Terlambat, semua sudah pergi, begitu juga dengan Sarkawi. Dia melenggang memasuki gang menuju rumahnya. Sekilas dalam pandangan ada seseorang tengah mencuri jemuran tetangganya. Tapi Sarkawi tidak peduli. Beberapa orang tetangga, ibu-ibu yang melihat kedatangan Sarkawi langsung menyambutnya dengan hangat. Sarkawi hanya tersenyum-senyum. Lalu dia berjalan menuju rumahnya. Hanya ada ibunya di dalam.
 "Bapak ke mana, Bu?"
"Ada pertemuan," ibunya tidak terlalu kaget dan menyambut kedatangan Sarkawi, "Kamu belum jadi apa-apa sudah berani pulang?"
"Saya pulang karena mendengar Bapak kecurian."
"Cuma tv dan radio. Sekarang sudah ada gantinya. Kan tempo hari Bapak jual kerbau."
Sarkawi tersentak, "Kerbau siapa Bu? Sejak kapan Bapak ngurus kerbau?"
"Kerbau pak Munir. Bapakmu kerja sama dengan orang jagal. Dibilang kerbaunya mau mati, makanya dijual saja. Bapakmu dapat untung separo karena pak Munir tahunya kerbaunya mau mati. Begitulah orang kaya yang tidak tahu keadaan hartanya sendiri. Tapi tidak apa-apa.Â
Pak Munir kan sudah kaya dengan jual beras dan klontong di pasar. Beras lama diolah lagi supaya jadi bagus, timbangan dikasih pemberat. Sama-sama nyuri lah," si ibu menuangkan air panas ke dalam cangkir. Aroma kopi menyeruak ke hidung Sarkawi. Aroma yang sudah lama dikangeninya. Ibunya memang pandai membuat kopi. Katanya tekniknya dia curi di tukang kopi di daerah Soreang. Mungkin di kampung ini hanya ibunya yang lihai membuat kopi.
"Tadi malam semua pegawai dan orang-orang penting di desa ini berkumpul di sini. Bapakmu diberi wewenang untuk mengurus carik pak lurah, sekaligus jadi hansip ketua, mungkin juga kangen dengan kopi ibu, jadi rapat di sini," kemudian ibunya berbisik, "Eh, kapan mau kawin?"
Sarkawi hanya tersenyum..
"Tidak usah jauh-jauh, tuh ada tetangga baru yang pindah dari kampung seberang. Semua keluarganya diboyong ke sini gara-gara mereka diusir."