Mohon tunggu...
I. F. Donne
I. F. Donne Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis adalah seorang Magister Pendidikan lulusan Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis pernah aktif di berbagai komunitas sastra di Jakarta. Beberapa diantaranya; Sastra Reboan, Kedailalang, dan KPSI (Komunitas Pecinta Seni dan Sastra Indonesia). Karya-karyanya diantaranya; Novel ‘Danau Bulan’, Serampai Cerpen Vol. I ‘Soejinah’ dan ‘Dunia Luka’ Vol. II. Antologi puisi bersama sastrawan-sastrawati. Diantaranya; antologi puisi Empat Amanat Hujan (Bunga Rampai Puisi Komunitas Sastra DKJ), Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Fiksi Mini, dan beberapa puisinya juga dimuat di majalah Story. Penulis juga sudah memiliki dua buku antologi cerpen bersama beberapa penulis, yaitu Si Murai dan Orang Gila (Bunga Rampai Cerpen Komunitas Sastra DKJ) dan Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan. Beberapa cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat nasional, diantaranya berjudul, Sepuluh Jam mendapatkan juara 2 di LMCPN (Lomba Menulis Cerpen Pencinta Novel), Randu & Kematian pada tahun 2011 dan Selongsong Waktu pada tahun 2013 mendapatkan juara harapan kategori C di Lomba Menulis Cerpen Rotho - Mentholatum Golden Award. Penulis juga aktif di berberapa organisasi kemasyarakatan, seni dan budaya. Aktifitas yang dijalani penulis saat ini adalah seorang jurnalis di salah satu surat kabar online nasional di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Soejinah

24 Maret 2020   00:00 Diperbarui: 23 Maret 2020   23:57 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lalu, bagaimana menurutmu tentang hujan dan pelangi?” tanyanya kembali.

“Bagiku tanpa hujan, pelangi akan tetap dapat terlihat, jika kita mau melihat keindahan tujuh warna itu dengan niat tulus. Kau ingin tahu caranya, bukan? Lihatlah lukisan indah pada dinding di sebelah kirimu. Bukankah itu adalah pelangi! Walau apapun medianya, tujuh warna itu tetaplah pelangi, dan tidak pernah bisa dikatakan hujan. Dan bagiku tanpa mendung, hujan pun akan datang, selama ia dapat menemukan daerah yang ingin dibasahinya. Kau pernah mendengar cerita tentang seorang pawang hujan, bukan! menurut cerita yang kutahu, seorang pawang hujan dapat memindahkan dan memanggil hujan kapan dan dimana pun ia mau.”

“Aku Dian.” akhirnya seutas senyum yang tak datar darinya, membuatku tak berkedip.

“Kau bisa memanggilku Bayu.” balasku.

               Dan siang itu pun menjadi hangat. Kami berbincang tak hiraukan keramaian orang, hujan atau pun dinginnya suhu yang tercampur dari udara hujan dan AC di ruangan itu.

               ***

Hujan masih turun sangat lebat bersama angin kencangnya. Beberapa pohon di luar kafe tumbang. Suasana di luar begitu gaduh. Petir tanpa jeda menggelegar. Suara alarm dari beberapa mobil begitu bising. Terlebih lagi suara berisik orang-orang diluar yang terdengar norak melihat salah satu pohon tua besar tumbang di atas sebuah sedan mewah berwarna hitam. Namun hal itu tidak sedikit pun menyita perhatian kami.

“Mau pesan apa, Pak?” ujar seorang pelayan, menghampiri kami tiba-tiba.

“Sama seperti yang di pesan Nyonya ini.” jawabku.

               Cokelat seduh panas yang diminum olehnya membuatku teringat pada seorang perempuan renta yang kupanggil Oma. Oma sangat menyukai cokelat seduh panas. Di rumahnya yang mungil, beberapa kaleng cokelat seduh berlabel merk dari luar, berjejer di lemari makannya yang terbuat dari kayu jati.

               Oma seorang perempuan yang lahir di Indonesia. Aku mengenalnya dari mantan kekasihku beberapa tahun lampau. Oma seorang perempuan renta, berusia hampir 80 tahun. Ia orang yang sangat keras kepala. Ia tinggal sendiri di sebuah rumah kecil, di sebuah kota yang mempunyai julukan sebagai kota hujan. Beberapa kali Sarah-anaknya membujuknya untuk tinggal bersamanya. Akan tetapi Oma tetap bersih keras hanya mau tinggal sendiri di rumah yang terlihat kusam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun