinya. Harusnya....
***