Mohon tunggu...
I. F. Donne
I. F. Donne Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis adalah seorang Magister Pendidikan lulusan Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis pernah aktif di berbagai komunitas sastra di Jakarta. Beberapa diantaranya; Sastra Reboan, Kedailalang, dan KPSI (Komunitas Pecinta Seni dan Sastra Indonesia). Karya-karyanya diantaranya; Novel ‘Danau Bulan’, Serampai Cerpen Vol. I ‘Soejinah’ dan ‘Dunia Luka’ Vol. II. Antologi puisi bersama sastrawan-sastrawati. Diantaranya; antologi puisi Empat Amanat Hujan (Bunga Rampai Puisi Komunitas Sastra DKJ), Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Fiksi Mini, dan beberapa puisinya juga dimuat di majalah Story. Penulis juga sudah memiliki dua buku antologi cerpen bersama beberapa penulis, yaitu Si Murai dan Orang Gila (Bunga Rampai Cerpen Komunitas Sastra DKJ) dan Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan. Beberapa cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat nasional, diantaranya berjudul, Sepuluh Jam mendapatkan juara 2 di LMCPN (Lomba Menulis Cerpen Pencinta Novel), Randu & Kematian pada tahun 2011 dan Selongsong Waktu pada tahun 2013 mendapatkan juara harapan kategori C di Lomba Menulis Cerpen Rotho - Mentholatum Golden Award. Penulis juga aktif di berberapa organisasi kemasyarakatan, seni dan budaya. Aktifitas yang dijalani penulis saat ini adalah seorang jurnalis di salah satu surat kabar online nasional di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Soejinah

24 Maret 2020   00:00 Diperbarui: 23 Maret 2020   23:57 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tepi danau senyap aku menyaksikan sekuntum bunga teratai menyapu wajahnya. Beberapa kelopak darinya terlihat begitu melelahkan, lunglai tak berdaya. Selanjutnya ia terlelap tanpa sempat menyembunyikan raut kesedihan wajahnya dariku. Aku berpikir, bahwa bunga itu terlalu berani memperlihatkan kesenduannya padaku. Walaupun mungkin dalam pikiran terakhirnya, hal itu akan menjadi salah satu penyesalannya baginya.

Wajah tirus bunga itu sangat menyita perhatianku. Ia mengingatkanku pada separas wajah cantik yang berbincang denganku di sebuah kafe, di sudut jalan Braga. Mata kosongnya tengah memberitahukan padaku, bahwa begitu banyak rahasia dalam kehidupannya.

               Dengan tergesa-gesa aku memasuki sebuah kafe yang memiliki ruangan berinterior minimalis. Suasana terlihat sesak, banyak orang yang berteduh dari hujan lebat di luar kafe.

               Aku berdiri membelakangi pintu masuk kafe, berharap mendapatkan tempat duduk. Entah apa yang menuntunku berjalan pada sebuah kursi dan meja yang telah terisi oleh seorang perempuan berkulit putih, dengan rambut ikal sebahu, dan sikap yang begitu dingin.

               Beiring suara degup jantung dan nyali yang ciut, aku memberanikan diri meminta izin padanya agar dapat duduk bersamanya yang sedang serius membaca sebuah buku.

“Permisi, boleh kududuki kursi ini?” keringat dingin berselanjar perlahan dari dahi melewati kelopak mataku.

               Sesaat sikap perempuan itu benar-benar membuatku mati kutu. Telak, hampir kutelan ludahku sendiri. Terlihat ia begitu serius membaca sebuah buku filsafat. Pikirku ia berpura-pura tak mendengar sapaku, namun pada saat aku membalikan tubuh untuk mencari tempat lain, tiba-tiba ia bersuara.

“Ya, silahkan.” dua kata yang diucapkannya bernada datar.

               Beberapa menit kami tak saling sapa atau pun sekedar basa basi, sampai setengah jam kemudian, tiba-tiba ia bertanya padaku dengan nada datarnya yang kedua.

“Bagaimana menurutmu, tentang langit dan tanah?” desaknya dengan seutas senyum datar, berbarengan menutup buku yang sedang dibacanya.

“Aku berpikir, bahwa langit dan tanah selalu menjadi satu, sebab mereka berada dalam satu ruang, yaitu bumi. Akan tetapi di atas langit masih ada langit yang tak pernah menjadi bagian dari bumi. Atas hal itulah para Astronot dapat menembus langit bumi dan menuju langit di atas langit bumi.” tegasku, membuatnya tercengang.

“Lalu, bagaimana menurutmu tentang hujan dan pelangi?” tanyanya kembali.

“Bagiku tanpa hujan, pelangi akan tetap dapat terlihat, jika kita mau melihat keindahan tujuh warna itu dengan niat tulus. Kau ingin tahu caranya, bukan? Lihatlah lukisan indah pada dinding di sebelah kirimu. Bukankah itu adalah pelangi! Walau apapun medianya, tujuh warna itu tetaplah pelangi, dan tidak pernah bisa dikatakan hujan. Dan bagiku tanpa mendung, hujan pun akan datang, selama ia dapat menemukan daerah yang ingin dibasahinya. Kau pernah mendengar cerita tentang seorang pawang hujan, bukan! menurut cerita yang kutahu, seorang pawang hujan dapat memindahkan dan memanggil hujan kapan dan dimana pun ia mau.”

“Aku Dian.” akhirnya seutas senyum yang tak datar darinya, membuatku tak berkedip.

“Kau bisa memanggilku Bayu.” balasku.

               Dan siang itu pun menjadi hangat. Kami berbincang tak hiraukan keramaian orang, hujan atau pun dinginnya suhu yang tercampur dari udara hujan dan AC di ruangan itu.

               ***

Hujan masih turun sangat lebat bersama angin kencangnya. Beberapa pohon di luar kafe tumbang. Suasana di luar begitu gaduh. Petir tanpa jeda menggelegar. Suara alarm dari beberapa mobil begitu bising. Terlebih lagi suara berisik orang-orang diluar yang terdengar norak melihat salah satu pohon tua besar tumbang di atas sebuah sedan mewah berwarna hitam. Namun hal itu tidak sedikit pun menyita perhatian kami.

“Mau pesan apa, Pak?” ujar seorang pelayan, menghampiri kami tiba-tiba.

“Sama seperti yang di pesan Nyonya ini.” jawabku.

               Cokelat seduh panas yang diminum olehnya membuatku teringat pada seorang perempuan renta yang kupanggil Oma. Oma sangat menyukai cokelat seduh panas. Di rumahnya yang mungil, beberapa kaleng cokelat seduh berlabel merk dari luar, berjejer di lemari makannya yang terbuat dari kayu jati.

               Oma seorang perempuan yang lahir di Indonesia. Aku mengenalnya dari mantan kekasihku beberapa tahun lampau. Oma seorang perempuan renta, berusia hampir 80 tahun. Ia orang yang sangat keras kepala. Ia tinggal sendiri di sebuah rumah kecil, di sebuah kota yang mempunyai julukan sebagai kota hujan. Beberapa kali Sarah-anaknya membujuknya untuk tinggal bersamanya. Akan tetapi Oma tetap bersih keras hanya mau tinggal sendiri di rumah yang terlihat kusam itu.

“Kau ingin tahu, Dian?” tanyaku.

“Iya…” senyum kecilnya membuatku terkapar.

“Kau sangat mirip dengan seseorang perempuan yang aku kenal baik. Aku memanggilnya Oma, sebab ia perempuan renta.”

“Benarkah?” kernyit di keningnya seakan meragukanku.

“Benar.” tegasku, memaksanya percaya.

“Maka ceritakanlah tentang Oma padaku, Bayu!” Dian mulai penasaran.

               ***

Sore itu, aku diajak Farrah─mantan kekasihku beberapa tahun lampau, singgah di sebuah rumah tua tak berpagar, pintu masuk menuju ruang tamu pada rumah itu hampir roboh. Beberapa derak langkahku terhenti ketika memasuki ruang tamu. Sebuah ranjang dengan kasur terhampar di sana, di atas lantai berubin putih, namun terlihat kotor, seakan tak pernah ada yang menyapu dan mengepel lantai itu. Di atas ranjang kasur tengah terduduk seorang perempuan renta dengan senyum layu, berkaca mata tebal, berambut perak, dan berparas Indo.

               Di samping kanan ranjang kasur dan di samping kanan meja televisi, tengah berdiri tegak rak buku tua yang terbuat dari kayu jati, penuh dengan novel-novel berbahasa Belanda.

“Maaf, Oma. Aku agak lama sampainya, sebab aku harus mengurus beberapa pekerjaan.” ujar Farrah.

“Iya, tidak apa-apa. Dengan siapa kamu datang?” jawab Oma, sekaligus bertanya, seraya menatapku dengan memicingkan kedua matanya.

“Dengan temanku, Oma. Perkenalkan ini Bayu.” balas Farrah.

“Ya… ya… duduklah dimana kau mau, Bayu! Maaf rumahku berantakan.” seru, Oma.

“Biarlah aku berdiri sejenak. Aku ingin melihat-lihat koleksi bukumu, Oma.” jawabku.

“Ya, silahkan.” ujar Oma.

“Bayu, seorang penulis, sama seperti Oma.” celetuk Farrah.

“Jadi kau suka menulis, Bayu?” tanya Oma dengan rasa penasaran.

“Sastra. Aku senang menulis novel sastra, Oma.”

“Dahulu waktu Oma di Belanda, Oma juga suka menulis, Bayu. Hanya saja tulisan Oma berbahasa Belanda.”

“Wah, Oma hebat ya!” seruku, menyemangatinya.

“Ah, biasa saja, Bayu” ujarnya merendah diri.

                  ***

Aku masih berdiri di depan rak buku yang berada di samping ranjang kasur Oma. Kuambil satu buku dengan judul berbahasa belanda. Walau aku sama sekali tidak mengerti bahasa belanda, akan tetapi di atas kiri sipnosis novel itu, terpampang foto seorang perempuan muda nan cantik berwajah Indo─Libanon.

                 Aku meyakinkan diri bahwa foto penulis itu adalah Oma semasa muda. Sebuah figura foto yang bersandar pada dinding lusuh bercorak entah terpampang gambar foto yang sama dengan yang berada pada bagian belakang novel itu. Hal itu menambah keyakinanku, bahwa penulis buku itu adalah Oma.

“Apakah buku ini Oma yang menulis?” tanyaku seakan tak mengetahui bahwa Oma yang menulis novel itu.

“Iya, Bayu.” singkat, jawabnya.

“Jika boleh tahu, apa arti judul buku ini, Oma?”

“Perempuan di Mata Lelaki.” jelasnya.

“Sangat disayangkan, aku tidak mengerti bahasa Belanda, Oma. Pasti ceritanya sangat menarik ya.”

“Aku menulis novel itu berdasarkan kisah nyataku, Bayu. Salah satu seorang sahabatku yang juga seorang penulis di Negeri kincir angin itu mengatakan, bahwa novelku sangat menarik perhatiannya. Ahk, ungkapan itu membuatku jatuh tersanjung.”

“Jadi, kapan Oma akan menceritakan isi dari buku ini?”

“Kau benar-benar ingin mengetahui cerita ini, Bayu?”

“Ya, Oma. Aku sangat ingin mengetahuinya.” aku semakin penasaran.

“Baiklah, akhir pekan nanti, datanglah kembali ke sini. Akan kuceritakan kisah dalam buku itu.”

“Berhubung waktu kian larut. Sebaiknya kami pamit dahulu, Oma.” Farrah menyelak pembicaraan.

                ***

Oma lahir di Indonesia. Ayahnya─Soetjatmo, seorang kapten, pejuang RI. Sementara Ibunya─Istisyhaad, seorang wartawati perang asal Libanon yang fasih berbahasa Indonesia. Keduanya bertemu dan menjalin asmara di medan tempur, di salah satu pertempuran antara Indonesia-Belanda. Hingga selesai pertempuran yang dimenangkan oleh Indonesia, mereka berdua pun menikah.

               Beberapa tahun setelah menikah, Istisyhaad melahirkan seorang bayi perempuan yang dinamakan Soejinah. Akan tetapi berita duka datang bersamaan dengan berita bahagia itu. Beberapa prajurit diperintahkan dari markas pusat untuk memberi kabar duka atas kematian Kapten Soetjatmo di medan tempur saat menaklukan pasukan penjajah Jepang.

“Kami turut berduka atas kepergian Kapten, Bu.”ujar seorang prajurit.

“Kami pun mengucapkan selamat atas kelahiran putri dari Ibu dan Kapten.”sambung prajurit lainnya.

“Jasadnya akan segera kami hantar ke rumah Ibu. Dan kami pun sudah menyiapkan prosesi kematian untuk Kapten, Bu.” lanjut prajurit ketiga.

                Istisyhaad hanya dapat terkejut sambil memangku Soejinah bayi. Beliau benar-benar tidak memahami apa yang dikatakan oleh para prajurit itu. Pikirannya mengawang pergi ke suatu tempat entah. Dimana ia melihat bayangan seorang pria yang gagah tinggi, berkulit kegelapan, berambut cepak, dan memakai pakaian perang. Ya, beliau seakan sedang mengingat-ingat kembali sosok gagah pemberani Kapten Soetjatmo. Hingga akhirnya ketiga prajurit itu pun berpamitan kepada Istisyhaad.

                Keesokan harinya, usai pemakaman. Sementara Soejinah bayi, tertidur pulas di ranjang bayi yang terbuat dari kayu jati. Istisyhaad segera mengemasi barang-barang peninggalan suaminya. Ia tak ingin melihat barang-barang suaminya, yang hanya membuatnya menangis mengenang suaminya.

                Dalam saku pakaian perang peninggalan suaminya, Istisyhaad menemukan foto gambar dirinya bersama pria yang dicintainya itu. Ya, Kapten Soetjatmo. Setiap berperang kapten Soetjatmo selalu membawa serta foto istri tercintanya, yang diselipkan ke dalam saku pakaian perangnya. Baginya Istisyhaad adalah keberuntungan dalam hidupnya. Dari pengakuan beberapa prajurit, mereka kerap secara tak sengaja memergoki Sang Kapten selalu menciumi foto itu, jika sebelum berangkat berperang. Prajurit-prajurit itu mengatakan kepada Istisyhaad, bahwa Sang Kapten sangat menyayanginya. Dan Istisyhaad sangat yakin akan hal itu. Maka itulah sebabnya, Istisyhaad selalu berusaha menjadi istri yang soleha.

                ***

 

Pada minggu selanjutnya, Oma menyambung cerita pada bagian dimana ia tumbuh dewasa di sebuah kota besar di Negeri Belanda. Pada saat Soejinah memasuki sekolah dasar, Istisyhaad mengajaknya pindah ke Belanda. Di sana Soejinah tumbuh dewasa menjadi seorang perempuan yang kritis dan keras kepala.

                Suatu hari ia bertemu dengan seorang pria asal Belanda ‘Van Der Schoot’ namanya. Lelaki itu berkelahiran Inggris. Ibunya berasal dari Belanda. Sementara Ayahnya asli Inggris. Pria itu tinggi gagah dan tampan. Hingga suatu hari, lelaki itu menikahi Soejinah. Namun di pertengahan pernikahan, mereka memutuskan bercerai. Hal itu disebabkan karena keras kepalanya Soejinah terhadap satu pemahaman tentang perempuan yang selalu ingin disetara-genderkan oleh kaum lelaki.

                Saat itu, Soejinah tidak benar-benar memahami apa arti sebagai seorang perempuan. Yang dipahaminya bahwa seorang perempuan sama haknya dengan seorang lelaki. Setelah perceraian, Soejinah pindah ke Negara kelahiran Ibunya, Libanon. Di sana Soejinah mengikuti jejak Ibunya sebagai seorang jurnalis di salah satu majalah tersohor di sana. Beberapa tahun ia menggeluti dunia kepenulisan. Hingga sampai pada beberapa tahun kemudian, ia bertemu dengan Nashr─seorang penulis asal Libanon dan menikah dengannya. Untuk kedua kalinya pernikahannya kandas. Hal itu pun disebabkan oleh hal yang sama seperti pada perceraian pertamannya.

                Sebelum meninggal, Istisyhaad pernah bercerita kepada Soejinah, bahwa Ayahnya adalah seorang lelaki yang mampu membuatnya sadar akan arti seorang perempuan yang telah menjadi istri.

“Seorang istri sangat mudah masuk surga, Nak. Ia hanya harus memahami dirinya sebagai seorang istri,”pesannya kepada Soejinah dewasa.

“Oma, aku minta maaf. Bisakah cerita ini kita lanjutkan awal bulan depan. Kebetulan untuk tiga minggu ini aku harus pergi keluar kota. Jadi, kita bisa melanjutkan cerita ini pada awal bulan depan.” ujarku, memotong cerita Oma.

“Baiklah jika begitu. Hati-hatilah dalam perjalanan. Segera hubungi Oma jika kau sudah berada diluar kota.”

                 ***

Usai menjalankan tugas selama tiga minggu, akhirnya aku kembali. Dalam perjalanan pulang, aku menyempatkan diri membaca pesan-pesan singkat yang tidak sempat kubaca, di handphone-ku.

“Bayu, tolong segera ke sini! Oma seperti mau mati.”pesan singkat dari Oma.

“Bayu, tolong hubungi Farrah untuk lekas ke sini.”

“Bayu, berkali-kali Oma menghubungi handphone kalian berdua, tapi kenapa tidak kalian angkat.”

               Dan pesan singkat terakhir yang kubaca berasal dari nomor handphone Farrah.

“Bayu, Oma meninggal pagi tadi.”terkirim hari jum’at. Dua hari sebelum kubaca pesan-pesan singkat itu.

               Saat bertemu Farrah, ia berkata padaku, bahwa sebelum Oma meninggal, ia menitipkan koper berisi buku-buku untukku.

“Oma sangat antusias terhadapmu, Bayu. Kau sungguh hebat dapat membuatnya terkesan. Padahal setahuku, ia sangat sulit berkomunikasi, apalagi akrab dengan orang. Bahkan di antara teman-temanku yang mengenalnya, semuanya tidak ada yang cocok dengannya.”urai, Farrah.

                ***

“Kau tidak apa-apa, Dian?” sapaku, membuyarkan cengangnya.

“Hmmm tidak. Tidak apa-apa, Bayu. Aku hanya speechless mendengar cerita tentang Oma.”jawabnya, terbata-bata.

“Jadi, kau terkesan dengan cerita ini?”

“Iya. Cerita ini sangat berkesan buatku.”

“Baiklah berhubung hujan sudah reda, dan awan mulai cerah. Sebaiknya aku bergegas pulang ke Jakarta. Aku sangat berterima kasih atas kebaikanmu memberikan satu kursi untuk dapat duduk bersamamu.”

                 Aku berpamitan dengannya, segera menuju keluar kafe. Namun di tengah perjalanan pulang, kupijak rem kendaraanku sedalam-dalamnya. Aku sadar, bahwa aku lupa menanyakan nomor handphone-nya. [ ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun