"Ini ada sarung dan kopiah untuk tata." Saya melanjutkan ucapanku.
Senyum doja Badollahi semakin melebar. "Wah nak Rannu...merepotkan saja, tapi terima kasih banyak ya." Katanya.
"Ah...itu hanya kopiah dengan sarung tata...agar tata bisa ganti kopiah dan sarungnya." Ucapku sambil memegang pundaknya.
"Apa kata dunia, kalau melihat doja mesjid Baiturrahman Kindang, kopiah dan sarungnya sudah lusuh seperti ini. Kataku setengah bercanda sambil mengutip ucapan Dedy Mizwar dalam film Naga Bonarnya yang terkenal itu. Sambil berucap demikian tanganku meraih kopiah usang doja Badollahi, lalu aku ganti dengan kopiah yang saya bawa. Doja Badollahi hanya terkekeh-kekeh.
"Kita harus jaga marwah umat Islam tata, jangan sampai kita terlihat kumuh."
"Masa cuma lantaran  sarung dan kopiah ini  saya terlihat kumuh nak Rannu?" tanya doja Badollahi dengan tawanya yang belum habis.
Iya sih, selama ini doja Badollahi orangnya bersih, rapi dan cekatan. Karena dialah mesjid Baiturrahman meski sederhana, tetap terlihat bersih, asri dan apik. Pikirku sambil memandang sosoknya dan mesjid kami yang meski kecil tapi terawat dengan baik.
"Kalau saya lupa membersihkan mesjid dan halamannya, lalu rumah ibadah kita ini terlihat jorok, baru... apa kata dunia." Kata doja Badollahi, membuyarkan pikiranku. Tapi kata-katanya sekaligus membuatku tersenyum kecut. Saya sendiri dan kebanyakan warga, selama ini tidak pernah mengacuhkan soal kebersihan mesjid ini. Segalanya seakan menjadi tanggung jawab doja Badollahi dan kami tidak pernah pusing dengan itu.
Perbincangan kami akhirnya harus berakhir. Gelap sudah merangkak mendatangi kampung kami. Sebentar lagi magrib segera tiba.
***