Mohon tunggu...
Ichwan Navis
Ichwan Navis Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paman, Aku Tetap Akan Membela Bumi Hindia

7 Oktober 2016   21:08 Diperbarui: 7 Oktober 2016   21:10 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ Len, aku percaya dengan ucapanmu. Aku sangat percaya. Kau selama ini sangat dekat denganku, sangat dekat. Aku tahu watakmu secara pasti. Bila kau jujur, atau bohong, aku tahu dari cara bicaramu, juga emosimu, dan raut wajahmu. Aku tahu banyak tentang dirimu, Len. Gadis yang kau cintai diperlakukan seperti itu oleh tentara kita. Lalu aku ke sini untuk mengajak gadis itu bergabung bersama kita secara baik-baik. Aku merasa malu padamu. Baiklah, untuk membuang perasaan bencimu pada tentara Belanda. Aku akan melakukan sesuatu yang membuatmu puas.”

Kolonel mengarahkan senapan ke depan. Posisinya sejajar dengan dagu. Moncong senapan mengarah tepat ke arah jantung Van Len. Ia memicingkan mata, bersiap melakukan tembakan. Van Len hanya terdiam. Ia menatap pamannya tajam. Ia mematung, tak sedikit pun berpikir untuk kabur. Ia memejamkan mata. Ia berharap pamannya tak membunuhnya.

Kolonel membalikkan tubuh dengan cepat, tanpa merubah posisi. Moncong senapan langsung menunjuk jantung seorang tentara gempal. Desis peluru terdengar keras. Peluru melesat sangat cepat, lalu menghantam jantung tentara gempal itu. Darah langsung keluar deras. Tentara gempal itu berteriak keras, lalu jatuh tersungkur ke tanah. Ia merintih kesakitan. Baju seragamnya basah oleh darah. Matanya melotot, tak kuasa menahan rasa sakit. Ia ulurkan tangan pada kolonel.

“ Mengapa kau lakukan ini, kolonel,” ucapnya lirih.

Sesaat kemudian tubuhnya tak bergerak, kaku dengan melentangkan tubuh. Kedua matanya melotot. Napasnya berhenti. Ia mati dengan bersimbah darah pada dadanya. Kolonel melihatnya penuh kebencian. Ia turunkan senapan. Ia mengeluarkan napas keras. Dua orang di samping mayat itu berdiri kaku. Mereka terus menundukkan kepala. Tubuh mereka bergetar hebat. Kolonel membalikkan badan. Ia berhadapan dengan Van Len. Ia menatapnya tajam. Van Len pun juga begitu.

Kolonel tersenyum kecut pada Van Len.

“ Bagaimana, Len ?”  katanya lirih.

Van Len tak menjawab. Ia masih menatapnya tajam. Kolonel sedikit keheranan pada Van Len.

“ Mengapa kau terdiam, Len ? Apa kau ingin lebih lagi. Baiklah, akan kuturuti kemauanmu.”

Kolonel kembali mengangkat senapannya. Ia membalikkan badan. Lalu ia luncurkan timah panas ke arah jantung salah seorang tentara. Peluru menghantam deras dadanya. Darah keluar deras. Tentara itu berteriak keras lalu jatuh tersungkur ke tanah. Suyitno merinding ketakutan. Ia ingin sekali kabur. Ia berpikiran bahwa ia mendapat jatah giliran ketiga setelah dua tentara itu. Tapi ia tahu kabur pun tak bisa menyelamatkan nyawanya. Kolonel dapat menembaknya dari jarak jauh. Ia hanya bisa pasrah pada nasib.

Suyitno merasa Kolonel Van Heide telah menggila. Apa yang dilakukannya sudah terlawat batas, pikirnya. Sama sekali tak berperi kemanusiaan. Kolonel itu membunuh tiga orang dalam waktu singkat dengan seenaknya, tanpa berpikir panjang. Ia membunuh ayah Warni, seorang tentara gempal, dan tentara pengemudi mobil jeep.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun