"Aku justru bekerja pada bidang yang tak memiliki kaitan dengan disiplin ilmu yang dulu kupelajari di bangku kuliah saat pendidikan strata satu dan strata dua itu. Alasannya mungkin terdengar bodoh, tapi itulah yang kulihat. Pertama, bagiku tak ada perusahaan tambang yang dapat mensejahterakan rakyat disekitar perusahaan. Yang ada justru tanahnya dialih fungsikan dengan ganti rugi yang tak seberapa, kemudian pemilik tanah ini hilang tanah garapan dan juga mereka akan kesulitan ekonomi, karena harga kebutuhan hidup sehari-hari telah melambung tinggi setelah hadirnya industri tambang tersebut." Jelas Aurum padaku
"Yang kedua, pendapatan negera berupa pajak dan non pajak yang diterima dari sektor pertambangan tak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh negara dan masyarakat. Kerugian berupa hutan-hutan yang gundul, akibat penerapan sistem surface mining (tambang terbuka), penggunaan B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang tidak ditangani dan diawasi secara professional oleh lembaga pengawasan dibidang terkait, kehilangan potensi air tanah, pencemaran sungai, pencemaran pesisir dan laut serta retaknya hubungan sosial atau konflik antara masyarakat dan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah serta masyarakat dan perusahaan. Jadi banyak deh, dampak negatif dari kehadiran industri ini", ucap Aurum sambil mengakhiri penjelasanya.
"Aurum, mau tahu pendapatku soal Industri tambangkah?" tanyaku pada Aurum
"Iya, gimana pandangannya terhadap industri pertambangan, Bang?", kata Aurum ingin tahu.
"Yang pertama. Bagiku bahan tambang itu adalah kekayaan yang diberikan oleh Allah, untuk dimanfaatkan secara benar untuk kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat. Jadi singkatnya bahan tambang itu harus dikelola atau dimanfaatkan. Tak boleh dibiarkan begitu saja. Kedua, Negara harus menjamin dan memastikan secara benar bahwa telah tersedia regulasi yang baik, yang harus digunakan sebagai standar dalam pengelolaan dan pengawasan kegiatan tersebut. Ketiga, negara harus memperkuat dan membekali aparaturnya agar secara professional melaksanakan pemantauan dan pengawasan terhadap seluruh regulasi ada, dan tak perlu segan-segan dan takut menjatuh sanksi yang sangat berat bagi pihak yang dengan sengaja melanggar". Itu pendapatku, Aurum.
"Iya, aku juga agak sepakat, jika dikelolah secara professional dengan mengutamakan kepentingan masyarakat, lingkungan dan negara". Ucapnya sambil tersenyum.
"Sungguh Aurum memiliki senyuman yang sangat menawan". Aku membatin, sambil menatap Aurum yang sedang tersenyum dihadapanku ini.
Â
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 18.15 menit WIB.
Banyak hal yang telah kami diskusikan, baik dari kursus menulis, riwayat pendidikan, dunia kerja dan lainnya. Aurum juga menceritakan prinsip-prinsip dan tipe laki-laki idolanya. Ternyata Aurum saat ini sudah berkepala tiga, usianya sudah tiga puluh enam tahun. Walau sudah berusia 36 tahun tersebut, tapi Aurum masih belum menemukan laki-laki yang tepat untuk diajak ke pelaminan.
"Bang kita balik ke Apartemen yuk!" Tawar Aurum. Lanjutnya "Sudah hampir waktu Shalat Magrib. Entar terlambat. Maklum waktu Magrib pendek".
Aku pun sepakat, untuk segera kembali ke apartemen. Aku segera berdiri dan menuju ke meja kasir untuk membayar harga minuman dan makanan kami tadi. Dan akhirnya kami berdua bergegas pulang ke Apartemen untuk Shalat Magrib. Setelah sampai di apartemen, kami berdua pun berpisah untuk kembali ke kamar masing-masing.
Ketika tiba dikamar, aku segera berwudhu dan shalat magrib. Setelah shalat Magrib, Amu sudah menyiapkan makan malam. Aku dan Amu langsung makan bersama.
"Kaka tadi pergi ke mana?" Tanya Amu.
"Ngopi sama teman!" Jawabku singkat.
"Teman cewek atau teman cowok?" tanya Amu dengan nada selidiki
"Ahh... kayak ahli introgasi saja eeh" tukasku sambal tertawa. "Pasti ceweklah" lanjutku dengan nada penuh gurau.