Mohon tunggu...
Iis WKartadinata
Iis WKartadinata Mohon Tunggu... Guru - guru dan pencinta buku

guru dan pencinta buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kampung Para Pencuri

22 April 2022   10:00 Diperbarui: 23 April 2022   22:00 1761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perkampungan pencuri. Sumber: Kompas.com

Kampung Para pencuri

Cerpen Iis W. Kartadinata

Awalnya Legok Badog adalah kampung yang ramai. Penduduknya hidup normal. Tanpa helaan nafas lelah dari manusianya. Ada adat saling memberi. Juga saling memahami kebutuhan satu sama lain. Setiap orang di kampung Legok Badog bebas menikmati apa pun yang bisa dinikmati. 

Miliknya sendiri maupun milik orang lain. Jika seseorang kehabisan makanan, pakaian, bahkan keperluan lain yang lebih mewah, dia bisa mengambil dari orang lain dengan diam-diam.  Pemilik sah dari harta yang diambil pun tidak bisa berbuat apa-apa. 

Karena dia sadar kekayaannya pun tidak murni miliknya. Dalam arti bukan murni hasil jerih payahnya. Jadi semua penduduk bisa memenuhi kebutuhannya, sepanjang dia bisa melakukannya.

Tapi kali ini berbeda. Kampung itu mulai sepi. Kabarnya hampir sepertiga dari mereka eksodus ke kampung lain yang jaraknya kira-kira empat puluh kilometer dari Legok Badog. Kampung baru itu bernama penjara. Eksodus itu terjadi karena kegiatan pencurian yang dilakukan oleh mereka sudah mencolok sehingga tercium aparat kepolisian. 

Meskipun mereka membela diri dengan alasan pencurian itu dilakukan secara suka sama suka. Hukum harus berjalan. Sehingga mereka dipenjara tanpa proses peradilan. Keberangkatan mereka ke penjara mirip dengan kegiatan pariwisata karena dilakukan dengan iring-iringan bus ber-ac.

Ada hal yang ganjil. Jika orang-orang kampung semua eksodus ke penjara, salah satu tahanan dengan kasus yang sama malah sudah diperbolehkan pulang. Laki-laki itu bernama Sarkawi. Pemuda desa yang ketahuan mencuri. Satu tahun Sarkawi dipenjara. 

Waktu itu Sarkawi mencoba mencuri uang di balik meja teller bank. Hanya dengan modal sebilah golok dia mengancam gadis muda untuk menyerahkan uang. Sayang, Sarkawi memiliki darah muda yang bergolak lebih ke hal yang mengarah kenormalan yang lain. 

Uang menjadi nomor dua dibandingkan dengan mata gadis itu. Gadis manis itu membuat Sarkawi hanya tertegun dengan bibir mencungap.  Kelemahan Sarkawi dimanfaatkan petugas satpam untuk menelepon polisi.

Sarkawi meminta kepada opsir untuk tetap tinggal di penjara. Apalagi dia melihat eksodus dari kampungnya. Tapi permintaan itu ditolak dengan alasan penjara penuh. Sekarang Sarkawi tidak bisa lagi menemukan makanan secara gratis.

Di depan pintu penjara Sarkawi memandang sekeliling dengan penuh keengganan. Atau dia mencuri saja lagi? Di kota besar seperti Bandung begitu gampang profesi itu dikerjakan. Lihat saja kalau jalan-jalan ke tengah kota seperti pusat perbelanjaan. 

Banyak perempuan menenteng tas dengan seenaknya. Atau mereka dengan bangga memperlihatkan perhiasannya. Ada lagi, para pengguna handphone dengan nyaman memperlihatkan dan menggunakan benda itu di mana pun tempatnya. 

Jadi, tak perlu merampok atau menggasak toko handphone dan toko mas, Sarkawi sudah bisa membuat rencana. Itu bisa dilakukan di jalan ataupun di dalam angkutan. Selama tiga hari ini Sarkawi  memikirkan itu. Sampai suatu ketika Sarkawi menangkap tingkah seorang pencopet.

"Buk, masih mencopet?"

"Mau apa lagi?" Abuk menjawab santai. Sebatang rokok mulai disulutnya,"Katanya kamu sudah bebas ya? Bukannya hidup di penjara enak? Rokok gratis, makan gratis, kenapa pulang?"

"Masa tahananku sudah habis."

"Terus rencanamu apa?"

"Aku juga bingung."

"Sudah ke Legok Badog?"

Sarkawi menggeleng.

"Jadi kamu belum tahu kalau orang tuamu kecurian?"

"Apa yang mereka curi?" suara Sarkawi tetap santai karena itu memang biasa di kampungnya.

"Televisi, radio..."

"Aku tahu pencurinya kalau hanya mengambil itu. Si Engkoh kan?"

"Iya."

"Memangnya aku tidak mau bayar, apa? aku sudah bilang, tv dan radio kuambil dulu..."

"Katanya uang mukanya juga belum kau bayar."

Sarkawi mulai terlihat kesal. Berarti di rumahnya tidak ada tv sekarang. Bagaimana mungkin bapaknya bisa hidup tanpa acara tv. Dia tidak bisa menonton acara bola, panggung lawakan, dagelan politik meskipun tidak dipahaminya. Terutama tidak bisa menonton artis idolanya, Iis Dahlia. 

Begitu juga dengan ibunya. Dia tidak bisa lagi menikmati acara sinetron kesayangannya. Padahal hanya dengan sinetron ibunya bisa terhibur. Dari sinetron remaja yang menampilkan artis-artis muda cantik dan ganteng, hingga sinetron yang menampilkan pemain-pemain tua. 

Dari tema yang dibuat sedih, hingga dagelan yang tidak lucu. Nyaris seluruh detiknya diisi dengan gambar hidup itu. Sebagai tontonan yang dianggap penting dan berwawasan, ibunya tak pernah ketinggalan dengan informasi selebriti. Jadilah dia sangat tahu apa pun tentang kehidupan para artis, mulai artis baru melek hingga artis bangkotan. 

Dari kehidupannya di ruang ganti, toilet, lokasi syuting, panggung, hingga kehidupan percintaan. Ibunya sangat tahu siapa saja artis yang sedang berselingkuh.

Akhirnya Sarkawi memutuskan untuk pulang. Perjalanan menuju kampungnya tidaklah jauh. Hanya dengan naik angkutan selama satu jam Sarkawi dan Abuk sudah sampai di gerbang kampung. Lalu mereka berjalan kaki. Jalanan itu sangat sepi. Sangat berbeda. 

Kesepian inilah yang kerap mengundang Sarkawi bahkan orang lain untuk melakukan pencurian. Dia muai ingat, sebelum mencuri uang di bank, di tempat inilah dia digelandang oleh beberapa orang polisi karena mengambil dompet salah seorang dari mereka yang sedang melakukan penyisiran ke kampung-kampung. Waktu itu beberapa orang polisi memang tengah mencari buronan yang konon hilang di kampung ini. 

Tapi polisi itu tak menemukan. Dia menghilang tepat di rumah kepala desa. Tentu saja pak polisi tidak bisa meneruskan pencarian karena kepala desa mengatakan bahwa di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Tak ada seorang pun yang lari ke sana. Walhasil polisi-polisi itu, termasuk intel yang berpakaian preman kambali ke markasnya. 

Nah, di jalan ini, pada polisi berpakaian preman itu Sarkawi merogohkan tangannya. Hingga Sarkawi digelandang ke kantor polsek di kecamatan.

Kampung itu sangat sepi. Hanya ada beberapa anak yang tengah melempari mangga yang sedang  ranum di salah satu kebun.

"Hey, mencuri kamu!" teriak Sarkawi.

Semua anak menoleh, "Eh, Kang Sarkawi! Kang Sarkawi! Hore sudah pulang! Bantu ambilkan mangganya Kang."

Sarkawi tidak bisa menolak. Nalurinya begitu kuat untuk mengambilkan mangga-mangga ranum itu. Meskipun dia yakin kalau ketahuan sudah pasti dirinya yang pertama akan kena damprat haji Durahim. Tapi Sarkawi tidak peduli. Lagipula Haji Durahim juga belum tentu sepenuhnya halal memiliki pohon-pohon mangga itu. 

Dia tahu dari orang tuanya, kalau Haji Durahim suka membungakan uang yang dipinjamkannya kepada orang-orang di kampung ini. Bukankah bunga sama saja dengan dengan mencuri?

Tak salah lagi. Ketika itu haji Durahim muncul. Langsung saja semua belinsatan meninggalkan kebun itu. Haji Durahim marah-marah begitu melihat banyak mangga mentah berserakan di bawah pohonnya.  "Dasar maling, bapak kalian maling, kalian juga maling, jangan lari kau! 

Semalam tambakku habis oleh kelakuan bapak kalian, sekarang kalian mencuri manggaku! Sialan semua!"

Terlambat, semua sudah pergi, begitu juga dengan Sarkawi. Dia melenggang memasuki gang menuju rumahnya. Sekilas dalam pandangan ada seseorang tengah mencuri jemuran tetangganya. Tapi Sarkawi tidak peduli. Beberapa orang tetangga, ibu-ibu yang melihat kedatangan Sarkawi langsung menyambutnya dengan hangat. Sarkawi hanya tersenyum-senyum. Lalu dia berjalan menuju rumahnya. Hanya ada ibunya di dalam.

 "Bapak ke mana, Bu?"

"Ada pertemuan," ibunya tidak terlalu kaget dan menyambut kedatangan Sarkawi, "Kamu belum jadi apa-apa sudah berani pulang?"

"Saya pulang karena mendengar Bapak kecurian."

"Cuma tv dan radio. Sekarang sudah ada gantinya. Kan tempo hari Bapak jual kerbau."

Sarkawi tersentak, "Kerbau siapa Bu? Sejak kapan Bapak ngurus kerbau?"

"Kerbau pak Munir. Bapakmu kerja sama dengan orang jagal. Dibilang kerbaunya mau mati, makanya dijual saja. Bapakmu dapat untung separo karena pak Munir tahunya kerbaunya mau mati. Begitulah orang kaya yang tidak tahu keadaan hartanya sendiri. Tapi tidak apa-apa. 

Pak Munir kan sudah kaya dengan jual beras dan klontong di pasar. Beras lama diolah lagi supaya jadi bagus, timbangan dikasih pemberat. Sama-sama nyuri lah," si ibu menuangkan air panas ke dalam cangkir. Aroma kopi menyeruak ke hidung Sarkawi. Aroma yang sudah lama dikangeninya. Ibunya memang pandai membuat kopi. Katanya tekniknya dia curi di tukang kopi di daerah Soreang. Mungkin di kampung ini hanya ibunya yang lihai membuat kopi.

"Tadi malam semua pegawai dan orang-orang penting di desa ini berkumpul di sini. Bapakmu diberi wewenang untuk mengurus carik pak lurah, sekaligus jadi hansip ketua, mungkin juga kangen dengan kopi ibu, jadi rapat di sini," kemudian ibunya berbisik, "Eh, kapan mau kawin?"

Sarkawi hanya tersenyum..

"Tidak usah jauh-jauh, tuh ada tetangga baru yang pindah dari kampung seberang. Semua keluarganya diboyong ke sini gara-gara mereka diusir."

"Diusir?"

"Cuma di kampung kita yang aman bagi para pencuri. Di kampung lain, pekerjaan mencuri dianggap memalukan. Padahal itu biasa. Bapaknya cuma menyogok petugas waktu bikin KTP, anaknya yang bungsu mencuri perhiasan tetangganya, ibunya mencuri uang di rumah majikannya waktu kuli cuci gosok, nah anak gadis itu sendiri, dia mencuri hati pemuda anak kepala desa! Jadilah, semua diusir! Tuh, sekarang tinggal mengontrak di rumahnya Bu Salamah."

Sarkawi tersenyum. Langsung melihat rumah yang ada di seberang jalan. Tapi ketika pandangan itu luruh ke rumah itu, Sarkawi malah menangkap sosok bapaknya turun dari sepeda motor. Lalu mampir di halaman rumah itu dan mengambil rengginang mentah yang dijemur di halaman untuk dilahapnya. Tak lama kemudian bapaknya muncul di depan pintu.

"Kamu? Sudah lama datang?"

Sarkawi menyalami bapaknya lalu keduanya duduk berdampingan.

"Kabarnya Bapak sudah jadi orang penting. Sudah punya motor pula."

"Lumayanlah, dari pada ngurusi kerbau orang. Kerbau curian pula, tidak ada hasilnya."

"Itu motor siapa Pak?"

Bapaknya tersenyum, melirik ke arah ibunya, "Beberapa waktu lalu, si Bahro, temanmu itu, menyerahkan semua motor-motornya ke desa untuk menghilangkan jejak polisi. Ya Bapak kebagian satu, itu pun belum bapak tebus."

"Jadi si Bahro masih usaha motor?"

"Sekarang tidak lagi. Semua pemuda yang tidak tergusur ke penjara kemarin sudah mulai pindah ke pekerjaan baru. Itu semua berkat jasa pak Poniman."

Sarkawi menatap bapaknya dengan bingung. Dia baru mendengar nama itu, "Pak Poniman itu siapa, Pak?"

"Orang penting. Orang kota. Kerabatnya pak lurah. Sudah tiga bulan tinggal di kampung kita. Tapi aksesnya kuat dengan orang-orang gede di kota. (Sarkawi mulai takjub dengan gaya bicara bapaknya). Kamu masih ingat waktu  ditangkap gara-gara mencopet para intel?"

Sarkawi mengangguk.

"Dia adalah pejabat yang kabur ketika kamu ditangkap gara-gara mencuri dompet para intel itu. Katanya dituduh mengambil dana rehabilitasi hutan. Duitnya banyak. Dia memodali kita untuk membuat saluran gas dari kampung sebelah supaya kita juga bisa menikmati gas itu. Nah, bapak ditugasi untuk menjadi kepala pengawas di tempat yang dibangun itu."

"Membuat saluran Pak? Maksudnya mencuri?"

Bapaknya mengangguk mantap, "Dan memodali kampung ini untuk perbaikan jalan. Kalau jalan mulus, orang kampung tidak lagi kesulitan mencuri dan mengangkut kayu dari hutan. Jika ada polisi perhutani kita bisa gampang kaburnya."

"Aku juga mau bekerja untuk dia, Pak."

"Tentu saja, apalagi kalau dia tahu jasamu buatnya."

"Jasa Pak?"

"Berkat jasamu mencuri dompet intel itu, pak Poniman bisa leluasa kabur dan tinggal dengan pak lurah. Itu karena kamu itu sudah mengalihkan perhatian semua polisi itu. Mereka melupakan pak Poniman dan menggelandang kamu ke kapolsek. Jasamu besar kan?"

Mendengar itu Sarkawi tersenyum lebar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun