Van Len merasakan kerinduan dalam pada pasukan gerilya di hutan-hutan. Ia rindu bercengkerama dengan mereka. Ia rindu latihan bersama mereka. Saling lelah, saling berbagi, saling canda tawa, saling berjuang dengan membawa satu misi, saling menyatukan ikatan di tengah perbedaan ras. Ia tersenyum di tengah rasa nyeri hebat di kepala, perut, punggung, dan kaki.
“ Len...Len.....Len.”
Van Len mendengar suara suara seorang perempuan memanggil namanya. Mata Van Len semakin menyipit. Pandangan di depan sedikit demi sedikit buyar. Ia merasa mendengar suara Warni. Tapi ia hapus perasaan itu. Rasa sakit yang hebat dialami menimbulkan halusinasi tinggi. Rasa nyeri di kepala semakin memuncak. Kepala Van Len serasa ingin pecah. Van Len mencoba untuk berteriak sekeras-kerasnya.
Tapi suara itu semakin membesar. Van Len mencoba membalikkan pandangan. Pandangannya semakin buyar. Ia melihat secara tidak jelas seorang gadis berjalan menghampirinya. Ia berjalan cepat. Ia tersenyum sebisa mungkin. Ia ulurkan tangan padanya. Rasa nyeri di kepala semakin memuncak. Pandangannya mulai mengecil, lalu tiba-tiba menghilang. Semua menjadi gelap di matanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H