Kolonel menepuk bahu Suyitno pelan. Suyirno tersenyum lebar pada Van Len. Gigi-giginya terlihat banyak keropos termakan kuman. Van Len memandangnya tajam. Ia keheranan terhadap sosok itu. Kolonel melanjutkan,
“ Len, dia ini mantan pasukan gerilya. Dan sekarang dia bertugas menjadi mata-mata kita. Mengawasi gerak-gerik musuh. Dia dulu juga anti Belanda, menentang keras agresi kita.Lalu kita rayu dia secara baik-baik, ia pun luluh oleh rayuan. Dan sekarang dia cukup bermanfaat buat merealisasikan rencana kita.”
Van Len masih memandangnya tajam. Ia belum percaya sepenuhnya dengan ucapan pamannya. Ia tersenyum kecut, seolah tanda penghinaan pada kolonel itu. Di dalam dada kolonel, jantung terasa menegang. Detak jantungnya begitu kencang. Uap panas keluar dari hidung. Kolonel terbakar dalam amarah. Tapi ia tekan kuat amarah itu.
“ Lalu apa yang kau inginkan, Paman ?” tanya Van Len tegas.
“ Seperti yang kukatakan. Orang lusuh ini mantan seorang pejuang. Kita merekrutnya karena ia berpihak pada kita. Kau pun dapat menawarkan tawaran ini pada Mawarni. Bawa ia ke markas. Bujuk ia supaya berpihak pada kita. Kita akan menghormatinya.Kita tidak akan menyakitinya.Bahkan jika kau menginginkannya sebagai istri, kita persilakan. Itu hakmu. Seperti kami menghormati orang lusuh ini.”
“ Aku masih belum percaya ucapan paman. Kau pasti menghasut orang itu secara paksa, lalu dijadikan tawanan dan dipaksa menjadi mata-mata. Aku tahu karakter paman sudah lama. Apa kau ingin memperlakukan hal itu pada Warni juga. Paman, ingat baik-baik ucapanku.”
Van Len mengambil napas panjang. Ia melanjutkan,
“ Warni pernah digeret tentara gempal di samping paman. Ia ingin menodai kehormatan gadis itu. Ia geret secara paksa tangannya. Ia membawanya ke dalam bangunan kosong. Lalu ia hendak menodai kehormatannya di sana. Aku datang tepat waktu. Lalu itu kah yang paman sebut sebagai penghormatan. Padahal ia tidak melawan. Coba paman pikirkan dengan matang.”
Kolonel menundukkan kepala. Ia mengerutkan kening. Ia picingkan kedua mata. Napasnya tersendat-sendat. Mukanya merah membara. Ia menyuruh Suyitno untuk mengambilkan senjata di dalam mobil. Tubuh Suyitno merinding hebat. Kolonel membentaknya keras. Suyitno segera berlari menuju mobil. Ia mengambil sebuah senapan di dalam mobil. Ia langsung memberikannya pada kolonel.
Kolonel memegangnya erat. Ia mengelus-eluskan senapan dengan tangan sambil meniupnya. Van Len merasa tenang melihat senapan berada di tangan pamannya. Ia tak terbersit sedikit pun pamannya akan menembaknya. Ia tidak mungkin tega melakukannya, pikirnya.
Sementara tiga orang di belakang kolonel berdiri tegang. Tubuh mereka merinding. Bulu kuduk berdiri. Mereka menundukkan kepala. Mereka berharap kolonel tak melakukan hal konyol pada diri mereka, menembak mati di tempat itu. Mereka terdiam, membisu di tengah pusaran angin yang berhembus sepoi-sepoi. Rambut beterbangan seolah ingin lepas dari kepala.