Langkahnya tertahan di depan pintu. Tangannya yang sejengkal lagi meraih gagang pintu terhenti seketika. Dari dalam, di dengarnya tiga orang perempuan bercakap-cakap. Satunya dia kenal baik suaranya, itu pasti Lastri. Satunya lagi samar-samar dia kenal, namun suara terakhir rasanya tidak pernah Rio dengar sebelumnya.
"Kau memang luar biasa Lastri, bertahan menghadapi suamimu yang kasar itu." Ucap salah seorang dari dua perempuan selain Lastri itu. Suara ini rasanya dikenal oleh Rio. "Ah...bukankah Ia germo tempat pelacuran di mana Lastri biasanya berada." Gumam Rio.
"Suamiku orang baik tante...dia baik..., mana ada orang yang mau memungut perempuan sampah sepertiku."
"Ah...tapi hampir setiap hari dia berbuat kasar kan? Ibu tahu walau engkau tidak pernah cerita apa-apa. Bukankah kadang-kadang kau datang ke tempat kerja dengan muka biru-lebam?" Kata ibu germo itu lagi. Mendengar ucapan ibu Germo itu, Rio geram. "Perempuan keparat itu banyak bicara." Gumamnya.Â
"Tidak...bu...tidak...! Suamiku orang baik. Sikapnya mungkin terkadang kasar, tapi itu karena memang Ia berasal dari dunia yang keras. Rio tak ada bedanya denganku, bahkan aku lebih buruk,  menghadiahkan  tubuhku untuk lelaki mana saja yang mau memberiku duit.  Aku tahu, dalam sanubarinya yang terdalam ada kelembutan seorang lelaki. Ada waktunya ia akan mendapatkan kembali kelembutannya itu." Ucap Lastri. Suaranya terdengar pelan dan bergetar. Rio bisa membayangkan saat suaranya seperti itu biasanya mata Lastri akan berembun. Tanpa sadar Rio menarik nafas dalam-dalam. Sesuatu seperti mengentak-entak dari dasar batinnya, "Ia membelaku..."
"Lastri, saya juga bukan orang baik-baik, tapi aku tahu engkau perempuan baik. Pekerjaan melacur selama ini kau lakukan dengan terpaksa. Orang tuamu yang sakit menahun yang harus engkau biayai terus-menerus, adik-adikmu yang engkau sekolahkan tinggi-tinggi dan sekarang si Rio itu yang kau hidupi agar dia bisa hidup bersenang-senang. Itulah yang memaksamu menjual tubuhmu kan ? Aku tahu! Tahu semua Lastri! Ucap tante Germo itu hampir berteriak. Dia terdengar sangat emosional.
Tak ada ucapan dari Lastri.
"Tiap hari kau meratapi pekerjaanmu ini. Setiap kau selesai melacurkan dirimu, aku lihat tatapan matamu hancur. Hatimu terbanting pecah." Kata Tante Germo itu lagi.
"Kau betul tante...betul...hati  saya memang hancur, perasaan saya remuk berkeping-keping. Tapi perasaan saya terasa utuh lagi kalau saya sudah bertemu Rio.  Hati saya yang telah remuk, terasa damai kembali jika saya telah bersua Rio. Dialah yang bisa menghidupkan perasaanku. Riolah cahaya yang menghangatkan batinku yang lara." Kata Lastri, suaranya semakin menurun dan serak. Rio tahu saat seperti itu, embun di mata Lastri telah berubah menjadi bulir-bulir air. Lastri pasti tengah menangis.Â
"Lastri....!" Kali ini yang terdengar suara perempuan yang lain. Suara yang tidak dikenal oleh Rio. Mendengar perempuan itu akan bicara, Rio menyimaknya baik-baik.
"Kau tidak pernah menyampaikan pada suamimu nak...bahwa keberadaan  Riolah yang mendorongmu kini sedang berjalan menuju kasih Allah...Kau tengah merangkak pelan, walau tertatih-tatih untuk meraih pintu tobat?" Satu suara yang agak serak tapi lembut bertanya.