Pandangan pamannya begitu lunak. Ia berjalan pelan lalu memeluk erat Van Len. Sesaat kemudian ia lepaskan pelukan. Van Len masih memandangnya tajam. Keheningan tercipta saat itu. Mereka membisu di tengah riuk angin yang berhembus kencang.
Kolonel Van Heide mulai angkat bicara,
“ Len, bagaimana kabarmu ? Paman sangat mencemaskan keadaanmu.”
Van Len masih terdiam. Ia seolah memendam kebencian hebat pada pamannya. Ia menatapnya tajam. Kolonel Van Heide menambahkan,
“ Len, aku tahu bahwa kau telah menemukan cinta sejatimu. Aku dan tentara lain tidak akan memaksa. Kami hanya ingin kau kembali ke markas. Lalu kami akan pulangkan kau ke Belanda.”
Van Len tak juga merespon. Ia tersenyum kecut.
“ Len, apa kau mencintai Mawarni ?” tanya kolonel secara halus.
Van Len sedikit terkejut. Darimana pamannya tahu tentang Warni, pikirnya. Ia paksakan diri untuk berkata,
“ Dari mana paman tahu tentang Mawarni ?”
Kolonel tersenyum lebar. Ia menepuk bahu Van Len dengan halus. Van Len menatapnya tajam. Van Len merasa pamannya punya maksud lain di balik ucapannya. Pamannya terus tersenyum. Senyumannya tak menunjukkan pelecehan, tapi kekaguman pada sosok pemuda itu.
“ Len, aku tahu banyak tentang dirimu ketika kau kabur dari markas. Banyak kabar tentang dirimu masuk markas. Bahkan perasaan cintamu pada gadis itu sudah diketahui banyak orang termasuk para tentara Belanda. Dan salah seorang pembawa berita itu sosok yang berdiri di sebelahku ini.”