Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sarung Lusuh dan Kopiah Usang Doja Badollahi

19 April 2018   15:18 Diperbarui: 21 April 2018   05:53 3680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orangnya jenaka. Dalam usianya yang sudah menjelang 70 tahun itu, Ia masih terlihat cergas. Tugasnya sebagai doja di mesjid Baiturrahman Kindang dilakukan dengan cekatan. Bila masuk waktu azan, Ia akan bergegas memukul beduk yang tergantung di pojok Mesjid. Pukulannya khas. Seluruh penduduk kampung akan segera tahu, jika yang memukul beduk itu adalah doja Badollahi. Ya...! demikianlah namanya;  'Doja Badollahi'.  Doja adalah gelar untuk seorang marbut mesjid.

Seingatku, sebelum saya ke kota melanjutkan kuliah, Badollahi telah menjadi doja di mesjid Baiturrahman ini. Tetapi saat itu aku tidak pernah mengacuhkannya. Mungkin kala itu, Ia hanyalah orang biasa dan sangat terbiasa pula dicampakkan dari perhatian orang-orang, termasuk dari perhatian saya.  

Namun sejak saya kembali ke kampung ini bersama Ustaz Abu Jaropi, saya mulai sering mengamatinya. Mencerap tingkah polanya yang jenaka tapi sederhana. Menilik cara Ia memukul beduk, menyimak saat Ia azan dengan suaranya yang serak-serak parau atau mendengar Ia melantunkan syair i'tirafnya  Hasan bin Hani yang kita lebih kenal dengan nama Abu Nawas.

Tetapi ada satu hal yang paling membetot perhatian saya. Sarung dan kopiah yang dipakainya. Sarung warna biru tua sudah terlihat lusuh. Begitu pun kopiah yang senantiasa bertengger di kepalanya, usang dan warnanya telah berubah kekuning-kuningan. Jika sarung biru tua, sesekali diganti, maka kopiah usang kekuning-kuningan itu saban hari nemplok di kepalanya. 

Salat subuh; kopiah yang sama. Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya juga kopiah yang tak berbeda. Tempo-tempo dengan pasangannya, sarung biru tua. Bahkan dalam acara Maulidan, Idul Fitri dan perayaan keagamaan lainnya,  kopiah usang dengan pasangannya sarung biru tua yang lusuh, setia menemaninya.

Saya pikir doja Badollahi melakukan hal itu karena dia  tidak memiliki kopiah dan sarung lainnya. Maka di suatu senja yang mulai dipeluk dinginnya udara Kindang, saya bermaksud menemuinya. Biasanya senja begini, doja Badollahi sudah ada di mesjid. Tak lupa saya bawakan satu sarung baru dan juga kopiah. Kopiahnya tidak baru, tapi masih sangat layak pakai.  Saya mengambil kopiah  ayah yang hampir tidak pernah dipakainya. Ayahku sendiri langsung setuju begitu saya katakan bahwa kopiah itu untuk doja Badollahi.

Saya tiba di mesjid Baiturrahman saat doja Badollahi tengah menyapu halaman mesjid. Seperti biasa saat menyapu halaman seperti itu, mulutnya kerap menyenandungkan syair al-i'tiraf. Jika dia telah menyapu halaman mesjid, berarti bagian dalam mesjid itu pasti sudah asri berseri. Begitulah saya liat selama ini doja Badollahi dalam mengurusi mesjid Baiturrahman.

"Tata Badollahi..." Sapa saya begitu sampai di halaman mesjid itu. Tata adalah sapaan untuk seorang paman.

Mendengar ada yang memanggilnya, doja Badollahi spontan berhenti menyapu. Kepalanya berpaling ke arahku. Selarik senyum segera menghiasi pipinya yang dipenuhi kerut-merut. Matanya menyipit lucu.

"Eh..anak gagayya...." timpalnya dengan godaan khasnya, "anak yang gagah." Saya hanya tersenyum.

"Tata..." kataku melanjutkan percakapan sambil mengangkat sarung dan kopiah yang saya bawa. Doja Badollahi mengamati dua benda yang saya angkat itu.

"Ini ada sarung dan kopiah untuk tata." Saya melanjutkan ucapanku.

Senyum doja Badollahi semakin melebar. "Wah nak Rannu...merepotkan saja, tapi terima kasih banyak ya." Katanya.

"Ah...itu hanya kopiah dengan sarung tata...agar tata bisa ganti kopiah dan sarungnya." Ucapku sambil memegang pundaknya.

"Apa kata dunia, kalau melihat doja mesjid Baiturrahman Kindang, kopiah dan sarungnya sudah lusuh seperti ini. Kataku setengah bercanda sambil mengutip ucapan Dedy Mizwar dalam film Naga Bonarnya yang terkenal itu. Sambil berucap demikian tanganku meraih kopiah usang doja Badollahi, lalu aku ganti dengan kopiah yang saya bawa. Doja Badollahi hanya terkekeh-kekeh.

"Kita harus jaga marwah umat Islam tata, jangan sampai kita terlihat kumuh."

"Masa cuma lantaran  sarung dan kopiah ini  saya terlihat kumuh nak Rannu?" tanya doja Badollahi dengan tawanya yang belum habis.

Iya sih, selama ini doja Badollahi orangnya bersih, rapi dan cekatan. Karena dialah mesjid Baiturrahman meski sederhana, tetap terlihat bersih, asri dan apik. Pikirku sambil memandang sosoknya dan mesjid kami yang meski kecil tapi terawat dengan baik.

"Kalau saya lupa membersihkan mesjid dan halamannya, lalu rumah ibadah kita ini terlihat jorok, baru... apa kata dunia." Kata doja Badollahi, membuyarkan pikiranku. Tapi kata-katanya sekaligus membuatku tersenyum kecut. Saya sendiri dan kebanyakan warga, selama ini tidak pernah mengacuhkan soal kebersihan mesjid ini. Segalanya seakan menjadi tanggung jawab doja Badollahi dan kami tidak pernah pusing dengan itu.

Perbincangan kami akhirnya harus berakhir. Gelap sudah merangkak mendatangi kampung kami. Sebentar lagi magrib segera tiba.

***

Sumber: marimembaca.com
Sumber: marimembaca.com
Waktu magrib telah lampau. Salat  Isya baru usai.  Saya,  ustaz Abu Jaropi, Ayah dan beberapa tetua kampung, tinggal sebentar di mesjid. Kami tengah membicarakan beberapa orang dari kampung ini yang batal berumrah. Kabarnya mereka tertipu travel umrah yang memberi iming-iming harga murah. Salah seorang tetua kampung menjelaskan bahwa pemilik travel ini hidupnya kaya dan glamor,  punya mobil-mobil mewah segala, serta suka pelesiran keluar negeri.

Pada saat kami lagi berbincang, doja Badollahi yang tadi membereskan pengeras suara mesjid, mendekat. Saya mengamatinya dengan seksama, khususnya sarung dan kopiah yang dipakainya. Alangkah kagetnya, ketika saya amati, lagi-lagi songkok usang dan sarung lusuh itu lagi yang dikenakan oleh doja Badollahi.

Sambil menghela nafas, saya berucap. "Waduh...kenapa masih kopiah dan sarung itu yang tata gunakan, bukannya tadi saya telah beri yang baru?"

Doja Badollahi tidak menimpali, ia hanya tersenyum seperti biasa.

"Aku juga pernah beri songkok dan sarung kan tata?" Timpal salah seorang pengurus mesjid yang ikut duduk-duduk bersama kami.

"Wah...tata betul-betul menjatuhkan citra umat Islam ini," kataku setengah bercanda, tapi juga sedikit serius. "Pengurus-pengurus mesjid itu harus tampil meyakinkan tata, kalau perlu semuanya harus bermobil, agar tidak dipandang sebelah mata." Kataku lagi dengan bersemangat.

"Eh...iya....seperti itu ya...siapa tadi pemilik travel yang menipu jemaah itu? Bukankah dia punya koleksi mobil mewah dan suka pelesir ke luar negeri? Apakah orang yang seperti itu yang mengangkat citra Islam ya?" Tiba-tiba doja Badollahi nyeletuk dengan pertanyaan-pertanyaan tak terduga. Mendengar itu, sontak kami terdiam. Beberapa orang saling berpandangan. Melongo. Mau mengucapkan sesuatu, tapi tiba-tiba kami semua merasa kehabisan kata-kata.

Sekali lagi doja Badollahi membuatku tersenyum kecut. Tapi malam itu, bukan hanya saya, tetapi semua yang duduk bersama kami, saya lihat hanya bisa tertawa getir.

***

Sejak perbincangan di mesjid ba'da Isya itu, kami semua jadi penasaran dengan rahasia di balik kopiah kusam dan sarung lusuh doja Badollahi.

Pada suatu malam selepas magrib di masjid Baiturrahman, saya, ustaz Abu Jaropi, ayah, Pak Imam, Pak Dusun dan beberapa warga sedang duduk-duduk di masjid. Biasanya selepas magrib, sambil menunggu waktu isya, beberapa warga yang tinggal di masjid akan membaca Quran. Namun kali ini berbeda, kami justru duduk untuk mendengarkan cerita doja Badollahi soal kopiah usang dan sarung lusuhnya itu. Doja Badollahi sendiri yang berinisiatif untuk bercerita.

"Hal ini harus aku ceritakan pada bapak-bapak sekalian, sebab jika tidak,  aku khawatir kalian salah paham dengan sikapku selama ini." Begitu Baddolahi memulai ceritanya.

"Sikap yang mana tata? Selama ini, menurut kami, tata berperilaku sangat baik. Kalau tidak ada tata, siapa yang akan merawat dengan telaten masjid mungil kita ini." Kata pak Imam menimpali. Kami semua mengangguk membenarkan. 

"Perihal kebiasaan saya menggunakan kopiah usang dan sarung  lusuh ini." katanya sambil memegang kopiahnya yang sudah usang kekuningan itu.  Saat  berucap seperti itu, setitik air bening mengembang di pelupuk matanya.

Saya dan yang lainnya saling berpandangan, tapi tak seorang pun yang bersuara.  Ikhwal kopiah usang dan sarung lusuh itu telah lama menjadi misteri bagi kami. Yang membuat saya pribadi tercekat karena begitu tata Badollahi ingin menceritakan soal kopiah dan sarung itu, parasnya berubah menjadi muram. Tanpa sadar kami semua bergerak mendekat. Menunggu kalimat berikutnya dari doja Badollahi ini.

"Pak Imam dan pak Dusun mungkin tahu, bahwa saya datang ke kampung ini baru 20 tahun yang lalu. Saat itu saya  datang ke sini hanya berbekal satu tenteng tas berisi pakaian beserta kopiah, sarung dan juga ini...." Doja Badollahi mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Kemudian memperlihatkan pada kami.

'Sebuah Buku!' Tepatnya semacam buku diari yang sudah agak kusut. Kami memperhatikan buku diari itu dengan seksama.  "Karena kemurahan pak Imam, pak Dusun dan bapak-ibu semua, saya bisa hidup di sini, mendapat sepetak tanah dan sebuah rumah mungil." Doja Badollahi kembali berbicara dengan suara parau.

Pak Imam dan pak Dusun serta beberapa orang tua yang ikut berjejal di tempat itu hanya mengangguk-anggukkan kepala, tetap tak ada yang mengeluarkan suara.

"Satu hal yang mungkin mengecewakan bapak-ibu sekalian, saban hari saya hanya menggunakan kopiah usang dan sarung lusuh ini.    Padahal bapak-ibu telah berbuat baik memberikan kopiah dan sarung baru kepada saya."

Tidak ada yang bersuara. Kami hanya menatap doja Badollahi, menunggu kalimat-kalimat berikutnya yang akan keluar dari mulutnya. Maka dengan terbata-bata dan dengan suara serak, mengalirlah cerita doja Badollahi.

                                                                                                                                                              ***

ilustrasi: kolase (belitung.tribunnews.com)
ilustrasi: kolase (belitung.tribunnews.com)
Lelaki  itu melangkah sempoyongan mendekati pintu rumahnya. Sebuah batu menghadang langkahnya. Tanpa ampun tubuhnya yang sempoyongan terjerembap ke depan. Mukanya yang lebih dulu menyusur tanah yang berkerikil. Ia bangun tertatih, tanpa menghiraukan parasnya yang berkelukuran. Lelaki itu kembali melangkah sempoyongan mendekati pintu rumahnya. Belum lagi tangannya berhasil meraih gagang pintu, tubuhnya kembali terjerembap ke depan. Rupanya lelaki ini mabuk berat. Kesadarannya hilang timbul.

Kali ini akibat jatuhnya menimpa pintu rumah, maka terdengar bunyi berderak derak. Bunyi itu cukup keras. Dari dalam rumah terdengar derap kaki yang bergegas. Lelaki mabuk itu meski kesadarannya sudah hilang timbul, masih sempat mendengarnya.  Pintu rumah terpentang. Seorang perempuan berteriak lirih.

"Mas Rio...! Lalu lelaki mabuk itu merasa perempuan itu mendekapnya. Mengusap parasnya yang berkelukuran dengan lembut.

"Aduh gusti...mas Rio terluka". Kembali terdengar suara  perempuan itu. Lirih sekaligus sendu.  Dalam sinar lampu serambi yang temaram dan dalam keadaan kesadaran nyaris hilang, samar-samar Rio, lelaki yang mabuk ini melihat mata perempuan itu berembun. Dirasakannya dua tangan mendekapnya erat. Lalu ia pun terjatuh dalam kesadaran yang gelap.

Rio terbangun kala suara azan mengilik-ngilik telinganya. Awalnya dia mengira masih subuh, segera Rio akan menarik lagi selimutnya. Tapi cahaya menyilaukan tepat jatuh di matanya. "Sial perempuan celaka itu sengaja membuka gorden agar aku bangun lebih pagi." rutuknya. Namun setelah  matanya semakin terbiasa dan ia semakin cermat dengan keadaan sekelilingnya barulah ia sadar bahwa cahaya itu menyeruak dari lubang udara di kamarnya.

Rio melirik jam weker di meja. "Ah sudah jam setengah satu rupanya, tadi itu ternyata azan zuhur." Gumamnya sambil bangkit dari tempat tidur. Dilihatnya di atas meja itu ada segelas kopi susu dengan sepiring pisang goreng. Di sebelahnya tergeletak secarik kertas. Dengan malas ia meraihnya. "Aku keluar sebentar mas, mau belanja untuk keperluan dapur. Kita makan siang bersama ya...mas!" begitu pesan di kertas itu. Seakan tidak peduli Rio mencampakkan kertas itu begitu saja. Lalu ia mulai merasakan perih di wajahnya. Ia memandang ke kaca. Parasnya tampak berkelukuran di beberapa tempat. Tetapi luka-luka itu sudah dibersihkan dan diberi obat merah. Rio tahu yang melakukan semua itu pasti Lastri, perempuan sama yang datang mendekapnya semalam saat ia hilang kesadaran karena mabuk.

Lastri adalah istrinya. Dia pungut dari keremangan malam. Tapi dalam dasar hati yang paling dalam, Rio tidak ada maksud untuk menjadikannya istri yang sesungguhnya. Menikahinya hanyalah agar dia bisa hidup serumah dengan perempuan cantik itu. Menggumuli tubuhnya sekaligus menikmati hartanya. Menurut Rio, harta itu pasti diperoleh Lastri dari melacur.

Sejatinya Rio tahu, bahwa sejak menjadi istrinya. Lastri telah berusaha keras jadi istri yang baik. Melayaninya dengan sepenuh hati, memasang bajunya, memakaikan sepatunya, bahkan kadang harus terpontang-panting mencarikan rokok, jika ia sedang ingin merokok sementara rokoknya habis di kantong.

Setiap Rio datang paras Lastri selalu cerah. Senyumnya selalu membayang walau Rio datang sambil melempar sepatu dan membanting tasnya karena kesal. Bahkan Lastri pun akan menyambutnya dengan sepenuh hati walau Rio datang dalam keadaan mabuk. Seperti kejadian semalam.

Tapi Rio bergeming. Hatinya tetap beku. Di matanya Lastri hanyalah seorang pelacur. Tak lebih. Ia bisa mendapatkan di tempat yang lain jika ia mau. Dan satu hal...inilah yang paling sering membuatnya naik pitam...! Perlahan pandangan Rio merayap mengamati sekelilingnya. Begitu mata Rio jatuh  di lantai kamar itu, pandangannya membentur sehelai sajadah dengan kopiah hitam dan sarung biru tua. "Menyebalkan!" Rutuk Rio dalam hatinya.

Selalu begitu. Kadang kopiah hitam dan sarung biru itu diletakkan di meja sebelah tempat tidurnya. Begitu bangun,  dua barang yang selalu disebutnya "barang sialan" itulah yang jatuh dalam pandangannya. 

Kadang pula kopiah dan sarung biru itu terongok di atas meja tamu. Diletakkan sedemikian rupa, sehingga jika Rio membuka pintu, dua barang itu pulalah yang mula terpandang olehnya. Rio tahu pasti, Lastri yang melakukannya.

"Maumu apa meletakkan songkok dan sarung sialan ini? Kau ingin saya salat...hah...! Ingin aku tobat. Uruslah dirimu ! Kau tidak lebih baik dari saya. Melacur itu pekerjaan sampah, lebih tengik dari saya yang pemabuk ini." bentak Rio suatu saat dengan geram. Dibentak seperti itu Lastri hanya diam. Kepalanya tertunduk. Tapi tak satu pun kalimat keluar dari mulutnya. Kalau pun akhirnya Lastri bicara Ia hanya akan berucap "Kau benar, saya hanya pelacur. Tak lebih baik darimu, bahkan jauh lebih nista." 

Ada kalanya, kopiah dan sarung itu tidak diletakkan secara mencolok mata. Rio tahu, rupanya Lastri tidak ingin dianggap menyuruh-nyuruh Rio untuk salat.

Tapi akan jadi petaka bagi Lastri, jika Rio pulang setengah mabuk, lantas Ia menemukan kopiah dan sarung itu tergelatak di atas meja. Rio bisa tersinggung berat. Kopiah dan sarung bisa dilemparnya. Tangannya juga dengan ringan akan menampar Lastri. Jika begitu Lastri hanya bisa memandangnya dengan mata berembun. Satu dua kadang menetes membasahi pipinya. Tapi seperti biasa tak ada kata-kata. Lastri menangis tanpa suara. Ia hanya melangkah pelan, meraih kopiah dan sarung, meletakkan di dadanya, menciumnya perlahan lalu meletakkannya kembali dengan rapi.

Siang itu pun Rio setelah mandi, segera meluncur meninggalkan rumah itu. Tak hirau Ia akan pesan istrinya untuk makan bersama. Di luar,  dunia dengan segala pesonanya tengah menunggunya.  

Malam ketika Ia pulang, Rio melihat Lastri duduk di ruang tamu.  Menunggunya. Dan memang selalu begitu,Lastri selalu berusaha pulang lebih dahulu, menanti kedatangan Rio. 

Begitu Rio membuka pintu Lastri berdiri menyambutnya. Secercah riang memancar dari parasnya. Senyum manisnya muncul dengan tulus. Tapi Rio hanya melangkah dingin melewatinya. Tatapannya segera membentur kopiah dan sarung yang terongok di atas meja. Rio berbalik. Menatap tajam istrinya.

"Kau sendiri memangnya sudah salat, mengapa kau malah sibuk menyiapkan aku kopiah dan sarung itu segala." Ucap Rio ketus.

"Aku ingin kau jadi imamku, kita salat bersama mas." Timpal Lastri pelan.

"Ah...aku capek, aku ingin istirahat. Kau sendirilah dulu yang tobat! Tidak usah hiraukan orang lain." Bentak Rio. Lastri hanya mengangguk lemah dibentak seperti itu. Selebihnya Ia lebih banyak menunduk. Lalu masih dengan suara pelan Ia pun berkata.

"Kalau begitu mas Rio makan dulu! Aku temani."

Rio tidak berkata-kata. Ia melangkah panjang-panjang ke dapur. Dilihatnya makan malam memang masih utuh di atas meja. Tanpa berkata-kata Ia langsung duduk, dan mulai menyantap makanan bagai orang kesurupan. Perutnya memang lapar, dari siang ia belum makan. Pelan Lastri duduk di depannya. Kadang menyendokkan nasi jika dilihatnya telah habis di piring Rio. Sesekali Ia mengambilkannya lauk dan sayur. Tapi Rio tak hirau, ia makan bagai tak ada orang di depannya. Bagi Lastri itu tak penting. Rio menganggap Ia hadir atau tidak di meja makan itu bukan persoalan baginya. Cukuplah baginya jika Rio malam itu makan dengan lahap dan Ia bisa melayaninya.

Suatu siang Rio pulang ke rumahnya. Itu hal yang tidak lumrah. Biasanya Ia pulang larut malam dan paling sering dalam keadaan mabuk. Siang itu entah mengapa Ia ingin segera balik ke rumahnya. Pikirnya,  Ia ingin istirahat siang itu dan malamnya bisa kelayapan sampai larut.

Langkahnya tertahan di depan pintu. Tangannya yang sejengkal lagi meraih gagang pintu terhenti seketika. Dari dalam, di dengarnya tiga orang perempuan bercakap-cakap. Satunya dia kenal baik suaranya, itu pasti Lastri. Satunya lagi samar-samar dia kenal, namun suara terakhir rasanya tidak pernah Rio dengar sebelumnya.

"Kau memang luar biasa Lastri, bertahan menghadapi suamimu yang kasar itu." Ucap salah seorang dari dua perempuan selain Lastri itu. Suara ini rasanya dikenal oleh Rio. "Ah...bukankah Ia germo tempat pelacuran di mana Lastri biasanya berada." Gumam Rio.

"Suamiku orang baik tante...dia baik..., mana ada orang yang mau memungut perempuan sampah sepertiku."

"Ah...tapi hampir setiap hari dia berbuat kasar kan? Ibu tahu walau engkau tidak pernah cerita apa-apa. Bukankah kadang-kadang kau datang ke tempat kerja dengan muka biru-lebam?" Kata ibu germo itu lagi. Mendengar ucapan ibu Germo itu, Rio geram. "Perempuan keparat itu banyak bicara." Gumamnya. 

"Tidak...bu...tidak...! Suamiku orang baik. Sikapnya mungkin terkadang kasar, tapi itu karena memang Ia berasal dari dunia yang keras. Rio tak ada bedanya denganku, bahkan aku lebih buruk,  menghadiahkan  tubuhku untuk lelaki mana saja yang mau memberiku duit.  Aku tahu, dalam sanubarinya yang terdalam ada kelembutan seorang lelaki. Ada waktunya ia akan mendapatkan kembali kelembutannya itu." Ucap Lastri. Suaranya terdengar pelan dan bergetar. Rio bisa membayangkan saat suaranya seperti itu biasanya mata Lastri akan berembun. Tanpa sadar Rio menarik nafas dalam-dalam. Sesuatu seperti mengentak-entak dari dasar batinnya, "Ia membelaku..."

"Lastri, saya juga bukan orang baik-baik, tapi aku tahu engkau perempuan baik. Pekerjaan melacur selama ini kau lakukan dengan terpaksa. Orang tuamu yang sakit menahun yang harus engkau biayai terus-menerus, adik-adikmu yang engkau sekolahkan tinggi-tinggi dan sekarang si Rio itu yang kau hidupi agar dia bisa hidup bersenang-senang. Itulah yang memaksamu menjual tubuhmu kan ? Aku tahu! Tahu semua Lastri! Ucap tante Germo itu hampir berteriak. Dia terdengar sangat emosional.

Tak ada ucapan dari Lastri.

"Tiap hari kau meratapi pekerjaanmu ini. Setiap kau selesai melacurkan dirimu, aku lihat tatapan matamu hancur. Hatimu terbanting pecah." Kata Tante Germo itu lagi.

"Kau betul tante...betul...hati  saya memang hancur, perasaan saya remuk berkeping-keping. Tapi perasaan saya terasa utuh lagi kalau saya sudah bertemu Rio.  Hati saya yang telah remuk, terasa damai kembali jika saya telah bersua Rio. Dialah yang bisa menghidupkan perasaanku. Riolah cahaya yang menghangatkan batinku yang lara." Kata Lastri, suaranya semakin menurun dan serak. Rio tahu saat seperti itu, embun di mata Lastri telah berubah menjadi bulir-bulir air. Lastri pasti tengah menangis. 

"Lastri....!" Kali ini yang terdengar suara perempuan yang lain. Suara yang tidak dikenal oleh Rio. Mendengar perempuan itu akan bicara, Rio menyimaknya baik-baik.

"Kau tidak pernah menyampaikan pada suamimu nak...bahwa keberadaan  Riolah yang mendorongmu kini sedang berjalan menuju kasih Allah...Kau tengah merangkak pelan, walau tertatih-tatih untuk meraih pintu tobat?" Satu suara yang agak serak tapi lembut bertanya.

"Tidak bu ustazah..., biarlah Ia mengenalku sebagai perempuan yang dia kenal dulu. Lagi pula apa bedanya diriku yang sekarang dengan yang dulu? Aku memang berusaha berjalan menuju cahaya Tuhan, tapi toh aku masih tetap terjerembap lagi... dan lagi ke jurang durjana. Saya tidak berani menjamin bahwa hidupku saat ini lebih suci dari waktu aku pertama kenal dengan Rio." Terdengar Lastri menjawab. Suara  seraknya kini diiringi isak pelan. Rio yang mendengarnya dari luar merasakan hatinya seperti diremas-remas.

"Tapi kau sudah berusaha anakku. Jalan menuju kebenaran memanglah tidak mulus. Terjal dan rumpil. Tapi percayalah usahamu telah dicatat oleh Tuhan. 

Lalu Rio kembali mendengar Lastri berkata.

"Aku hanya punya satu impian. Impian terbesarku saat ini. Semoga kelak di suatu hari, Rio berdiri di depanku, mengenakan kopiah dan sarung yang sudah lama saya siapkan. Menjadi imam dalam salatku."  

Rio tegak terdiam dicengkam berbagai rasa. Tubuhnya semakin bergetar. Ucapan-ucapan Lastri membuat hatinya yang sudah sekian lama mengeras seakan meleleh, kepingan demi kepingan. Rio menatap ke arah langit. Ia merasakan matanya menjadi hangat. Rio mengatupkan rahangnya kuat-kuat. "Ah kenapa aku jadi cengeng?"

Namun tanggul ketegarannya betul-betul runtuh, ketika ibu yang bersuara lembut dan serak itu melanjutkan pertanyaannya.

"Engkau pun belum memberitahu suamimu, bahwa saat ini kau sedang mengandung calon buah hati kalian berdua?" 

Rio tak mendengarkan lagi jawaban Lastri istrinya. Hatinya betul-betul seperti diremas. Ia tak tahan berdiri berlama-lama di tempat itu. Air matanya betul-betul runtuh. Rio tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Namun justru karena tergesa-gesa itulah, kakinya menyambar pot bunga di dekatnya. Jatuh, pecah berserakan. Suaranya mengagetkan tiga perempuan yang sedang berbincang di ruang tamu. Lastri buru-buru melangkah keluar. Dilihatnya Rio melangkah cepat meninggalkan halaman itu.

"Rio...!" Teriak Lastri.

Tapi Rio tidak berpaling. Matanya sedang sembab dipenuhi air. Ia malu saat itu untuk menampakkan parasnya di hadapan Lastri.

"Sebentar Lastri...! Sebentar.... aku akan kembali kepadamu. Mendekapmu seerat-eratnya, tapi belum saat ini. Aku tidak siap saat ini, hatiku masih terlalu kerdil untuk berhadapan denganmu."  Tapi kalimat itu hanya berdentam-dentam dalam hatinya.

Rio tetap berjalan terus. Tak pernah berpaling. Ia terus melangkah, lalu naik ke ojek.

Lastri terus mengejarnya. Lupa bahwa Rio sudah berkendaraan. Bahkan juga lupa bahwa Ia berlari tanpa alas kaki.  Lastri terus berlari mengejarnya. Dan Rio tidak juga pernah berpaling. Ia semakin menjauh.

Ah....andai sekali saja engkau berbalik Rio! Mungkin tidak akan terjadi hal yang paling memilukan ini dalam hidupmu. Tapi begitulah rumus jagat raya.  Tidak semua berjalan sesuai kehendak kita. Suratan Tuhan itu jualah yang terjadi. Ibarat kata; 'Lain diniat lain ditakdir, lain diacah lain yang jadi'.

***

ilustrasi. (sewarga.com)
ilustrasi. (sewarga.com)
Setelah gelap mulai memeluk suasana. Rio pun pulang ke rumahnya. Dia merasa telah punya cukup keberanian berjumpa dengan Lastri. Ia berjanji akan mencoba hidup lebih dekat dengan istrinya yang mencintainya dengan segenap jiwa.

Tetapi manakala ia menginjakkan kaki di halaman rumahnya. Seorang tetangganya bergegas mendatanginya. Begitu sampai di hadapan Rio, tetangganya dengan wajah tegang menyampaikan kabar yang membuat Rio seakan tertimpa langit yang rutuh. Lastri tertabrak mobil saat berbalik dari mengejar Rio yang sudah jauh meninggalkannya. Kini Lastri sudah ada di rumah sakit.

Beberapa detik Rio hanya berdiri lunglai. Tulang di tubuhnya seperti dilolosi satu-satu. Sampai tetangganya kembali bicara.

 "Pak Rio sekarang harus ke rumah sakit Wahidin! Keadaan Lastri saya liat agak parah".

Rio tidak bicara. Ia hanya mengangguk pelan.  Lalu setengah berlari Ia mencari ojek.

Rio sampai di ICU tepat saat tangan Lastri dilipat dengan pelan di atas perutnya oleh dokter yang ada di situ. Samar-samar Ia mendengar suara dokter itu berucap. "Ia telah kembali menghadap Tuhannya"

Dilihatnya tante germo menangis sesenggukan. ibu tua yang tadi dipanggil ustazah matanya juga berkaca kaca, lalu pelan jatuh satu persatu menyentuh pipinya.  Ia menangis tanpa suara. Beberapa ibu-ibu yang dikenalnya sebagai tetangganya sibuk menyeka air matanya. Beberapa lelaki yang ada di ruangan itu menunduk, terpekur.

Rio segera mengenali aroma kematian yang menyeruak di ruangan itu. Ia pun tahu aroma itu mengelumuni Lastri, istrinya. Ia datang terlambat. Lastri telah tiada.

Selama ini Rio kerap berjumpa dengan kematian. Temannya yang oper dosis karena obat, yang tewas karena perkelahian, yang mati karena sakit lever akibat minuman keras, adalah pemandangan lazim baginya. Kematian bagi Rio ibarat tamu yang datang dan pergi hampir tiap hari. Karena itu aroma kematian hal yang lumrah baginya. Namun kali ini sangat berbeda. Yang meninggal adalah Lastri istrinya. Orang yang cintanya Ia sia-siakan. Tatkala kesadaran akan cinta istrinya yang begitu tulus menyentuh hatinya,  semuanya telah terlambat.

Untuk pertama kalinya satu peristiwa kematian terasa menusuk jantungnya hingga berdarah. Ia berdiri dengan tubuh limbung. Pandangannya nanar. Jika saat mendengar berita Lastri kecelakaan,  tulang tulangnya serasa dilolosi satu-satu. Maka saat ini tubuhnya terasa tidak berpijak di bumi. Dengan susah payah diseretnya tubuhnya mendekati ranjang, tempat jasad Lastri kini terbaring kaku. Pandangan matanya segera tertumbuk pada kopiah hitam dan sarung biru yang tergeletak di atas dada Lastri.

Badan Rio semakin gemetar. Perlahan tangannya yang bergetar itu mengelus lembut paras Lastri.

"Istriku...!" Hanya itu yang sanggup diucapkannya. Selanjutnya hanya  air mata kepedihan mengalir di pipinya.

Beberapa saat tangan Rio bergerak perlahan meraih kopiah dan sarung tersebut. Meletakkan di dadanya, menciumnya dengan sepenuh hatinya. Dadanya terasa sesak oleh kepedihan yang mengimpit.

"Kopiah dan sarung itu digenggamnya sampai nafas terakhirnya. Begitu berharga dua barang itu bagi perempuan ini." terdengar suara lirih dari  dokter yang tadi melipat tangan Lastri di atas perutnya.

Ibu ustazah yang telah berusia lanjut itu mendatangi Rio. Memegang pundaknya.

"Rio...! Istrimu Insyaallah meninggal dalam keadaan Husnul khatimah. Tadi Ia selalu menanyakanmu. Ingin sekali Ia engkau imami dalam salat. Namun karena kau belum datang, akhirnya Ia tadi salat magrib bersamaku, aku yang jadi imamnya. Tapi ada pesannya untukmu. Lastri bilang begini; 'Bukan takdirku untuk diimami oleh mas Rio, tapi aku yakin suatu saat ia akan jadi imam dalam salat'." Ibu ustazah diam sesaat. Ketika menyampaikan pesan Lastri, susah payah Ia menahan tangisnya yang akan pecah. Setelah menarik nafas, berusaha mengatur perasaannya, ibu ustazah melanjutkan kalimatnya.

"Rio!  Mungkin istrimu berharap engkau mulai menapaki jalan kebenaran. Percayalah! Dosa sedalam samudera, bahkan yang seluas jagat raya sekalipun masih terlalu kecil dibanding pengampunan dari Allah. Kiranya Allah tengah menyentuhmu dengan hidayahNya dan pintu tobatnya Ia buka melalui cinta Lastri, istrimu, orang yang selama ini kau anggap pelacur."

Rio berbalik menatapnya dengan mata yang luka. Ustazah tua itu balas menatapnya dengan mata berkaca kaca. Rio tersungkur. Tobat memancar dari batinnya tanpa kata-kata.

***

Rio membuka kembali lembar demi lembar catatan dalam buku diari Lastri. Buku itu Rio temukan saat mengambil beberapa barang-barang miliknya. Rumah itu, beserta tanahnya sudah diberikan pada keluarga Lastri. Namun orang tua dan saudara-saudara Lastri sendiri mewakafkannya untuk panti asuhan.

Rio membuka lembar pertama dari buku diari itu,

1 Februari 1990

Aku telah berjumpa seribu wajah, selaksa bibir  dan segudang cinta gombal. Tapi tak ada yang sepanas cintamu . Membakarku sampai sukma terdalam.

Rio tersenyum membacanya. Kenangan perjumpaan pertamanya dengan Lastri menari-nari di pelupuk matanya. Rio membuka lembar kedua

15 Juni 1990

Cintamu mengenalkan cahaya

Lalu bagaimana aku harus mengumbar kata marah?

Kasihmu mengangkatku dari jurang durjana...bagaimana mungkin aku meninggalkanmu merana.

Rio menarik nafas pelan. Ia beralih menatap foto Lastri yang juga ada dalam diari itu. Lalu Ia melanjutkan membuka lembar selanjutnya.

21 Agustus 1990

Aku Bukan siapa-siapa untuk mengajakmu menyongsong cahaya. Tapi Tuhan Maha pemurah, cahaya kasihnya menjangkau luas walau manusia berada di jurang nista paling kelam.

Lembar berikutnya

25 Oktober 1990

Benar katamu aku hanya seorang pelacur yang sekujur tubuhnya adalah nista, semesta pikirannya hanyalah mesum.

Jika engkau mengukur gunung maka tingginya tak seberapa di banding dosaku. Bila kamu mampu menghitung pasir di pantai, jumlahnya tak sebanding dengan maksiatku saban hari.

Rio merasakan matanya memanas. Ia mengingat ucapannya pada Lastri setiap Ia marah. Mencacinya sebagai pelacur. "Ah aku menyia-nyiakan orang yang mencintaiku sepenuh hati." Gumamnya pelan.

Perlahan Ia membuka lembar selanjutnya:

10 Desember 1990

Berjalan menuju cahaya kadang penuh onak dan duri. Jalan rumpil dan mendaki. Bukan perkara mudah, apalagi golongan manusia sebangsa engkau dan aku.

Aku hanya berharap, kini atau kelak di suatu masa. Jika cahaya menghampirimu rangkullah sepenuh jiwamu. Jadilah hamba, sejatinya hamba. Abdullah begitu kata orang pintar.

"Abdullah...., jadilah Abdullah...." bergetar bibir Rio mengucapkan itu. Dipandangnya sekali lagi kalimat itu. "Aku harus kembali menjadi hamba Allah, mesti menjadi Abdullah." Bisiknya lagi. Lalu Rio membuka lembar terakhir.

25 Desember 1990

Aku pernah mendengar syair dinyanyikan ustaz ternama, buah karya pujangga tersohor, Abu Nawas namanya. Syair ini paling kusuka, meresap di sukma paling terdalam. Namanya Al-i'tiraf. Sebuah pengakuan akan dosa. Kelak aku berharap, selain menyucikan Allah dan shalawat pada nabinya, syair ini menggantung di bibirmu. Begini syairnya:

"Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa 'alaa naaril jahiimi.

Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil 'azhiimi.

Dzunuubii mitslu a'daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali.

Wa 'umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali.

Ilaahii 'abdukal 'aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da'aaka

Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka"

"(Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim.

Maka berilah aku ampunan dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun atas dosa yang besar.)

Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku pengampunan wahai Tuhanku yang memiliki keagungan.

Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya.

Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu.

Maka jika engkau mengampuni, maka memang Engkaulah yang berhak mengampuni, Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?)"

Rio mengulang-ulang syair itu beberapa kali. Tanpa sadar matanya yang sebelumnya telah menghangat kini semakin sembab. Bulir-bulir air mata berjatuhan menyentuh sarung biru tua yang dipakainya. Sarung titipan dari Lastri.

***

Hari itu Rio meninggalkan kota tersebut. Berjalan menuju selatan. 4 jam Ia mengendarai mobil.  Tibalah Ia di sebuah kota kecil. Bertanyalah Rio di mana ada desa yang masih sejuk dan berada di bawah kaki gunung. Orang-orang menunjuk ke barat. Desa Kindang.

Ketika pertama kali kakinya menjejak di tanah Kindang, rumah pertama yang dituju adalah kepala dusun. Menceritakan segala tujuannya. Ia ingin mengurus mesjid. Apa saja.  Membersihkan mesjid, memukul beduk, azan dan kerjaan apa saja yang penting Ia diberi kesempatan mengurus mesjid. Pak Dusun tentu saja gembira, dipanggilnya pak Imam dan tokoh-tokoh masyarakat.  Mereka sepakat Rio diterima dengan senang hati untuk mengurusi mesjid.

"Namanya siapa pak?" Tanya pak imam

Untuk sesaat Rio tercenung, ia ingat tulisan di diari Lastri. "Jadilah engkau hamba Allah, Abdullah!" Rio mengangkat mukanya.

"Namaku Abdullah....pak." Ucapnya pasti.

Beberapa orang berucap. "Oh....Badollahi...!"

Belakangan Rio baru tahu istilah Badollahi itu adalah cara orang kampung ini melokalkan nama yang berbahasa Arab. Abdullah diganti menjadi Badollahi. Rio tak pernah mempermasalahkannya. Nama itu rasanya juga bersahaja.

***

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Ketika doja Badollahi menyelesaikan ceritanya. Tak ada satu pun yang mengeluarkan suara. Doja Badollahi mendekap diari itu di dadanya. Matanya yang sedari tadi berkaca-kaca menyiratkan lara yang mendalam.  

Semua masih dicengkau pesona dari cerita doja Badollahi. Saya dan Ustaz Abu Jaropi saling berpandangan. Kami semua tidak menyangka doja Badollahi punya riwayat yang luar biasa. Doja Badollahi yang tidak pernah alpa ke mesjid itu, bahkan dalam hujan badai sekali pun ternyata adalah seorang yang pernah hidup dalam dunia kelam. Dia adalah Rio, bromocorah yang suka mabuk-mabukan,  beristrikan seorang pelacur. Tapi siapa sangka istrinya di akhir hidupnya meninggal dalam damai. Siapa yang mengira  pula, si Rio itu sekarang telah berubah menjadi Badollahi, orang yang dalam pandanganku, salah satu yang paling saleh di kampung ini. Ia pun seperti itu, karena cinta istrinya.

"Ternyata Rahmat Allah diturunkan pada siapa pun yang dikehendakinya, tidak peduli Ia pendosa atau orang baik. Tak ada yang pernah tahu akhir dari kehidupan kita. Hari ini kita saleh, siapa yang tahu esok kita tidak akan jadi bajingan. Siapa yang mengira yang punya travel itu kelak akan menipu umat, bukankah sebelumnya Ia dikenal orang yang rajin ibadah? Siapa pula yang sangka, Rio akan menjadi Badollahi seperti yang kita kenal sekarang ini?" Akhirnya Ustaz Abu Jaropi yang pertama mengeluarkan suara.  Ucapannya memecah kesunyian.

"Benar ustaz, sambung pak Imam. "Saya merasa semakin kecil dan tidak punya amal apa-apa. Sepertinya kita tidak boleh merasa paling saleh dan paling ahli ibadah. Kasih sayang Tuhalah yang menentukan semuanya"

"Ya...! Walau tentu saja,  kita juga tidak boleh membiarkan diri kita terjerumus dosa terus-menerus karena merasa semua sudah ditentukan Allah. Kita tetap berusaha menjadi orang baik, selanjutnya kita serahkan pada hidayah dari Allah." Sambung Ustaz Jaropi. Setelah berkata demikian Ustaz Jaropi berbalik kepadaku.

"Semakin banyak pelajaran berharga yang aku dapatkan dari kampung ini." Bisik Abu Jaropi padaku. Saya tergeremap, soalnya saat itu saya lagi memperhatikan doja Badollahi. Abu Jaropi juga mengikuti arah pandangan saya. Kemudian bergeser mendekati doja Badollahi. Beberapa yang lain juga mendekat.

Doja Badollahi masih menunduk dalam. Matanya yang kini  terlihat muram itu jatuh ke lantai. Ia seperti tak menyadari bahwa kami ada di sekitarnya. Seperti berbicara pada dirinya sendiri Ia berucap. 

"Rupanya harapan Lastri agar kelak aku menjadi imam salat takkan pernah kesampaian. Oh...Lastri mungkin engkau tak paham, bagaimana pun diriku saat ini, aku tak pernah pantas jadi imam."

Kami semua tersentak mendengar ucapan doja Badollahi. Untuk sesaat kami saling berpandangan. Pak Imam melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. Pukul 19.30. Ia memberiku isyarat. Saya mengerti.  Bergegas saya memukul beduk tanda masuknya waktu isya. Begitu selesai aku memukul beduk, beberapa orang terlihat keluar dari masjid untuk berwudu. Sementara Ustaz Abu Jaropi segera mengumandangkan azan. 

Doja Badollahi seakan baru tersadar. Bergegas Ia bangkit dari duduknya kemudian berjalan keluar untuk mengambil air wudu.

Tak berapa lama iqamat dikumandangkan oleh ustaz Abu Jaropi. Aku berada di saf depan bersama Pak Imam dan ayahku, sementara Doja Badollahi ada di saf yang kedua. Begitu iqamat berakhir, pak imam menoleh ke belakang.

"Tata...Anda sekarang yang jadi imam" Kata Pak Imam ke doja Badollahi yang tepat ada di belakangnya. Mendengar perkataan pak Imam, doja Badollahi terperengah. Ia memandang nanap ke pak imam, ke ustaz Jaropi yang juga merentangkan tangannya mempersilahkan doja Badollahi untuk jadi imam dan juga kepadaku.  Berganti-ganti. Setelah hilang rasa kejutnya, doja Badollahi buru-buru menggelengkan kepala, sembari mundur setindak.

"Aku tak pantas." Katanya

"Kata siapa tata tak pantas, tata sangat pantas jadi imam." Kata ayahku sareh.

"Kalau tata tak mau jadi imam,  salat berjamaah  terancam tidak jadi ..., nanti apa kata dunia...." Timpalku sedikit bercanda. Namun setelahnya segera kudekati, berbisik kepadanya, "Tapi yang lebih penting lagi, kalau tata tak mau jadi imam, nanti apa kata Lastri?"

Mendengar itu mata doja Badollahi berkerjap. Selintas mata itu nampak bersinar.

"Dengan izin-Mu ya...Allah." Ucapnya. Perlahan doja Badollahi membenahi letak sarung biru tua yang lusuh itu. Melepas kopiah usangnya beberapa detik, untuk kemudian meletakkan di atas kepalanya, dengan posisi yang terbaik menurut perasaannya.  Setelahnya doja Badollahi pun melangkah ke depan.

Maka demikianlah, salat isya kali ini, kami diimami oleh doja Badollahi. Suaranya yang parau terasa menggetarkan malam yang dingin. Saat membaca surah Al-nas pada rakaat kedua, suara doja Badollahi tidak hanya parau, tetapi juga terasa menyayat-nyayat kalbu. Ia menangis tersedu-sedu dalam salatnya. Hatiku juga terasa berdesir hebat. Entah mengapa aku juga tenggelam dalam rasa pilu. Suara doja Badollahi, bukanlah suara merdu, tapi rasanya ayat-ayat itu ia bacakan dari relung hatinya yang paling dalam.

Ketika semua telah usai memberi salam, hampir semua jamaah mengusap matanya. Mereka ikut larut dalam salat yang pilu. Saya tak berani mengatakan khusyuk, biarlah Allah yang menilainya sendiri. Tetapi yang pasti hati kami terasa basah semua.

Jika kami masih menyadari rasa pilu yang menyergap batin, doja Badollahi seperti lupa diri. Setelah salam, Ia berzikir. Tahlil, tasbih, tahmid dan takbir menggeletar keluar dari mulutnya. Serentak kami pun ikut serta. Dan tiba-tiba..! Ketika takbir usai dilantunkan , doja Badollahi melantunkan syair al-i'tiraf Syair pengakuan atas dosa-dosa. Tidak lazim dizikirkan dalam salat, tapi kini dilakukan oleh doja Badollahi.

Saya melirik ustaz Abu Jaropi beberapa jenak. Tapi Ia pun larut melantunkan syair Al-i'tiraf itu. Saya pun kemudian tenggelam dalam keharuan pengakuan dosa tersebut. Segenap yang ada larut. Bumi hening, langit seolah terpekur, pepohonan terdiam, udara membeku, dan semua makhluk Allah tegak terpaku. Nun sarwa sadar, mereka tak lain adalah hamba yang penuh dosa. Jika bukan kemurahan Sang Pencipta, maka apalah jadinya para hamba tersebut.  Dalam malam yang menggigil dengan gelap yang mencekam, udara desa Kindang itu bergetar oleh pengakuan dosa para hamba Allah.   

"Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa 'alaa naaril jahiimi

Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil 'azhiimi

 Dzunuubii mitslu a'daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali

Wa 'umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali

 Ilaahii 'abdukal 'aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da'aaka

Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka"

wallahu a'lam bissawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun