Sarkawi menatap bapaknya dengan bingung. Dia baru mendengar nama itu, "Pak Poniman itu siapa, Pak?"
"Orang penting. Orang kota. Kerabatnya pak lurah. Sudah tiga bulan tinggal di kampung kita. Tapi aksesnya kuat dengan orang-orang gede di kota. (Sarkawi mulai takjub dengan gaya bicara bapaknya). Kamu masih ingat waktu  ditangkap gara-gara mencopet para intel?"
Sarkawi mengangguk.
"Dia adalah pejabat yang kabur ketika kamu ditangkap gara-gara mencuri dompet para intel itu. Katanya dituduh mengambil dana rehabilitasi hutan. Duitnya banyak. Dia memodali kita untuk membuat saluran gas dari kampung sebelah supaya kita juga bisa menikmati gas itu. Nah, bapak ditugasi untuk menjadi kepala pengawas di tempat yang dibangun itu."
"Membuat saluran Pak? Maksudnya mencuri?"
Bapaknya mengangguk mantap, "Dan memodali kampung ini untuk perbaikan jalan. Kalau jalan mulus, orang kampung tidak lagi kesulitan mencuri dan mengangkut kayu dari hutan. Jika ada polisi perhutani kita bisa gampang kaburnya."
"Aku juga mau bekerja untuk dia, Pak."
"Tentu saja, apalagi kalau dia tahu jasamu buatnya."
"Jasa Pak?"
"Berkat jasamu mencuri dompet intel itu, pak Poniman bisa leluasa kabur dan tinggal dengan pak lurah. Itu karena kamu itu sudah mengalihkan perhatian semua polisi itu. Mereka melupakan pak Poniman dan menggelandang kamu ke kapolsek. Jasamu besar kan?"
Mendengar itu Sarkawi tersenyum lebar.