Ada kalanya, kopiah dan sarung itu tidak diletakkan secara mencolok mata. Rio tahu, rupanya Lastri tidak ingin dianggap menyuruh-nyuruh Rio untuk salat.
Tapi akan jadi petaka bagi Lastri, jika Rio pulang setengah mabuk, lantas Ia menemukan kopiah dan sarung itu tergelatak di atas meja. Rio bisa tersinggung berat. Kopiah dan sarung bisa dilemparnya. Tangannya juga dengan ringan akan menampar Lastri. Jika begitu Lastri hanya bisa memandangnya dengan mata berembun. Satu dua kadang menetes membasahi pipinya. Tapi seperti biasa tak ada kata-kata. Lastri menangis tanpa suara. Ia hanya melangkah pelan, meraih kopiah dan sarung, meletakkan di dadanya, menciumnya perlahan lalu meletakkannya kembali dengan rapi.
Siang itu pun Rio setelah mandi, segera meluncur meninggalkan rumah itu. Tak hirau Ia akan pesan istrinya untuk makan bersama. Di luar, Â dunia dengan segala pesonanya tengah menunggunya. Â
Malam ketika Ia pulang, Rio melihat Lastri duduk di ruang tamu. Â Menunggunya. Dan memang selalu begitu,Lastri selalu berusaha pulang lebih dahulu, menanti kedatangan Rio.Â
Begitu Rio membuka pintu Lastri berdiri menyambutnya. Secercah riang memancar dari parasnya. Senyum manisnya muncul dengan tulus. Tapi Rio hanya melangkah dingin melewatinya. Tatapannya segera membentur kopiah dan sarung yang terongok di atas meja. Rio berbalik. Menatap tajam istrinya.
"Kau sendiri memangnya sudah salat, mengapa kau malah sibuk menyiapkan aku kopiah dan sarung itu segala." Ucap Rio ketus.
"Aku ingin kau jadi imamku, kita salat bersama mas." Timpal Lastri pelan.
"Ah...aku capek, aku ingin istirahat. Kau sendirilah dulu yang tobat! Tidak usah hiraukan orang lain." Bentak Rio. Lastri hanya mengangguk lemah dibentak seperti itu. Selebihnya Ia lebih banyak menunduk. Lalu masih dengan suara pelan Ia pun berkata.
"Kalau begitu mas Rio makan dulu! Aku temani."
Rio tidak berkata-kata. Ia melangkah panjang-panjang ke dapur. Dilihatnya makan malam memang masih utuh di atas meja. Tanpa berkata-kata Ia langsung duduk, dan mulai menyantap makanan bagai orang kesurupan. Perutnya memang lapar, dari siang ia belum makan. Pelan Lastri duduk di depannya. Kadang menyendokkan nasi jika dilihatnya telah habis di piring Rio. Sesekali Ia mengambilkannya lauk dan sayur. Tapi Rio tak hirau, ia makan bagai tak ada orang di depannya. Bagi Lastri itu tak penting. Rio menganggap Ia hadir atau tidak di meja makan itu bukan persoalan baginya. Cukuplah baginya jika Rio malam itu makan dengan lahap dan Ia bisa melayaninya.
Suatu siang Rio pulang ke rumahnya. Itu hal yang tidak lumrah. Biasanya Ia pulang larut malam dan paling sering dalam keadaan mabuk. Siang itu entah mengapa Ia ingin segera balik ke rumahnya. Pikirnya, Â Ia ingin istirahat siang itu dan malamnya bisa kelayapan sampai larut.