“Susan, sadar San, maafin aku,” Rey menangis meraung-raung. Pemuda itu pernah mengatakan bahwa dia tidak akan menangis di depan orang lain, tapi nyatanya, dia tidak bisa menahan kesedihan hatinya.
“Rey, sudahlah Rey, jangan seperti ini. Percuma, dia pasti tidak dengar,” ujar Vera menenangkan diri. Gadis itu tampak peduli pada Rey. Setidaknya hari ini, saat Rey sedang benar-benar dilanda pilu.
***
Kejadian ini bermula beberapa bulan lalu saat Rey datang dari Jakarta. Dia ditugaskan ke Lampung untuk mengawasi jalannya perusahaan di sana. Meskipun merupakan ibukota, Bandar Lampung merupakan kota yang kecil. Jarak dari satu lokasi ke lokasi lain dapat ditempuh dalam waktu 10 menit saja. Rey sempat berpindah-pindah kos beberapa kali sebelum dia menemukan kos “Rumah Canda”. Nama kos-kosan ini sangat unik. Dia mulai masuk untuk menanyakan beberapa hal mengenai tinggal di sana.
Saat itulah dia bertemu Susan. Susan sedang membereskan kamarnya. Daster yang dikenakan berhiaskan debu dan dia memegang sapu di tangan kirinya. Rey hanya melihat gadis itu selintas saja, karena dia harus ke lantai dua. Iya, kamar di lantai dua itu merupakan satu-satunya kamar kosong yang ada. Melihat keadaan kamar yang bersih, rapi dan memiliki air conditioner, dia setuju untuk mengambilnya.
Menuruni anak tangga satu persatu, Rey masih melihat Susan sibuk dengan sapu dan kamarnya. Mbak Rodi, pembantu rumah tangga yang mengantarkan Rey ke atas segera memperkenalkan Rey ke Susan.
“Rey.”
“Susan.”
“Mbak Susan, Mas Rey ini besok ngekos di sini,” Mbak Rodi menjelaskan.
“Oh ya? Selamat datang di kos “Rumah Canda”. Bisa ketawa kan? Kalo ga bisa, ga bisa masuk sini lo. Ga matching sama nama kosnya. He he he . . .” Susan mencoba mencairkan suasana.
“Oh bisa dong. Dari Jawa ya?” Rey mulai cair.