Setiap agama memiliki gambaran tersendiri mengenai surga atau istilahnya, yang terdapat dalam Kitab Sucinya masing-masing. Gereja Katolik pun memiliki gambaran tentang surga tersendiri. Banyak sekali istilah surga dan penggambarannya yang terdapat dalam Alkitab. Setiap istilah memiliki makna atau arti tersendiri.Â
Makna dan arti dari istilah-istilah itu berdasarkan refleksi dari si penulis Kitab Suci itu sendiri atau berdasarkan pengalaman rohani yang mendalam dari sang penulis dengan Tuhan. Nah, bagaimana penjelasannya?
Berikut adalah penjelasan yang coba saya buat. Tetapi pembaca harus mengerti konteks bahwa pembahasan ini hanya dilihat berdasarkan atau sebatas maksud dari sang penulis Kitab Suci tentang surga dan pandangan Gereja Katolik terhadapnya. Semoga berguna bagi anda yang membacanya.
PendahuluanÂ
Kitab Suci sangat jelas mengajarkan bahwa salah satu kehendak Allah adalah agar semaua orang dapat diselamatkan. Allah menginginkan agar semua manusia tidak mendapat celaka untuk selama-lamanya. Allah menginginkan agar semua manusia dapat kembali berkumpul bersaman-Nya. Ini adalah bentuk cinta Allah kepada manusia yang besar, yang tidak pernah ditemukan pada diri siapa pun.Â
Bentuk cinta ini hadir dengan nyata melalui Yesus Kristus, Putera Tunggal-Nya yang diutus untuk menyelamatkan manusia. Misalnya dalam Yoh. 6:39 Yesus berkata, "Inilah kehendak Dia yang mengutus Aku supaya dari semua yang telah diberikan-Nya jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada hari yang ketiga".Â
Keselamatan apa yang dimaksud? Keselamatan yang dimaksud adalah "surga" sebagai tujuan akhir hidup manusia yang dikehendaki oleh Allah sendiri untuk semua orang.
Surga juga menjadi salah satu kosa kata paling laris dalam hidup beragama. Kerinduan akan memperoleh kehidupan kekal yang bahagia di surga, menjadi motor penggerak orang untuk hidup beragama.Â
Baca juga : Bunuh Diri dan Euthanasia di Mata Gereja Katolik
Namun gambaran tentang surga itu sendiri, seperti di mana lokasinya, bagaimana bentuknya, bagaimana kehidupan di dalamnya, bagi setiap orang masih merupakan suatu misteri iman. Akal budi manusia tidak akan mampu untuk menyingkapkan surga itu. Manusia hanya mampu menggambarkan surga itu dalam rupa jasmania saja.
Jika kita membaca dari Kitab Kejadian sampai Wahyu, kita akan menemukan banyak gambaran mengenai surga. Tradisi Kristen juga demikian membicarakan tentang surga. Semua gambaran surga yang ada ini begitu beraneka ragam dan pemahamannya dari waktu ke waktu mengalami perkembangan.Â
Nah, dalam hal ini Alkitab menyediakan banyak gambaran tentang surga itu, mulai dari "Taman Eden" sampai "Yerusalem Surgawi" yang coba saya paparkan lewat tulisan ini[1]. Namun saya hanya memaparkan beberapa saja yang umumnya banyak didengar atau sudah banyak dikenal istilah atau penyebutannya.
1. Surga dalam Perjanjian Lama
1.1. Surga adalah Langit
Keyakinan akan adanya langit memang sudah ada dan cukup mengakar sejak zaman dahulu. Ketika ditanya di mana surga atau berbicara tentang surga, orang akan spontan menunjuk ke langit. Pertanyaannya, mengapa harus menunjuk ke langit?Â
Apa yang istimewa dengan langit? Orang ketika memandang langit, pikiran mereka seolah-olah tidak bisa mengungkapkan misteri yang berada di balik langit. Selain itu langit begitu luas dan tidak bisa ditampung semuanya dengan mata. Jika berhadapan dengan langit, akal budi manusia seakan-akan tidak ada apa-apanya.Â
Langit merupakan suatu bentangan yang amat luas, besar dan tak terbatas di mata manusia. Maka dari itu, dihadapan langit, manusia berhadapan dengan "ketidakterbatasan", yang menjadi salah satu sifat Allah.
Kehidupan di bumi sangat tergantung dari langit dengan segala macam pergerakan dan gejalanya. Misalnya matahari yang menyinari bumi, bulan mengatur pasang surut air, bintang sebagai petunjuk jalan, hujan untuk menyirami bumi, dan sebagainya. langit juga bisa menjadi tanda atau ramalan mengenai peristiwa yang akan terjadi.Â
Segala sesuatu di bumi seakan-akan sudah ditentukan oleh langit. Oleh karena itu orang-orang pada zaman dahulu, termasuk bangsa Israel, percaya bahwa Allah dan dewa-dewi berada di atas langit. Merekalah yang mengatur segala sesuatu yang terjadi itu sebagai perhatiannya untuk manusia. Sebab itu, penjelasan selanjutnya akan dibahas langit sebagai tempat kediaman Allah dan makhluk surgawi lainnya. Â
Baca juga : Ajaran Gereja Katolik tentang Aborsi
1.2. Tempat Kediaman Tuhan
Bangsa Israel percaya bahwa Tuhan selalu menyertai mereka, dekat dengan mereka, bahkan tinggal bersama mereka. Hal ini dapat kita telusuri lewat peristiwa tiang awan dan tiang api yang menyertai bangsa Israel ketika keluar dari Mesir; peristiwa di gunung Sinai (Ul. 33:2), Tuhan berdiam di Bait Allah di Bukit Sion (1Raj. 8:12-13), dan hadir lewat Tabut Perjanjian; dan sebagainya[2].Â
Namun konsep tentang surga yang berada di atas langit tetap dipegang oleh bangsa Israel. Bangsa Israel mempercayai bahwa surga di atas langit adalah kepunyaan Allah. Di sanalah Allah diam sebagai sebagai raja yang mengusai bumi dan segala isinya.Â
Sejumlah nabi memiliki gambaran tentang hal itu: "Langit adalah takhta-Ku dan tumpuan kaki-Ku" (Yes. 66:1); "Tuhan ada di dalam Bait-Nya yang kudus; Tuhan, Takhta-Nya di surga...." (Mzm. 11:14). Â
1.3. Kosmologi Israel Kuno
Orang Israel kuno melihat alam semesta ini terdiri dari tiga tingkatan, yaitu langit (samayim, sering disamakan dengan surga), bumi (erets), dan dunia bawah (sheol)). Lagit adalah tempat kediaman Tuhan dan para malaikat bersemayam. Bumi adalah temat tinggal manusia dan ciptaan yang lain. Sementara dunia bawah adalah tempat kediaman jiwa-jiwa orang yang sudah mati[3].
Yang menarik di sini adalah surga bukan hanya tempat kediaman Tuhan saja, tetapi juga digambarkan penuh dengan makhluk surgawi (lih. 2Raj: 22:19). Digambarkan di atas takhta Allah dikelilingi oleh segenap tentara surgawi dan Allah merajai mereka semua.Â
Namun begitu, Allah juga diyakini sebagai Raja Semesta Alam yang memerintah dari atas langit. Namun pertanyaanya, mengapa langit masih tetap menjadi tempat kediaman Allah yang utama? Bangsa Israel meyakini bahwa Allah adalah yang Transenden, yang tidak bisa dijangkau oleh akal budi.Â
Dia begitu tinggi, agung, dan luhur. Tuhan harus melebihi segala sesuatu dan Dia harus selalu yang tertinggi. Maka tempat-Nya harus yang paling tinggi, yang melambangkan kemulian dan kehormatan; tempat itu adalah langit.
1.4. Firdaus dan Taman Eden
Firdaus selalu digambarkan sebagai sebuah taman yang indah dengan kehidupan yang penuh kedamaian dan kebahagiaan yang tiada tara. Jika ditelusuri asal katanya, istilah Firdaus (Inggris, paradise) berasal dari bahasa Persia kuno yaitu paridaida, pardez, pairidaeza, yang berarti taman yang hijau dan segar atau taman yang dibentengi.Â
Sedangkan dalam bahasa Yunani disebut paradeisos yang adalah terjemahan dari Taman Eden[4]. Dalam kitab-kitab Yahudi, Firdaus di gambarkan sebagai tempat kediaman orang-orang baik dan benar ketika mereka mati kelak. Dalam kitab 1 Henok 37-70, digambarkan bahwa Firdaus adalah tempat persingahan orang benar ketika mereka mati kelak. Kitab Henok juga memberikan gambaran bahwa Firdaus ini merupakan tempat Allah tinggal dan beristirahat.
Dalam Alkitab, Taman Eden sering disebut Taman Allah (gan-elohim). Kalau ditelusuri asal katanya, terdapat dua sumber. Pertama, kata "Eden" berasal dari kata Akadian yaitu "edinu", yang berarti padang atau stepa. Kedua, berasal dari bahasa Semit kuno "dn", yang menunjuk pada situasi yang penuh kedamaian, kemewahan, dan kesusburan[5].
Kedua istilah ini mengandung makna dan gambaran situasi yang kurang lebih sama, yaitu tempat yang penuh kedamaian, tempat Allah berdiam bersama dengan orang-orang baik dan benar ketika mati kelak. Di tempat ini manusia yang telah hidup kembali benar-benar merasakan kehadiran Allah secara langsung.Â
Baca juga : Kasih dalam Katekismus Gereja Katolik
Taman ini diciptakan oleh Allah sendiri dan menjadi tempat kediaman Allah sendiri. Pandangan Israel kuno menggabarkan bahwa taman eden adalah tempat tinggal Tuhan dan bukan pertama-tama diciptakan untuk manusia. Namun, Allah menempatkan manusia pertama di taman ini, yang pada waktu itu masih hidup dalam kesempurnaan.Â
Di taman inilah Allah dan manusia (Adam dan Hawa) dapat bertemu dan becerita seperti seorang sahabat. Tetapi sayangnya, manusia melanggar hukum Tuhan dengan memakan buah yang terlarang di tengah taman itu, sehingga kemudian Allah mengusir manusia dari taman itu dan menutupnya bagi mereka.
Jika kita bertanya-tanya, di manakah lokasi Fidaus atau Taman Eden yang digambarkan dalam Kitab Suci, bagaimana jawabannya? Yang jelasnya tidak ada jawabban pasti.Â
Penjelasan mengenai letak Fidaus, Kitab 1 Henok misalnya menggambarkan lokasi Firdaus yang bermacam: di belahan bumi yang terletak jauh di timur, di timur laut, antara timur laut dan barat, ke utara, jauh ke barat, tetapi tidak pernah di selatan.Â
Untuk penjelasan mengenai Taman Eden, Kej. 2:8, Taman Eden berada di sebelah timur, yang diyakini sebagai Mesopotamia, yang sekarang disebut Irak[6]. Namun demikian, letaknya tidak terlalu jelas dan menimbulkan kebuntuan.
Ketidakpastian lokasi ini mau memperlihatkan bahwa Firdaus atau Taman Eden merupakan sebuah metafora atau kiasan belaka untuk menggambarkan situasi kedua istilah ini.Â
Namun bukan berarti surga yang kita kenal tidak ada dan hanya ciptaan manusia belaka. Kedua istilah ini merupakan sebuah refleksi penulis Kitab Suci untuk menggambarkan bagaimana situasi atau keadaan surga yang akan dituju nanti. Sebab belum pernah ada manusia yang ke sana dan kembali.Â
Hal ini pula mau menandaskan bahwa surga dan Allah sebenarnya tidak dapat di jangkau oleh pikiran manusia yang terbatas. Maka dari itu, manusia (para penulis Kitab) merefleksikan surga menggunakan hal-hal yang lahiriah di sekitaran manusia, yang kelihatan dan yang terpenting dapat dimengerti.Â
Maksudnya supaya manusia dapat memperoleh gambaran yang menghantar mereka menuju permenungan yang mendalam tentang akhir hidup mereka di dunia ini kelak dan ke mana mereka akan pergi setelah itu.
2. Surga dalam Perjanjian Baru
Para penulis Perjanjian Baru sebenarnya masih mewarisi pandangan tentang surga dalam Perjanjian Lama. Misalnya surga masih dipandang sebagai tempat Allah dan para malaikat-Nya bersemayam. Meskipun demikian, pandangan baru tentang surga juga dijumpai dalam tulisan Perjanjian Baru.Â
Salah satunya, surga dipahami sebagai tempat yang dijanjikan bagi mereka yang hidup baik dan benar selaras dengan ajaran Kristus. Dan tentu saja masih banyak gambaran atau konsep baru tentang surga yang bisa ditelusuri dari tulisan-tulisan Perjanjian Baru.
2.1. Bapa di Surga, Kerajaan Surga, Rumah Bapa
Ketiga istilah ini sebenarnya memiliki makna yang hampir sama, namun ada penekanan yang berbeda dan khas. Istilah "yang ada di surga" selalu melekat dengan sapaan "Bapa". Sapaan Bapa ini adalah gaya khas Yesus dalam menyapa Allah dalam doa-Nya. Sapaan ini menggambarkan ada kedekatan yang begitu erat dan mendalam antara Yesus dengan Allah.Â
Allah tidak dimengerti sangat jauh dengan manusia, tetapi justeru begitu dekat dengan manusia. Kedekatan itu digambarkan seperti kedekatan seorang anak dan ayahnya. Hal itu kini telah terwujud nyata lewat kehadiran Kristus di dunia. Istilah "yang ada di surga" ini mencerminkan bahwa surga merupakan tempat bersemayam Allah yang disapa Bapa (bdk. Mat. 5:48, 6:14, dan Mat. 6:19).
Kerajaan Allah sebenarnya nama lain dari Kerajaan Surga. Keduanya memiliki makna yang sama, yaitu tempat Allah bersemayam. Untuk Kerajaan Surga sendiri, sebenarnya hanya sebuah istilah yang mau menunjukan Allah itu sendiri. Hal ini dikarenakan dalam agama Yahudi, menyebut nama Allah secara tidak langsung adalah hal yang sangat tidak pantas.Â
Maka dari itu, mereka memakai istilah surga, yang sebenarnya menunjukan Allah itu sendiri. Kerajaan Allah sendiri menggambarkan Allah yang berkuasa selama-lamanya di surga yang abadi.
Rumah Bapa yang dilukiskan Yesus menggambarkan bahwa kelak ada kesatuan yang intim antara Bapa, Yesus, dan para pengikut-Nya yang setia. Rumah Bapa menggambarkan pula suatu keaadaan di mana Allah tinggal dan bertindak sebagai kepala atas persekutuan abadi ini. Sama seperti seorang ayah yang mengepalai sebuah rumah tangga.Â
Sapaan "Bapa" untuk Allah seperti yang sudah di jelaskan di atas, menggambarkan suatu kedekatan. Kita juga bisa membandingkan istilah ini dengan kedekatan antara manusia pertama dan Allah di Taman Eden atau Firdaus dalam Kitab Kejadian. Yang mana Allah dan manusia dapat bertemu secara langsung dan bercakap-cakap dengan Allah seperti seorang sahabat.Â
Keadaan di taman itu menggambarkan bahwa Allah dan manusia benar-benar sangat dekat, sebelum manusia jatuh dalam dosa. Maka demikianlah keadaan manusia baik kelak ketika masuk ke dalam surga. Â
2.2. Sukacita Kekal dan Kelimpahan Hidup
Banyak orang pasti penasaran dengan bagaimana kehidupan atau suasana surga itu. Dalam Perajanjian Baru, Yesus banyak menggambarkan bagaimana sukacita surgawi itu dalam banyak perumpamaan. Misalnya, orang yang bergembira ketika menghadiri perjamuan (Luk. 14:15-24), orang yang masuk dalam kegembiraan tuannya (Mat. 25:21,23), dll.Â
Dalam Kitab Wahyu juga banyak dilukiskan tentang kehidupan penuh sukacita kekal di surga. Misalnya, tamu undangan dalam perjamuan kawin (Why. 19:1-9), dituntun ke air kehidupan (Why. 7:17), menikmati buah pohon kehidupan (Why. 22:2). Namun semua teks di atas tidak harus dipahami secara harafiah saja.Â
Teks-teks di atas menggambarkan bagaimana sukacita besar nanti di surga. Suasana merasa dicukupi, penuh, damai, yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di dunia ini[7].
Inilah yang dimaksud saya dalam penjelasan sebelumnya. Bahwa surga itu tidak dapat dimengerti dengan pikiran yang telanjang. Surga dalam pandangan teologis setiap agama menggambarkan suatu keabadian. Maka ketika Yesus berbicara tentang "sukacita surgawi" misalnya, berarti Yesus sedang berbicara mengenai "sukacita yang abadi" kelak.Â
Nah, kalau kita bertanya bagaimana sukacita yang abadi itu? Jawaban yang jujur dari setap orang pasti tdak tahu. Megapa? Sebab adalah manusia yang sedang berjuang hidup di dunia yang fana dan sementara ini. Kita belum pernah ke sana, lalu datang memberitahunkan rasanya bagaimana. Lalu bagaimana kita harus percaya tentang keabadian itu?Â
Ada seorang manusia yang berasal dari keabadian itu dan memberitahukan rahasia besar keabadian itu. Dialah Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia, perantara satu-satunya dan jalan kebenaran menuju pada keabadian itu. Sebagai seorang Kristiani, untuk dapat menikmati hidup kekal kita dituntut untuk percaya pada ajaran-Nya.
2.3. Langit dan Bumi yang Baru
Dalam tradisi alkitabiah, salah satu ciri khas yang menandai hadirnya surga adalah transformasi atau perubahan total dalam kehidupan di dunia. Dunia yang telah rusak karena penderitaan akibat dosa, diubah menjadi dunia yang penuh kemuliaan dan kebahagiaan. Di surga akan lahir ciptaan yang baru sama sekali, yang lama telah ditinggalkan dan yang baru dimulai[8].Â
Kitab Wahyu banyak menggambarkan istilah ini, misalnya tanda-tanda penciptaan baru (Why. 20:7-15), langit dan bumi yang baru ( Why. 20:1), Yerusalem baru turun dari surga (Why. 21:22), segala air mata akan dihapuskan (Why. 21:4), dll. Namun hal penting yang mau disampaikan adalah mengalami surga berarti mengalami sesuatu yang "baru".Â
Kehidupan di dunia telah berakhir, dan kini masuk dalam kemuliaan dan kebahagiaan yang tiada tara dan abadi. Tidak ada kemiskinan, kelaparan, kematian, penderitaan, dan penganiayaan di sana.
Penting dimengerti di sini adalah bahwa kebaruan yang dimaksud adalah kebaruan secara rohani. Artinya bahwa kini manusia masuk dalam situasi keabadian dari kefanaan hidup. Manusia kini kini telah meninggalkan dunia fana yang penuh dosa, tubuh yang penuh dosa dan menjadi makhluk rohani.
 Manusia yang awalnya penuh dengan dosa, kini dibaharui dalam Kristus yang turun dari surga (Rm. 6:6). Kalau di dunia manusia sibuk dengan berbagai hal duniawi, tetapi di surga kelak manusi akan memuji Allah siang dan malam. Â
2.4. Kenaikan Yesus Kristus
Dalam Injil Lukas dikisahkan Yesus naik ke surga dengan disaksikan oleh para murid (Luk. 24:50-53). Peristiwa itu membuat para murid tidak lagi merasa sedih melainkan penuh sukacita. Dalam Kisah Para Rasul, Yesus yang terangkat ke surga digambarkan bahwa Yesus kemudian ditutupi oleh awan. Bagaimana kenaikan Yesus ke surga ini dipahami?Â
Kenaikan ke surga tidak harus dipahami perjalanan Yesus ke suatu tempat yang jauh, seperti Yesus yang terangkat ke langit yang jauh di atas sana. Namun yang mau ditegaskan di sini adalah persatuan Yesus dengan Allah. Ia sekarang pergi ke tempat kediaman Allah Bapa yang abadi. Langit dimaknai sebagai suatu tempat yang tinggi.Â
Sama halnya dengan seorang yang terhormat yang ditinggikan ketika menghadiri suatu pesta. Kini Yesus telah bangkit dari mati, kini Ia pantas ditinggikan karena Ia adalah kudus dan kini Ia akan bersatu dengan Bapa di surga.
Dalam Perjanjian Lama, awan melambangkan tanda kehadiran Allah di Kemah Suci (Kel. 40:43). Yesus yang ditutupi awan berarti Yesus sedang masuk dalam kemulian Allah[9].Â
Awan yang menutupi berarti pula bahwa misteri Allah yang masih tersembunyi bagi manusia di dunia ini. Misteri yang terselubung itu nanti akan terbuka ketika manusia menghadap dan memandang Allah dalam kekudusan kelak di surga.
2.5. Yerusalem Surgawi
Selain gambaran simbolis langit dan bumi yang baru, penulis Kitab Wahyu melukiskan surga seperti sebuah kota, yaitu Yerusalem Surgawi (Why. 21:9-22). Yerusalem adalah kota yang kudus karena di situ tempat Allah bersemayam di atas bumi.Â
Namun, Yerusalem yang lama telah digantikan dengan Yerusalem yang baru. Sekarang hanya ada satu Yerusalem, yaitu Yerusalem Surgawi. Dan dalam Yerusalem Surgawi ini tidak ada Bait Suci, sebab Allah sendiri dan Anak Domba (Yesus) adalah Bait Suci (Why. 21:22)[10].
Bagaimana gambaran Yerusalem Surgawi sebenarnya di pahami? Tek-teks Wahyu di atas hanya merupakan bahasa simbolis saja. Yerusalem surgawi yang turun ke bumi menggambarkan bahwa keterpisahan antara Allah dan umat manusia telah dihapuskan. Sekarang Allah telah dijumpai secara langsung.Â
Paulus sendiri mengatakan bahwa, manusia dapat memandang Allah dari muka ke muka. Bagaimana hal itu dapat terjadi? "Tembok pemisah" antara Allah dan manusia yang terbangun karena dosa manusia pertama, kini telah dihancurka Yesus, Sang sabda yang telah menjadi manusia, Roti hidup yang turun dari surga.Â
Tembok pemisah yang dimaksud tidak lain adalah dosa manusia itu sendiri. Karena dosa inilah, manusia diusir dari Taman Eden yang penuh sukacita itu. Karena dosa inilah manusia jauh dari Allah. Dosa Adam yang karena "makan" buah terlarang telah membuat manusia jatuh dalam dosa. Kini Yesus datang dengan memberikan tubuh-Nya untuk "dimakan" supaya selamat dari dosa yang dibuat Adam dengan "makan" buah terlarang itu.
2.6. Visio Beatifica Surga dalam Tridisi Kristen
KGK (Katekismus Gereja Katolik) mendefinisikan surga sebagai tempat kediaman Allah dan Kristus bersama dengan mereka yang terberkati, baik para malaikat dan para kudus (KGK no. 326). Gereja meyakini bahwa selain Allah Tritunggal, ada para malaikat dan para kudus di dalam surga. Siapkah para kudus ini? Mereka ini adalah orang-orang yang selama hidup mereka di dunia fana melakukan hal-hal yang baik dan benar serta mewartakan Injil.Â
Mereka bahkan rela mengorbankan jiwa raganya demi Injil. Mereka kemudian diangkat menjadi orang kudus, yang hidupnya patut diteladani dan dihormati. Namun tentu bukan hanya mereka yang dapat seperti itu. Mereka hanya salah satu dari sekian banyak orang yang sebenarnya juga kudus. Namun yang mau dijelaskan di sini adalah bagaimana manusia kelak akan bersatu dengan Allah dalam surga.Â
Mereka yang berada dalam surga akan melihat Allah dalam keadaan-Nya yang sebenarnya dari muka ke muka tanpa perantaraan apa pun. Ketika manusia masih di dunia, manusia hanya melihat dan merasakan Allah melalui ciptaan. Sementara di surga kelak, mereka akan melihat Allah secara langsung. Allah akan membiarkan selubung mesteri diri-Nya terbuka agar dapat dilihat oleh manusia.Â
Memandang Allah dalam kemuliaan surgawi inilah yang dinamakan "pandangan yang membahagiakan" (visio beatifica)[11]. Namun pandangan yang membahagiakan ini tidak dapat dipahami oleh akal budi manusia. Hanya iman yang mampu menyelaminya. Mengapa? Kebahagian, sukacita, kegembiraan yang abadi, tiada tara dan sempurna hanya akan diperoleh di surga.Â
Manusia memang merasaknya hal-hal itu di dunia, namun hal itu sifatnya hanya sementara saja. Ketika mengalami sesuatu yang baru, akan terganti dengan sesuatu yang lain lagi. Sesuatu selalu datang silih berganti: sukacita menjadi dukacita dan sebaliknya, susah menjadi senang dan sebaliknya, tertawa berubah menjadi tangisan dan sebaliknya, dll. Tetapi di surga, kebahagiaan tidak akan berkesudahan atau abadi.
PenutupÂ
Dalam paper ini sudah dijelaskan bagaimana surga itu dan bagaimana penggambarannya. Berbagai gambaran telah dijelaskan untuk melukiskan surga itu. Namun yang terpenting adalah banyaknya gambaran surga itu hendaknya jangan membingungkan kita. Dan juga, apa yang digambarkan mengenai surga itu seharusnya jangan dimengerti secara harafiah.Â
Apa yang ditulis dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru hanyalah sebuah kiasan atau metafora saja, tetapi bukan berarti, surga itu tidak ada. Penggambaran itu hanya mau ditulis oleh penulis Kitab Suci untuk menggambarkan suatu keadaan yang ada itu dalam bahasa manusia.Â
Mengapa demikian? Surga adalah suatu realitas Ilahi yang penuh misteri sehingga melampaui akal budi manusia. Oleh karena itu, surga tidak mungkin digambarkan dalam gambaran yang sesungguhnya.Â
Misalnya gambaran suasana surga yang penuh "damai tiada taranya, abadi, sukacita abadi, dan sempurna". Adakah manusia yang pernah merasakan hal itu? Damai yang abadi itu bagaimana rasanya? Pastilah tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang pernah merasakannya. Sebab abadi sangat abstrak dan sangat sulit untuk dimngerti.Â
Makanya diberi gambaran yang dapat dimengerti, seperti tidak ada lagi penderitaan, penindasan, taman yang indah, dll. Penekanannya pertama-tama bukan soal keadaan fisik tamannya, tetapi soal "suasana kedekatan manusia suci" dengan Allah. Inilah sebenarnya inti yang dimaksud para penulis kitab. Bahwa di surga kelak, tidak akan ada lagi penghalang antara Allah dengan manusia. Â
Tetapi tidak semua manusia, melainkan hanya manusia yang suci saja. Manusia yang suci tidak lain adalah mereka yang hidupnya selama di dunia melaksanakan perintah Allah dengan melakukan segala yang baik dan benar. Maka sangat masuk akal bahwa manusia selalu mengejar kebaikan yang diajarkan  dalam Kitab Suci setiap agamanya supaya dapat masuk surga.
Lalu dari antara gambaran tentang surga itu, adakah satu gambaran yang menduduki tempat pertama dalam dalam teologi Kristen? Matius 5:8 menyatakan bahwa orang yang suci hatinya berbahagia karena mereka akan melihat Allah.Â
Dalam 1 Yohanes 3:2 "kepada kita dijanjikan bahwa pada waktu dinyatakan apa keadaan kita kelak, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya".Â
Akan tetapi, peryataan Pauluslah yang menjadi dasar pandangan ini bahwa kebahagiaan kekal adalah melihat Allah (lih. Kor 13:12). Magisterium dan teologi Kristen telah mengembangkan pengertian Paulus ini untuk melukiskan pengetahuan atau pengenalan kita akan Allah dan menyebutnya sebagai "penglihatan yang membahagiakan" (visio beatifica). Itulah kebahagiaan tertinggi dan gambaran surga yang kira-kira lebih tepat dalam teologi Kristen[12].
Daftar Pustaka
Pham, Peter C., 101 Tanya-Jawab tentang Kematian dan Kehidupan Kekal. Cet. kelima. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Purnomo, Albertus OFM., Melacak Jejak Surga. Cet. keempat. Yogyakarta: Kanisius 2013.
Katekismus Gereja Katolik
Dokumen Konsili Vatikan II
Oleh: Fr. Ignatius Kisa, Pr.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H