Mohon tunggu...
Iis WKartadinata
Iis WKartadinata Mohon Tunggu... Guru - guru dan pencinta buku

guru dan pencinta buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kampung Para Pencuri

22 April 2022   10:00 Diperbarui: 23 April 2022   22:00 1761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya Sarkawi memutuskan untuk pulang. Perjalanan menuju kampungnya tidaklah jauh. Hanya dengan naik angkutan selama satu jam Sarkawi dan Abuk sudah sampai di gerbang kampung. Lalu mereka berjalan kaki. Jalanan itu sangat sepi. Sangat berbeda. 

Kesepian inilah yang kerap mengundang Sarkawi bahkan orang lain untuk melakukan pencurian. Dia muai ingat, sebelum mencuri uang di bank, di tempat inilah dia digelandang oleh beberapa orang polisi karena mengambil dompet salah seorang dari mereka yang sedang melakukan penyisiran ke kampung-kampung. Waktu itu beberapa orang polisi memang tengah mencari buronan yang konon hilang di kampung ini. 

Tapi polisi itu tak menemukan. Dia menghilang tepat di rumah kepala desa. Tentu saja pak polisi tidak bisa meneruskan pencarian karena kepala desa mengatakan bahwa di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Tak ada seorang pun yang lari ke sana. Walhasil polisi-polisi itu, termasuk intel yang berpakaian preman kambali ke markasnya. 

Nah, di jalan ini, pada polisi berpakaian preman itu Sarkawi merogohkan tangannya. Hingga Sarkawi digelandang ke kantor polsek di kecamatan.

Kampung itu sangat sepi. Hanya ada beberapa anak yang tengah melempari mangga yang sedang  ranum di salah satu kebun.

"Hey, mencuri kamu!" teriak Sarkawi.

Semua anak menoleh, "Eh, Kang Sarkawi! Kang Sarkawi! Hore sudah pulang! Bantu ambilkan mangganya Kang."

Sarkawi tidak bisa menolak. Nalurinya begitu kuat untuk mengambilkan mangga-mangga ranum itu. Meskipun dia yakin kalau ketahuan sudah pasti dirinya yang pertama akan kena damprat haji Durahim. Tapi Sarkawi tidak peduli. Lagipula Haji Durahim juga belum tentu sepenuhnya halal memiliki pohon-pohon mangga itu. 

Dia tahu dari orang tuanya, kalau Haji Durahim suka membungakan uang yang dipinjamkannya kepada orang-orang di kampung ini. Bukankah bunga sama saja dengan dengan mencuri?

Tak salah lagi. Ketika itu haji Durahim muncul. Langsung saja semua belinsatan meninggalkan kebun itu. Haji Durahim marah-marah begitu melihat banyak mangga mentah berserakan di bawah pohonnya.  "Dasar maling, bapak kalian maling, kalian juga maling, jangan lari kau! 

Semalam tambakku habis oleh kelakuan bapak kalian, sekarang kalian mencuri manggaku! Sialan semua!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun