Kolonel tertawa terbahak-bahak. Gigi-giginya tampak putih bersih. Desis napasnya terdengar cukup keras. Ia seperti kehilangan kesadaran. Van Len masih berdiri mematung. Ia menatap pamannya tajam.
“ Bagaimana, Len. Apa kau puas. Tentara pembangkang itu sudah dimusnahkan. Dan sekarang cari gadis itu. Ajak dia bergabung dengan kita. Aku akan menghormatinya. Jika ada tentara melakukan macam-macam pada gadis itu, akan kubuat seperti dua tentara payah itu. Kau paham,” ucap kolonel tegas.
Van Len masih terdiam. Ia terus berdiri mematung. Kolonel tampak terbakar emosi. Ia sudah tak kuat lagi menahan kesabaran. Ia berteriak keras,
“ Apa perlu kubunuh orang yang satu ini ,Len. Agar kau ikut pulang bersamaku ?”
Kolonel langsung menaikkan kembali senapan, lurus sejajar dengan dagunya. Ia mengarahkan moncong senapan pada dada Suyitno. Tubuh Suyitno menggigil ketakutan. Ia merasa tubuhnya kaku. Ia memejamkan mata. Ia berharap keajaiban terjadi. Van Len langsung bereaksi,
“ Jangan !”
Kolonel menurunkan senjata. Ia membalikkan tubuh, berhadapan dengan Van Len. Ia memandangnya tajam. Tanpa disangka ia lemparkan senjata ke tanah, tepat di depan Van Len.
“ Ambillah, lalu bunuh dia jika kau mau,” ucapnya tegas.
Mendengar ucapannya, Suyitno semakin ketakutan. Ia tak tahu harus melakukan sesuatu yang menyelamatkan nyawanya. Ia berharap banyak pada Van Len. Hati kecilnya mengatakan tidak mungkin. Van Len mengetahui bahwa dirinya telah mengkhianati para pasukan di hutan. Jika dalam diri Van Len terdapat sifat benci pada dirinya, tamatlah riwayatnya. Ia berpikiran seperti itu.
“ Aku tak akan mengambilnya, Paman. Jangan ada pembunuhan lagi di sini. Aku tak ingin kembali ke markas. Pikiranku sudah berubah, Paman. Silakan paman kembali,” kata Van Len tegas.
“ Secepat itu kah keputusanmu, Len ?”